Banyak orang bahkan teman-teman saya sendiri mungkin
bertanya, kenapa saya secara terang-terangan berpihak pada Ahok dalam Pilkada
DKI. Keuntungan apa yang saya peroleh. Apa yang saya dapatkan dari pemihakkan
itu.
Pertama harus dipahami, saya bukanlah warga DKI Jakarta.
Dalam KTP saya tertera alamat Desa Tinggede, Kecamatan Maravola, Kabupaten
Sigi, Sulawesi Tengah. Jadi Ahok tidak mendapatkan keuntungan dukungan suara
dari saya, dan saya pun tidak dapat keuntungan materi dari keberpihakan saya.
Jadi tidak perlulah heboh saya memihak siapa. Toh juga tidak berpengaruh
apa-apa.
Disisi lain saya malah mendapat cibiran dan dihindari oleh
beberapa orang yang tidak suka dengan keberpihakan saya.
Lantas untuk apa saya berpihak?
Awalnya saya hanya melihat Pilkada DKI sebagai tontonan seru
dimana Ahok berdiri seorang diri menentang barisan sakit hati dari elit-elit
yang kepentingannya terganggu. Saat itu jaringan Teman Ahok hadir hanya dalam
konteks menggalang dukungan politik masyarakat untuk maju dalam Pilkada sebagai
calon independen. Tapi diluar konteks itu Ahok menghadapi gempuran demi
gempuran asosiasi lawan politiknya seorang diri.
Kasus UPS, perseteruan dengan DPRD, kasus sumber waras,
kasus gulungan kabel, kasus penertiban pedagang kaki lima, kasus parkir liar
yang merugikan Pemda, semua dia hadapi sendiri dan selalu menang. Inilah yang
membuat Pilkada DKI menjadi seru. Ada pertarungan sosok baik dan sosok jahat,
seperti dalam film-film super hero.
Tapi semakin lama kecenderungan Pilkada DKI semakin bergeser,
dari tontonan seru menjadi tontonan horror. Dalam beberapa kejadian, akal sehat
malah dijungkirbalikkan. Dan yang lebih horror lagi, sentiment keagamaan
meningkat tajam.
Dalam situasi inilah saya berpikir untuk BERPIHAK.
Keberpihakan ini sudah bukan lagi pada sosok Ahok tapi pada AKAL
SEHAT dan masa depan negeri yang dipuji dunia internasional karena
kebhinekaannya ini.
Pilkada DKI yang harusnya jadi masalah lokal Jakarta kini beralih menjadi keprihatinan umum. Ada hal-hal mendasar yang dipertaruhkan disana yakni masa depan demokrasi dan kebhinekaan. Bisa dibayangkan bagaimana jika sentimen keagamaan ini menular kesemua daerah. Bagaimana jika politisasi agama menjadi trend Pilkada di daerah lain yang mayoritas muslim maupun daerah mayoritas non muslim.
Disanalah kebhinekaan kita terancam.
Pilkada DKI yang harusnya jadi masalah lokal Jakarta kini beralih menjadi keprihatinan umum. Ada hal-hal mendasar yang dipertaruhkan disana yakni masa depan demokrasi dan kebhinekaan. Bisa dibayangkan bagaimana jika sentimen keagamaan ini menular kesemua daerah. Bagaimana jika politisasi agama menjadi trend Pilkada di daerah lain yang mayoritas muslim maupun daerah mayoritas non muslim.
Disanalah kebhinekaan kita terancam.
Bagaimana bisa Ahok
dikatakan menista agama. Jika pidato di kepulauan seribu jadi sebabnya, hingga
kini saya tidak melihat dimana letak kesalahan Ahok dalam pidato itu. Saya
malah melihat dia berkata jujur, karena kenyataannya memang ada orang yang
menggunakan ayat Al Qur’an untuk mengejar kekuasaan.
Bagaimana mungkin kita dilarang memilih pemimpin politik
yang jujur dan amanah hanya karena ia non muslim? Bagaimana bisa orang yang memilihnya
dikatakan munafik dan jenazahnya tidak boleh di shalatkan? Mau tidak mau saya harus
berpihak pada nurani dan AKAL SEHAT saya.
Jika kata aulia
dalam Al Maidah 51 diartikan sebagai pemimpin dan berlaku untuk semua pemimpin dalam semua kondisi, maka
munafik semualah muslim yang mau tinggal di negeri-negeri yang pemimpinnya non
muslim, munafik semualah muslim yang belajar diinstitusi pendidikan yang
pemimpinnya non muslim, munafik semualah muslim yang bekerja ditempat usaha non
muslim, diperusahaan-perusahaan milik non muslim, direstoran-restoran non
muslim, di bengkel-bengkel non muslim, di gerai-gerai non muslim, di
media-media TV milik non muslim.
Apakah jenazah mereka harus diterlantarkan? atau mereka harus diusir dari masjid?
Disinilah AKAL SEHAT harus bereaksi.
Apakah jenazah mereka harus diterlantarkan? atau mereka harus diusir dari masjid?
Disinilah AKAL SEHAT harus bereaksi.
Saya berharap mereka bisa sedikit meluangkan waktu membaca asbabun nuzul turunnya Al Maidah 51.
Baca Juga: Murahnya Agamaku
Dikatakan lagi bahwa Ahok adalah sumber masalah, bahwa semua masalah ini tidak akan ada tanpa kehadiran Ahok. Bukankah lawan politik yang benci dengan Ahok yang membuat ini jadi masalah? Sebenarnya dimana letak masalah yang disebabkan Ahok? Disinilah AKAL SEHAT mesti berperan.
Kalau mau jujur, dari apa yang sudah dilakukan Ahok sejauh
ini, maka yang bermasalah dengan Ahok sesungguhnya adalah para mafia. Ada mafia
anggaran di DPR, mafia parkir DKI yang meraup keuntungan ratusan juta, mafia
jual beli jabatan, mafia hiburan malam dan tempat prostitusi, mafia pungutan
liar, dan serigala-serigala lapar lain yang dengan sabar dan penuh harap
memakai segala cara agar bisa melihat kejatuhan Ahok.
Dalam tatanan masyarakat bernegara situasi yang memanas di
Pilkada DKI sudah berubah menjadi horror yang kapan saja bisa meledak menjadi
konflik berkepanjangan. Ada jenazah yang dilarang untuk dishalatkan, ada muslim
yang diusir dari masjid seusai shalat Jum’at.
Sampai disini, saya harus tegaskan bahwa keberpihakan saya
bukan untuk keuntungan materi, tapi jauh lebih dari itu, saya berpihak kepada
FITRAH yang dikaruniakan Tuhan pada saya, kepada AMANAH dari agama yang saya
yakini.
Fitrah itu adalah AKAL SEHAT. Al Qur’an kitab suci agama saya
memerintahkan saya untuk berpikir. Amanah itu adalah RAHMATAN LIL ALAMIN, saya
wajib menunjukkan bahwa agama saya berwajah teduh dan damai.
Mari Ngopi
___
Palu, 18 April 2017