Menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis adalah menulis… Heran, kaget, bingung, hingga kagum. Itulah perasaan saya saat pertama membaca “teori menulis” Gretude Stein. Bagaimana bisa orang seperti dia membuat kalimat pengulangan seperti itu, menyalahi tata bahasa, dan kurang enak untuk dibaca. Saya akhirnya mafhum dengan kalimat itu setelah saya mencoba bergelut lebih dekat dengan kegiatan menulis – meski belum terlalu dekat.
Menulis adalah proses, ternyata memang benar. Bahwa tak ada bakat bawaan dalam menulis seperti ungkapan Bambang Trim dalam bukunya Aku Bermimpi Menjadi Penulis, juga benar. Layaknya bersepeda, tak ada yang berbakat bersepeda, yang ada adalah orang yang berani untuk berlatih bersepeda.
Tak ada orang yang tidak mahir menulis, yang ada hanyalah orang yang takut dan ragu untuk melakukannya. Inilah salah satu kesan yang saya dapat saat membaca buku Chicken Soup For The Writer’s Soul. Sebuah buku yang menggugah semangat para penulis. Sebuah buku yang ingin saya angkat dalam tulisan non fiksi pertama saya di forum ini.
Chicken Soup For The Writer’s Soul bukanlah buku baru, mengingat terbitan pertamanya di Indonesia tahun 2007 dan telah banyak dibahas oleh forum-forum penulis. Bukan pula saya bermaksud untuk kembali membahas buku yang telah banyak diulas orang lain. Saya hanya bersepakat dengan Elizabeth Engstrom yang dikutip dalam buku ini: Masing-masing dari kita unik di alam raya ini, sehingga demikian juga kisah-kisah yang kita tuturkan.
Lagi pula saya belum melihat buku ini masuk dalam forum online kita ini. Padahal buku ini – menurut saya – sangat penting bagi penulis pemula seperti saya dan penulis besar sebagai bahan untuk sekedar bernostalgia. Kalau mau jujur, keinginan saya membahas buku ini berangkat dari pemahaman bahwa gairah menulis belum tumbuh subur di daerah ini. Saya ingin menularkan semangat buku ini kepada kita semua yang mungkin belum tertular.
Buku yang berisi kumpulan cerita ini merupakan salah satu edisi dari proyek besar Chicken Soup For The Soul. Buku ini menyuguhkan cerita dibalik kesuksesan penulis besar. Masing-masing penulis bercerita dengan gaya khasnya. Kita akan dimanjakan dengan gaya bertutur yang ringan dan unik dari tangan-tangan yang memang telah ahli.
Kita bisa tersenyum saat membaca kisah Gene Perret, atau Christine Clifford. Kisah Alex Haley bahkan lebih dahsyat dimana ia sempat dianggap simpanse sebelum menjadi penulis ternama. Kita pun mendadak geram dengan kisah Norah Profit yang membuang kesempatan emas, bagaimana Steve Allen dituduh plagiat, atau Gregory Poirier yang harus membenci uang sebelum bisa menikmati menulis. Lalu kisah Cookie Potter atau Kate M. Brausen akan mengantar kita memasuki suasana haru yang membiru.
Kisah mereka – bagi saya pribadi – dapat secara langsung mempengaruhi kita, membakar semangat kita, dan membangkitkan kembali mimpi-mimpi yang mungkin sudah terkulai bahkan terkubur. Kisah perjuangan, penolakan, kesabaran, keraguan, ketakutan dalam buku ini adalah masalah yang juga dihadapi oleh umumnya penulis. Akhirnya kita akan mendapati cerita dimana kegiatan menulis bermetamorfosa dari “keharusan” menjadi “kebutuhan”.
Meski menjadi buku yang meledak dipasaran, harus diakui kekurangan dalam edisi terjemahannya. Pola komunikasi Bahasa Inggris masih kental mewarnai terjemahan buku ini, bahkan boleh dibilang membingungkan bagi yang belum terbiasa dengan pola tersebut. Namun lagi-lagi cerita luar biasa yang dibangun penulis membuat kita tak ingin berhenti membacanya.
"…aku tidak secara sadar memutuskan untuk menjadi seorang penulis… Kata-kata telah memberiku rasa memiliki dan rasa aman. Menulis adalah satu-satunya tempat aku bisa menjadi diriku sendiri dan tidak merasa dihakimi. Dan aku senang berada disana." Itulah pernyataan Terry Mcmillan dalam buku ini.
Pada akhirnya Chicken Soup for the Writer’s Soul kembali menyadarkan kita akan teori Gretude Stein diatas, bahwa menulis memang adalah proses, bukan bakat yang hanya dimiliki segelintir orang. Selamat Menulis
Terus berkarya…
Tinggede, 16 September 2011
Semoga Bermanfaat
Menulis adalah proses, ternyata memang benar. Bahwa tak ada bakat bawaan dalam menulis seperti ungkapan Bambang Trim dalam bukunya Aku Bermimpi Menjadi Penulis, juga benar. Layaknya bersepeda, tak ada yang berbakat bersepeda, yang ada adalah orang yang berani untuk berlatih bersepeda.
Tak ada orang yang tidak mahir menulis, yang ada hanyalah orang yang takut dan ragu untuk melakukannya. Inilah salah satu kesan yang saya dapat saat membaca buku Chicken Soup For The Writer’s Soul. Sebuah buku yang menggugah semangat para penulis. Sebuah buku yang ingin saya angkat dalam tulisan non fiksi pertama saya di forum ini.
Chicken Soup For The Writer’s Soul bukanlah buku baru, mengingat terbitan pertamanya di Indonesia tahun 2007 dan telah banyak dibahas oleh forum-forum penulis. Bukan pula saya bermaksud untuk kembali membahas buku yang telah banyak diulas orang lain. Saya hanya bersepakat dengan Elizabeth Engstrom yang dikutip dalam buku ini: Masing-masing dari kita unik di alam raya ini, sehingga demikian juga kisah-kisah yang kita tuturkan.
Lagi pula saya belum melihat buku ini masuk dalam forum online kita ini. Padahal buku ini – menurut saya – sangat penting bagi penulis pemula seperti saya dan penulis besar sebagai bahan untuk sekedar bernostalgia. Kalau mau jujur, keinginan saya membahas buku ini berangkat dari pemahaman bahwa gairah menulis belum tumbuh subur di daerah ini. Saya ingin menularkan semangat buku ini kepada kita semua yang mungkin belum tertular.
Buku yang berisi kumpulan cerita ini merupakan salah satu edisi dari proyek besar Chicken Soup For The Soul. Buku ini menyuguhkan cerita dibalik kesuksesan penulis besar. Masing-masing penulis bercerita dengan gaya khasnya. Kita akan dimanjakan dengan gaya bertutur yang ringan dan unik dari tangan-tangan yang memang telah ahli.
Kita bisa tersenyum saat membaca kisah Gene Perret, atau Christine Clifford. Kisah Alex Haley bahkan lebih dahsyat dimana ia sempat dianggap simpanse sebelum menjadi penulis ternama. Kita pun mendadak geram dengan kisah Norah Profit yang membuang kesempatan emas, bagaimana Steve Allen dituduh plagiat, atau Gregory Poirier yang harus membenci uang sebelum bisa menikmati menulis. Lalu kisah Cookie Potter atau Kate M. Brausen akan mengantar kita memasuki suasana haru yang membiru.
Kisah mereka – bagi saya pribadi – dapat secara langsung mempengaruhi kita, membakar semangat kita, dan membangkitkan kembali mimpi-mimpi yang mungkin sudah terkulai bahkan terkubur. Kisah perjuangan, penolakan, kesabaran, keraguan, ketakutan dalam buku ini adalah masalah yang juga dihadapi oleh umumnya penulis. Akhirnya kita akan mendapati cerita dimana kegiatan menulis bermetamorfosa dari “keharusan” menjadi “kebutuhan”.
Meski menjadi buku yang meledak dipasaran, harus diakui kekurangan dalam edisi terjemahannya. Pola komunikasi Bahasa Inggris masih kental mewarnai terjemahan buku ini, bahkan boleh dibilang membingungkan bagi yang belum terbiasa dengan pola tersebut. Namun lagi-lagi cerita luar biasa yang dibangun penulis membuat kita tak ingin berhenti membacanya.
"…aku tidak secara sadar memutuskan untuk menjadi seorang penulis… Kata-kata telah memberiku rasa memiliki dan rasa aman. Menulis adalah satu-satunya tempat aku bisa menjadi diriku sendiri dan tidak merasa dihakimi. Dan aku senang berada disana." Itulah pernyataan Terry Mcmillan dalam buku ini.
Pada akhirnya Chicken Soup for the Writer’s Soul kembali menyadarkan kita akan teori Gretude Stein diatas, bahwa menulis memang adalah proses, bukan bakat yang hanya dimiliki segelintir orang. Selamat Menulis
Terus berkarya…
Tinggede, 16 September 2011
Semoga Bermanfaat