“Ini soal
kadar keimanan” kawan saya berujar, terlihat serius.
Saya dan
seorang teman lain, diam mendengar. Beberapa teman lain yang duduk agak
berjarak juga terlihat diam tak berani bergabung dalam diskusi, maklum mereka
masih aktif kuliah, sementara kami bertiga sudah bertahun-tahun meninggalkan
bangku kuliah.
Ini kali
pertama sejak beberapa tahun belakangan kami duduk bersama lagi, kopi darat istilah kerennya. Setelah
selesai kuliah kami sibuk dengan urusan masa depan masing-masing.
“Tapi kan
tidak harus seperti itu” teman saya yang satunya menimpali.
“Harus!,
inilah yang saya maksud kadar keimanan. Anda mau mencegah kemungkaran pakai
tangan atau diam, itu pilihan, sebaik-baik iman atau selemah-lemahnya iman”
“Menurut
saya ada banyak cara, terlebih saat ini, dimana orang sudah berpikir terbuka,
dialog bisa dikedepankan. Cara kekerasan malah tidak akan baik, namanya dakwah,
itu mengajak, bukan memaksa” saya ikut menimpali.
“Ada kisah
Abu Hanifah yang menyantuni para pemabuk, menunjukkan mereka jalan yang benar
tanpa menggurui, apalagi memaksa. Ada pula kisah nabi yang tidak bertindak
kasar pada orang kafir yang mengencingi tiang masjid. Menurut saya itulah
dakwah, mengajak dengan lembut, bukan memaksa,”
“Kalian
belum kenal Habib, Agama perlu gerakan seperti itu. Kalau bukan Habib, siapa
lagi yang bisa diharapkan. Di media memang dia dicitrakan kasar seperti itu,
tapi pernahkan media meliput perbuatan baik Habib dan pengikutnya”
“Sebenarnya
bukan hanya media, tapi kita bisa lihat langsung di Youtube, bagaimana tindakan
kekerasan mereka dan itu nyata, tidak direkayasa. Media meliput karena itu
mengganggu ketertiban dan banyak juga majelis yang berbuat baik tapi tidak
diliput. Yang dilakukan harusnya bukan memaksa, tapi bagaimana ummat di tingkat
bawah dididik agar lebih sadar mana baik dan buruk” teman saya menguatkan.
“Pengetahuan
keagamaan Habib lebih tinggi daripada pengetahuan keagamaan kita, dia lebih
tahu. Sekarang begini saja, Habib sudah bergerak dan berjuang untuk agama,
pertanyaannya apa yang sudah kita lakukan.”
Diskusi ini
mengingatkan serunya diskusi di bangku kuliah dulu, cuma sekarang kadarnya agak
berat dan mungkin sedikit sensitif karena saat ini pilihan-pilihan sudah lebih
matang ketimbang dulu. Tapi saya percaya, nostalgia kebiasaan diskusi kami dulu
masih tersimpan, dan kami tahu saat ini bukan lagi saatnya untuk
menang-menangan dalam berargumen. Dulu pun kami tak begitu simpatik dengan
diskusi menang-menangan.
Saya dan
teman saya diam. Kami seperti bersepakat, menjawab pertanyaan itu tidak akan
berujung pada kesepahaman. Sebab menurut teman yang membela Habib ini, tingkat
iman paling tinggi adalah mencegah kemungkaran dengan tangan. Maka jelas, jawaban
kami yang shalat juga masih bolong-bolong ini tidak akan dihitung. Apalagi kalau
saya menjawab “Setidaknya saya mempromosikan Islam yang Rahmatan lil Alamin” mungkin
akan ditertawakan.
Dan diskusi
pun berlanjut ke topik lain, tentang politik daerah, tentang keputusan teman
saya pembela Habib ini pindah partai, hingga strateginya untuk maju lagi dalam
kontestasi Legeslatif, setelah sebelumnya gagal. Sebagai teman saya mendukung
niat baiknya. Sepertinya ia memang punya passion dalam politik.
“Bagaimana
kalau malam ini kita jalan, jarang-jarang bisa ketemu lagi,” ajak teman yang politikus dan pendukung Habib ini.
Jam di tangan
saya sudah menunjuk angka 2, sudah tengah malam. Kami pun keliling kota pakai
mobil pribadinya. Dia adalah satu dari sedikit teman kami yang sudah memiliki
mobil.
Tak begitu
lama berputar-putar dalam kota, kami masuk gang sempit, kemudian masuk halaman
parkir yang agak luas. Teman saya sang politikus keluar dan langsung menuju
pintu samping, saya berdua dengan teman yang satunya mengikut dari belakang.
Setelah
menyusuri lorong demi lorong dalam gedung itu, sampailah kami dalam ruangan yang sepertinya penuh
dengan orang-orang. Tak begitu jelas wajah-wajah mereka, karena lampu di rungan
ini tidak terang. Saya merasakan udara pengab karena asap rokok. Kami lalu
duduk di salah satu meja. Teman saya sang politikus berdiskusi dengan seorang
pria, singkat tapi sepertinya serius.
Baca Juga: Dongeng Perjalanan
Aku mulai
curiga. Kulirik teman yang satunya, kepalanya liar menengok kanan kiri.
Orang-orang berlalu lalang di belakang kursiku, sampai aku harus menarik kursi
memberi ruang untuk lewat. Ruangan ini terasa sempit. Aku makin was-was.
Tak begitu
lama pria tadi datang. Saya diam, teman yang satunya juga. Tiba-tiba teman
politikus saya berbisik. “Mau pesan lagu apa?”
Saya
mengarahkan pandangan ke atas meja, 4 botol berdiri di sana.
“Wassalam”
kataku dalam hati
___
Palu, 12
April 2017
Terinspirasi dari kisah saya
alami sendiri bulan ini
Gambar dari
sini