Wednesday, April 12, 2017

Wassalam




“Ini soal kadar keimanan” kawan saya berujar, terlihat serius.

Saya dan seorang teman lain, diam mendengar. Beberapa teman lain yang duduk agak berjarak juga terlihat diam tak berani bergabung dalam diskusi, maklum mereka masih aktif kuliah, sementara kami bertiga sudah bertahun-tahun meninggalkan bangku kuliah.

Ini kali pertama sejak beberapa tahun belakangan kami duduk bersama lagi, kopi darat istilah kerennya. Setelah selesai kuliah kami sibuk dengan urusan masa depan masing-masing.


“Tapi kan tidak harus seperti itu” teman saya yang satunya menimpali.

“Harus!, inilah yang saya maksud kadar keimanan. Anda mau mencegah kemungkaran pakai tangan atau diam, itu pilihan, sebaik-baik iman atau selemah-lemahnya iman”

“Menurut saya ada banyak cara, terlebih saat ini, dimana orang sudah berpikir terbuka, dialog bisa dikedepankan. Cara kekerasan malah tidak akan baik, namanya dakwah, itu mengajak, bukan memaksa” saya ikut menimpali.

“Ada kisah Abu Hanifah yang menyantuni para pemabuk, menunjukkan mereka jalan yang benar tanpa menggurui, apalagi memaksa. Ada pula kisah nabi yang tidak bertindak kasar pada orang kafir yang mengencingi tiang masjid. Menurut saya itulah dakwah, mengajak dengan lembut, bukan memaksa,”

“Kalian belum kenal Habib, Agama perlu gerakan seperti itu. Kalau bukan Habib, siapa lagi yang bisa diharapkan. Di media memang dia dicitrakan kasar seperti itu, tapi pernahkan media meliput perbuatan baik Habib dan pengikutnya”

“Sebenarnya bukan hanya media, tapi kita bisa lihat langsung di Youtube, bagaimana tindakan kekerasan mereka dan itu nyata, tidak direkayasa. Media meliput karena itu mengganggu ketertiban dan banyak juga majelis yang berbuat baik tapi tidak diliput. Yang dilakukan harusnya bukan memaksa, tapi bagaimana ummat di tingkat bawah dididik agar lebih sadar mana baik dan buruk” teman saya menguatkan.

“Pengetahuan keagamaan Habib lebih tinggi daripada pengetahuan keagamaan kita, dia lebih tahu. Sekarang begini saja, Habib sudah bergerak dan berjuang untuk agama, pertanyaannya apa yang sudah kita lakukan.”

Diskusi ini mengingatkan serunya diskusi di bangku kuliah dulu, cuma sekarang kadarnya agak berat dan mungkin sedikit sensitif karena saat ini pilihan-pilihan sudah lebih matang ketimbang dulu. Tapi saya percaya, nostalgia kebiasaan diskusi kami dulu masih tersimpan, dan kami tahu saat ini bukan lagi saatnya untuk menang-menangan dalam berargumen. Dulu pun kami tak begitu simpatik dengan diskusi menang-menangan.

Saya dan teman saya diam. Kami seperti bersepakat, menjawab pertanyaan itu tidak akan berujung pada kesepahaman. Sebab menurut teman yang membela Habib ini, tingkat iman paling tinggi adalah mencegah kemungkaran dengan tangan. Maka jelas, jawaban kami yang shalat juga masih bolong-bolong ini tidak akan dihitung. Apalagi kalau saya menjawab “Setidaknya saya mempromosikan Islam yang Rahmatan lil Alamin” mungkin akan ditertawakan.

Dan diskusi pun berlanjut ke topik lain, tentang politik daerah, tentang keputusan teman saya pembela Habib ini pindah partai, hingga strateginya untuk maju lagi dalam kontestasi Legeslatif, setelah sebelumnya gagal. Sebagai teman saya mendukung niat baiknya. Sepertinya ia memang punya passion dalam politik.


“Bagaimana kalau malam ini kita jalan, jarang-jarang bisa ketemu lagi,” ajak teman yang politikus dan pendukung Habib ini.

Jam di tangan saya sudah menunjuk angka 2, sudah tengah malam. Kami pun keliling kota pakai mobil pribadinya. Dia adalah satu dari sedikit teman kami yang sudah memiliki mobil.

Tak begitu lama berputar-putar dalam kota, kami masuk gang sempit, kemudian masuk halaman parkir yang agak luas. Teman saya sang politikus keluar dan langsung menuju pintu samping, saya berdua dengan teman yang satunya mengikut dari belakang.

Baca Juga: Murahnya Agamaku

Setelah menyusuri lorong demi lorong dalam gedung itu, sampailah kami dalam ruangan yang sepertinya penuh dengan orang-orang. Tak begitu jelas wajah-wajah mereka, karena lampu di rungan ini tidak terang. Saya merasakan udara pengab karena asap rokok. Kami lalu duduk di salah satu meja. Teman saya sang politikus berdiskusi dengan seorang pria, singkat tapi sepertinya serius.

Baca Juga: Dongeng Perjalanan

Aku mulai curiga. Kulirik teman yang satunya, kepalanya liar menengok kanan kiri. Orang-orang berlalu lalang di belakang kursiku, sampai aku harus menarik kursi memberi ruang untuk lewat. Ruangan ini terasa sempit. Aku makin was-was.

Tak begitu lama pria tadi datang. Saya diam, teman yang satunya juga. Tiba-tiba teman politikus saya berbisik. “Mau pesan lagu apa?”

Saya mengarahkan pandangan ke atas meja, 4 botol berdiri di sana.

“Wassalam” kataku dalam hati
___
Palu, 12 April 2017
Terinspirasi dari kisah saya alami sendiri bulan ini
Gambar dari sini
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment