Militer Wanita Israel dibebaskan oleh Hamas (Gambar: Daily Mail UK) |
Setelah lebih dari 14 bulan akhirnya tanggal 15 Januari Israel setuju dengan gencatan senjata (ceasefire) yang dimediasi oleh Qatar, Mesir dan Amerika. Isi perjanjian sangat jelas menggambarkan keinginan Hamas sejak awal pecahnya konflik pada Oktober 2023. Hamas dihari itu menerobos pagar pembatas yang mengurung warga dan kota Gaza selama lebih dari 16 tahun.
Dalam operasi penerobosan yang disebut Al Aqsa Floods itu Hamas menyerang pos pagar penghalang, masuk ke area pemukiman warga Israel, melakukan konfrontasi bersenjata dengan militer dan polisi Israel, lalu menangkap dan membawa tidak kurang dari 250 warga Israel kembali ke Gaza untuk jadi tawanan. Dari 250 orang tawanan ini, sebagian adalah militer Israel yang menyerah dan ditangkap, sebagian lagi warga sipil Israel.
Ada beberapa alasan dibalik serangan Al Aqsa Flood, menurut Hamas alasan serangan itu antara lain, merespon tindakan Israel di West Bank yakni penggusuran, pengusiran, penangkapan, dan pembunuhan warga Palestina yang terus terjadi sebelum 7 Oktober, menyudahi bolakde wilayah Gaza yang dikurung oleh Israel selama lebih dari 16 tahun (sejak 2005-2006), dan pertukaran tawanan dengan target membebaskan warga Palestina yang berada dalam penjara Israel.
BTselem organisasi HAM di Israel dalam website mereka meliris data bahwa tahun 2019 jumlah warga Palestina dalam penjara Israel mencapai 5.028 orang, termasuk perempuan dan anak. Sebagian diantaranya ditangkap tanpa alasan kuat, tanpa proses pengadilan, dan tanpa tahu sampai kapan ditahan. Israel menyebutnya Administrative Detention. Satu-satunya alasan adalah tahanan itu ‘dicurigai’ akan melakukan kejahatan di masa depan.
Addameer, organisasi HAM Palestina yang sering bekerjasama dengan Human Rights Watch dan Amnesty International bahkan merilis data tanggal 7 Januari 2025 yang menunjukkan jumlah warga Palestina yang ditahan Israel mencapai 10.400 orang, meningkat tajam saat konflik berlangsung.
GENCATAN SENJATA
Gencatan senjata atau kesepakatan untuk menghentikan konflik (sementara atau permanen), mestinya menjadi pilihan utama setelah Perang Dunia 2 dan berdirinya PBB. Dunia sudah sadar bahwa perang tidak baik untuk umat manusia, dan semua konflik harus dicarikan jalan keluarnya agar warga sipil yang tidak tahu apa-apa tidak menjadi korban ego segelintir pemimpin. Itulah fungsi utama berdirinya PBB, menjaga ketertiban dunia.
Maka saat konflik Russia – Ukraina pecah, dorongan untuk perundingan berkali-kali dilakukan dan selalu gagal karena Ukraina yang didukung negara barat tidak menerima syarat dari Russia, begitupun sebaliknya.
Saat konflik Israel – Palestina pecah 7 Oktober, Hamas sudah berkali-kali mengemukakan keinginanya namun selalu ditolak oleh Perdana Mentri Israel, Benjamin Netanyahu. Bicara gencatan senjata harusnya bicara keinginan kedua belah pihak. Harusnya bicara sumber masalah dan bagaimana mencari titik temu.
Jika kita lihat diskusi dan debat yang beredar di media mainstream barat, termasuk juga di Indonesia, hampir semua isu mengarah pada serangan 7 Oktober dan bagaimana Israel membalas serangan itu, menghancurkan Hamas, dan membebaskan tawanan. Mesin propaganda Israel (Hasbara) tidak akan mau membahas situasi sebelum 7 Oktober, tidak mau masuk pada pokok persoalan, yang menurut Hamas adalah penjajahan dan apartheid.
Hamas digambarkan sebagai organisasi teroris yang tujuan utamanya adalah membunuh semua Yahudi dan membumi-hanguskan Israel. Bagi Israel tidak ada peluang untuk bernegosiasi dengan “para binatang” ini. Begitulah Yoav Gallant, mentri pertahanan Israel saat itu menyatakan bahwa Gaza akan ditutup total, “Complete siege on Gaza, no electricity, no food, no water, no fuel, everything is closed. We are fighting human animals and we are acting accordingly.” Pernyataan ini muncul 2 hari setelah serangan Hamas.
Israel terbukti salah, Hamas sejak awal menawarkan perundingan dan membantah tuduhan membunuh warga sipil tak bersenjata. Selama sebulan lebih Israel menggempur Gaza membunuh ribuan warga sipil tapi tidak berhasil membebaskan satupun tawanan dalam kekuasaan Hamas. Setelah tekanan dalam negeri dan keluarga tahanan, Israel akhirnya sepakat melakukan gencatan senjata pertama selama 7 hari (24 -30 Novemver 2023), Hamas dan Israel melakukan pertukaran tawanan.
Meskipun ceasefire pertama berjalan dengan berbagai drama namun pertukaran tawanan berjalan sesuai kesepakatan. Sebanyak 50 warga Israel dibebaskan oleh Hamas dan 150 warga Palestina berusia lanjut, perempuan dan anak dibebaskan oleh Israel. Umumya warga Palestina yang dibebaskan berasal dari West Bank bukan dari Gaza, karena memang sejak Gaza dikurung, penangkapan dan penahanan terjadi di West Bank.
Meski begitu Itamar Ben Gvir, mentri keamanan Israel mengingatkan keluarga Palestina untuk tidak merayakan pembebasan ini dan tidak bicara di media, jika ini dilanggar, ia mengancam akan kembali menahan mereka. Sejak ceasefire pertama itu, hingga saat ini jumlah warga Palestina yang ditangkap oleh Israel berkali lipat dibanding jumlah yang dibebaskan saat itu.
GENCATAN SENJATA 2025
Lalu bagaimana isi perjanjian ceasefire kedua ini. Isinya masih sama dengan draft yang disusun bersama pada awal Mei 2024, namun PM Israel, Benjamin Netanyahu tidak setuju dan masih yakin bisa membebaskan tawanan melalui serangan militer ke Gaza. Israel khawatir agenda operasi militernya akan terhambat dengan kesepakatan damai. Maka berselang 2 bulan sejak draft ceasefire itu diusulkan, Israel membunuh juru runding Hamas, Ismail Haniyeh pada Juli 2024. Terbunuhnya Ismail Haniyeh membuat para pengamat pesimis dengan usaha damai. Israel menutup jalan untuk berdamai.
Januari 2025, enam bulan setelah Ismail Haniyeh terbunuh Israel masih belum berhasil membebaskan satupun dari 150 orang warga Israel yang masih ditawanan Hamas. Situasi ini membuat Netanyahu mendapat tekanan dari dalam negeri, ribuan warga Israel turun ke jalan melakukan protes, meminta Netanyahu untuk segera menepati janjinya membebaskan tawanan.
Akhirnya pada pertengahan Januari, Israel setuju dengan isi perjanjian yang diantaranya memuat 3 fase:
Kalau mau jujur, saya tidak terlalu yakin ceasefire ini akan berjalan sesuai rencana. Israel punya rekor buruk dalam taat pada kesepakatan, hampir semua pengamat internasional juga berpendapat serupa. Saat tulisan ini dibuat, fase pertama sedang berjalan, dan Israel sudah melanggar kesepakatan. Warga Gaza yang berjalan kembali menuju rumah mereka ditembak oleh militer Israel.
Tapi mari kita berharap dunia internasional bisa mengawasi jalannya kesepakatan. Setidaknya kita beri waktu warga dan anak-anak Gaza yang sudah terlanjur bersuka cita dan merayakan kesepakatan damai ini. Anak-anak dan warga Gaza turun ke jalan merayakan meskipun sebagian besar keluarga mereka dibunuh dan rumah mereka rata dengan tanah. Sesuatu yang harusnya tidak mereka lakukan jika tuduhan Israel benar bahwa warga Palestina tidak ingin berdamai tapi ingin membunuh semua warga Israel.
Dan jika kita perhatikan gesture politisi dan pemimpin di Israel, justru mereka tidak senang dengan perayaan damai yang dilakukan oleh warga Gaza. Bukankah alasan mereka selama ini ingin membebaskan tawanan? Bukankah mereka harus senang bahwa tawanan berhasil dibebaskan?
https://www.telegraph.co.uk/world-news/2025/01/15/israel-hamas-gaza-ceasefire-deal-biden-latest/ |
Bazelel Smotrich, mentri keuangan Israel bahkan menenangkan pendukung partainya yang gelisah dan mengatakan bahwa Israel akan kembali ke Gaza untuk melanjutkan pembantaian.
Baca juga: CERITA GAZA - MIDWAY SEASON
Mari kita lihat sejauh mana Israel akan menepati perjanjian.
Tapi sementara ini kita perlu mengintip West Bank. Setelah ceasefire berlaku di Gaza, militer Israel beralih ke West Bank. Buldoser penghancur sudah mulai merusak jalan raya dan sniper mulai beraksi menembaki warga di jalanan.
___
Foodcourt Balaikota Palu
28 Januari 2025