Aku terduduk, diam, masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Tak pernah terlintas dalam pikiranku, perjalananku mesti berakhir seperti ini. Di duniaku sebelumnya aku dikenal baik, rajin dan jarang mengecewakan orang lain.
Setidaknya itulah yang diungkapkan orang-orang yang memiliki otoritas untuk menilai pencapaianku.
Bagaimanapun vonis itu telah jatuh. Bangunan impianku yang kususun sejak lama runtuh tak berbekas. Tak main-main, aku divonis mati oleh para hakim itu. Para hakim dengan raut yang memuakkan, yang angkuh, yang sombong dan tak punya perasaan. Aku tak suka memandangi mereka. Aku bahkan belum tahu dakwaan dan alasan apa hingga keputusan yang sangat mengejutkan itu dijatuhkan padaku. Aku tak merasa ada yang salah pada diriku. “Aturan Baru” itulah satu-satunya alas an yang aku dengar.
Enam orang temanku juga mengalami nasib yang sama. Mereka duduk dengan gelisah, sesekali berjalan dan menunjukkan raut cemas bahkan mengiba entah kepada siapa. Aku tak tahu apakah mereka merasakan kadar kekecewaan yang sama denganku. Ah itu tak penting bagiku.
Tak beberapa lama kemudian aku telah berada dalam kondisi yang sangat absurd, tak ada rasa penyesalan sedikit pun, semua terasa hambar, terasa hening. Aku tak tahu apakah ini bentuk pemakluman atau putus asa, yang pasti rasa lelah yang sangat telah menghinggapiku. Begitulah hari-hariku selanjutnya berjalan lambat dan sunyi. Aku mendengar kabar eksekusiku akan dilangsungkan beberapa hari lagi.
Dua hari kemudian kejutan lain datang, kasusku ditinjau kembali, hanya aku, tidak untuk enam orang lainnya. Aku diberi kesempatan untuk hadir dalam sidang, menjelaskan beberapa hal yang bisa meringankan vonis ku. Sejujurnya aku tak memiliki kekuatan lagi berada dalam situasi ini. Apalagi bertemu dengan hakim-hakim itu. Pandangan sinis dan rumor yang simpang siur sudah cukup memberi efek penyiksaan tersendiri. Namun dorongan dari kerabat dekat memaksaku untuk menghadiri sidang.
Memang kerabat yang kudapat dalam duniaku saat ini lebih banyak ketimbang kerabat yang dimiliki enam orang terpidana lain. Kerabatku merasa bertanggung jawab karena vonis yang menimpaku menurut mereka disebabkan kedekatan kami.
Dengan sedikit keengganan kupungut kembali serpihan berkas dan kususun dalam map besar. Sesaat sebelum siding, berkasku belum rampung sepenuhnya. Sekali lagi rasa pesimis menghinggapiku, untuk menjaga komitmen aku pun memaksakan diri untuk hadir.
Di ruang sidang hakim-hakim itu telah mengambil tempat, persis seperti format yang mereka bentuk beberapa hari lalu, tak ketinggalan senyum palsu dan sorot mata yang tajam dengan kadar yang berbeda satu sama lain. Jantungku terasa mengkerut, kepalaku membesar, dan saat itulah perasaan itu datang.
Aku mulai cemas, entah dengan alasan apa cairan itu telah memenuhi sudut mataku. Naluri memaksa refleksku dan menghadirkan harapan untuk lolos dari jerat vonis. Walhasil, raut harap cemas bahkan mengiba pun meliputiku sepanjang sidang, beberapa kali cairan itu jatuh dari sudut mataku.
“Cepat, kumpul semua berkasmu, yudisium Fakultas tertunda 15 menit hanya untuk menunggu ujianmu selesai,”
Ucapan itu menamparku. Vonis Drop Out dari kampus dicabut.
Setengah jam kemudian namaku resmi menjadi Ferra Rifni Nusa, S. Pd.
Terimakasih buat kerabatku di organisasi kepecintaalaman, kalianlah yang membesarkanku, dari kalianlah aku merasa lebih hebat dari mereka, bahkan dari hakim-hakim itu.
Palu, 04 Oktober 2010
Terisnpirasi dari kisah seseorang
Setidaknya itulah yang diungkapkan orang-orang yang memiliki otoritas untuk menilai pencapaianku.
Bagaimanapun vonis itu telah jatuh. Bangunan impianku yang kususun sejak lama runtuh tak berbekas. Tak main-main, aku divonis mati oleh para hakim itu. Para hakim dengan raut yang memuakkan, yang angkuh, yang sombong dan tak punya perasaan. Aku tak suka memandangi mereka. Aku bahkan belum tahu dakwaan dan alasan apa hingga keputusan yang sangat mengejutkan itu dijatuhkan padaku. Aku tak merasa ada yang salah pada diriku. “Aturan Baru” itulah satu-satunya alas an yang aku dengar.
Enam orang temanku juga mengalami nasib yang sama. Mereka duduk dengan gelisah, sesekali berjalan dan menunjukkan raut cemas bahkan mengiba entah kepada siapa. Aku tak tahu apakah mereka merasakan kadar kekecewaan yang sama denganku. Ah itu tak penting bagiku.
Tak beberapa lama kemudian aku telah berada dalam kondisi yang sangat absurd, tak ada rasa penyesalan sedikit pun, semua terasa hambar, terasa hening. Aku tak tahu apakah ini bentuk pemakluman atau putus asa, yang pasti rasa lelah yang sangat telah menghinggapiku. Begitulah hari-hariku selanjutnya berjalan lambat dan sunyi. Aku mendengar kabar eksekusiku akan dilangsungkan beberapa hari lagi.
Dua hari kemudian kejutan lain datang, kasusku ditinjau kembali, hanya aku, tidak untuk enam orang lainnya. Aku diberi kesempatan untuk hadir dalam sidang, menjelaskan beberapa hal yang bisa meringankan vonis ku. Sejujurnya aku tak memiliki kekuatan lagi berada dalam situasi ini. Apalagi bertemu dengan hakim-hakim itu. Pandangan sinis dan rumor yang simpang siur sudah cukup memberi efek penyiksaan tersendiri. Namun dorongan dari kerabat dekat memaksaku untuk menghadiri sidang.
Memang kerabat yang kudapat dalam duniaku saat ini lebih banyak ketimbang kerabat yang dimiliki enam orang terpidana lain. Kerabatku merasa bertanggung jawab karena vonis yang menimpaku menurut mereka disebabkan kedekatan kami.
Dengan sedikit keengganan kupungut kembali serpihan berkas dan kususun dalam map besar. Sesaat sebelum siding, berkasku belum rampung sepenuhnya. Sekali lagi rasa pesimis menghinggapiku, untuk menjaga komitmen aku pun memaksakan diri untuk hadir.
Di ruang sidang hakim-hakim itu telah mengambil tempat, persis seperti format yang mereka bentuk beberapa hari lalu, tak ketinggalan senyum palsu dan sorot mata yang tajam dengan kadar yang berbeda satu sama lain. Jantungku terasa mengkerut, kepalaku membesar, dan saat itulah perasaan itu datang.
Aku mulai cemas, entah dengan alasan apa cairan itu telah memenuhi sudut mataku. Naluri memaksa refleksku dan menghadirkan harapan untuk lolos dari jerat vonis. Walhasil, raut harap cemas bahkan mengiba pun meliputiku sepanjang sidang, beberapa kali cairan itu jatuh dari sudut mataku.
“Cepat, kumpul semua berkasmu, yudisium Fakultas tertunda 15 menit hanya untuk menunggu ujianmu selesai,”
Ucapan itu menamparku. Vonis Drop Out dari kampus dicabut.
Setengah jam kemudian namaku resmi menjadi Ferra Rifni Nusa, S. Pd.
Terimakasih buat kerabatku di organisasi kepecintaalaman, kalianlah yang membesarkanku, dari kalianlah aku merasa lebih hebat dari mereka, bahkan dari hakim-hakim itu.
Palu, 04 Oktober 2010
Terisnpirasi dari kisah seseorang