Membaca buku “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pram seolah kita menyingkap sejarah pulau Jawa, bahkan sejarah awal Indonesia dengan cara yang berbeda. Kartini yang dewasa ini hanya dikenal sebagai pejuang pendidikan dan perempuan atau dikenang lewat peragaan busana tradisional setahun sekali, ternyata jauh berbeda dengan ulasan Pram di buku ini.
“Sampai sedemikian jauh, Kartini disebut-sebut di berbagai hari peringatan lebih banyak sebagai tokoh mitos, bukan sebagai manusia biasa, yang sudah tentu mengurangi kebesaran manusia Kartini itu sendiri…” tulis Pram pada pengantar bukunya. Di tangan Pram, Kartini memang lebih hidup, lebih nyata, dengan segala ketulusan bahkan kepolosan pikirannya.
Bagi yang belum akrab dengan karya Pram, mungkin akan berat membaca awal-awal tulisannya. Namun semakin lama, kita semakin terlibat jauh dalam tulisan itu sampai tak nyenyak kalau tidak menghabiskannya.
Pada bab pertama bukunya, Pram menggambarkan situasi awal Hindia Belanda (sebelum jadi Indonesia) sebelum lahirnya Kartini. Ia memulai dengan jatuhnya pemberontakan Pangeran Diponegoro. Kemudian berlanjut pada kebijakan tanampaksa, dan bagaimana Belanda bisa membayar utangnya dan meraup keuntungan luar biasa dari penderitaan pribumi. Hingga akhirnya Kartini lahir tanggal 21 April 1879.
Kartini lahir dari seorang ibu yang berlatar rakyat jelata. Ayahnya R.M Adipati Ario Sosroningrat, seorang bangsawan besar sekaligus Bupati Jepara yang sangat dihormati. Ibu Kartini bukanlah istri satu-satunya sang Bupati, Kartini bahkan dilahirkan di rumah kecil yang agak jauh dari gedung utama kompleks Keasistenwedanan, yang menunjukkan kelas Ibu Kartini yang lebih rendah dibanding istri pertama Bupati yang tinggal di gedung utama.
Kartini tumbuh menjadi anak yang cerdas dan periang. Ayahnya yang sudah terpelajar dibanding bangsawan-bangsawan lain memberikan kesempatan bagi anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan Sekolah Rendah Belanda. Kartini beruntung, sebab masa itu sangat jarang seorang bangsawan mau menyekolahkan anak perempuannya.
Dalam suratnya kepada Estella Zeehandelaar yang dikutip Pram di halaman 60, Kartini bahkan mengatakan itu sebagai “Pengkhianatan besar terhadap adat kebiasaan negeriku”. Dalam surat panjangnyanya kepada Nyonya Abendanon, Kartini menulis “Gadis Jawa adalah sebutir permata, bila ia pendiam tak bergerak-gerak seperti boneka kayu, bicara hanya bila benar-benar perlu dengan suara berbisik, sampai semut pun tak sanggup mendengarnya, berjalan setindak demi setindak seperti siput…”
Kartini ingin memberontak dari adatnya yang mengurung perempuan sedemikian rupa. Meski hanya diizinkan untuk mengecap secuil pendidikan di sekolah, Kartini menjadi begitu kecanduan dan mencari semua sumber ilmu yang bisa ia dapatkan. Kartini sendiri merasa aneh, dari sekian gadis yang pernah menhecap pendidikan walau hanya secuil, kenapa hanya dia yang memiliki kesadaran berbeda.
Dalam surat penjangnya ia menggambarkan dirinya sendiri: “Mengapakah ia jadi begitu aneh, lain dari pada yang lain? Ah, ia telah begitu sering mencoba untuk berpikir lain seperti orang-orang lain itu…” pada usia 12 tahun Kartini kecil akhirnya dipingit dalam kompleks gedung yang ia sebut kotak dengan empat tembok tebal. Inilah sejarah pahit hidup Kartini, selama 4 tahun tanpa melihat dunia luar. Ada beberapa orang anak perempuan yang dipingit bersamanya tapi hanya Kartinilah yang merasa begitu tersiksa.
Menurut Pram, dalam penjara inilah ia mengalami pendalaman dan seakan-akan hidupnya yang masih muda itu dipaksa untuk memahami persoalan-persoalan yang sebenarnya belum layak jadi garapannya. Ia telah menulis karangan antropologis tentang adat perkawinan komunitas Koja di Jepara pada usia 16 tahun.
Th. van Deventer, penerbit Belanda yang sangat disegani bahkan memuji Kartini sedemikian rupa: “…(banyak hal)… telah diuraikannya dengan kepastian dan pengetahuan persoalan yang belum dimiliki oleh para negarawan kalau tidak dalam usianya yang telah masak, tapi telah jadi pemikiran wanita Jawa berusia 23 ini”
Sampai ia bebas dari pingitan, Kartini mulai melakukan surat menyurat dengan berbagai kenalan, umumnya orang Belanda. Dalam surat-suratnya, Kartini telah menunjukkan analisa yang sangat tajam. Dalam surat 23 Agustus 1900 kepada Estelle Zeehandelaar, Kartini tampak paham betul makna kata Intelektual dan bagaimana harusnya mereka berperan.
Kartini begitu memuja ilmu pengetahuan dari Eropa, ia sampai memakai bahasa Belanda di hampir semua suratnya. Ia dengan lantang mengakui mencintai bahasa Belanda dan bangga memakainya. Dalam buku ini Pram menjelaskan alasan Kartini.
Dalam buku ini pula dijelaskan bahwa Kartini ternyata secara tidak langsung memiliki keterkaitan khusus dengan Haji Agus Salim. Ini terjadi karena semangatnya yang tinggi dalam memajukan generasi pribumi.
Bagi kalian yang pernah membaca Tetralogi Pulau Buru milik Pram dan penasaran dengan tokoh Mingke yang sebenarnya, mungkin bisa baca buku ini, di bagian pertengahan. Disana ada tokoh yang mungkin adalah sosok Mingke dalam Novel tersebut.
Pram juga menggambarkan sisi lain Kartini yakni sebagai pemusik, pelukis, pembatik, dan pengarang. Yang mengejutkan, Kartini menegaskan cita-citanya untuk jadi pengrang, bukan pendidik atau guru.
Menurutnya menulis dalam bentuk apapun akan berpengaruh lebih jauh dalam mengangkat derajat pribumi dibanding profesi lain. Bahkan dalam usia yang begitu muda, ia telah memahami peran strategis media dan pers dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kartini memang tidak turun langsung ke medan perang seperti halnya Cut Meutia, Cut Nyak Dien, atau Christina Tiahahu, ia berjuang dalam medan intelektual yang belum bisa dijamah perempuan saat itu. Kesadaran intelktualnya melompat jauh dari masanya yang masih sangat terbelakang.
Banyak majalah meminta izin menerbitkan surat-suratnya, tetapi ia selalu menolak dengan alasan masyarakat besar Hindia belum masak untuk diajak bicara tentang gagasannya. Tulisan dan pemberontakannya memang ditujukan ke negeri Belanda dan beberapa kaum intelektual.
Kartini adalah konseptor, perjuangannya bukanlah gerakan yang dalam istilah Pram, Sovinisme Emosional. Tulisannya bahkan bergema sampai keseluruh Eropa, Amerika, Rusia, bahkan Suriah.
Ada dua surat yang sangat saya sukai dalam buku ini. Pertama surat 27 Oktober 1902 kepada Nyonya Abendanon (halaman 98) Kartini dengan keras membela nilai luhur pribumi yang dilecehkan oleh Belanda. Kedua surat 12 Januari 1900 kepada teman koreponden paling setianya Astelle Zeehandelaar tentang kekonyolan orang Belanda (halaman 114). Dalam kedua surat ini saya teringat sosok Nyai Ontosoroh dalam novel tetralogy pulau buru milik Pram. Seorang wanita cerdas yang begitu keras hati melawan penindasan Belanda.
Sayang Kartini tidak bisa melawan Ayah yang sangat ia cintai. Kebenciannya terhadap sistem feodal yang mengambil jarak dan menindas rakyat tak dapat meruntuhkan rasa hormat dan cintanya pada Ayahnya. Jika bukan sosok Ayah, mungkin perjuangannya akan berkali-kali lipat dahsyatnya. Dan Pram sekali lagi memihak Kartini dalam hal ini. ia menjelaskan latar belakang konflik batin yang mendasari keputusan Kartini itu.
Buku ini menggambarkan pada saya Kartini yang lain, Kartini yang tegar, sederhana, polos, tapi diusia muda sudah memiliki wawasan yang bahkan generasi kita saat ini belum tentu bisa menandinginya.
Selamat Hari Kartini Saja!
__
Palu, 21 April 2017