Setahun lebih sejak 7 Oktober 2023 saya tidak melirik blog ini untuk bicara soal Gaza Palestina. Maaf, bukan 2023 tapi sejak 2010 saat blog ini merilis tulisan pertamanya. Dari 165 tulisan yang saya rilis dalam blog ini selama 14 tahun, tidak ada satupun tulisan khusus yang membahas Palestina.
Saya memang menghindari pembahasan Palestina secara spesifik di ruang-ruang publik online, meskipun pemantik awal saya tertarik membahas Geopolitik justru dari sepotong tanah para nabi ini.
Baca Juga: KEMBALI MEMAHAMI TIMUR TENGAH
Palestina sudah terdengar di telinga saya sejak masih di bangku SD, saat TV di desa masih bisa di hitung dengan jari. Kita anak-anak sudah duduk di kaplingan masing-masing di depan TV tetangga menunggu serial film Combat dimana VO klip pembukanya “Starring Rick Jason” sangat melekat diingatan saya. Setelah serial Combat, di jam 10 malam, giliran orang-orang tua bersarung yang berbekal senter besi Tiger berbaterai 3, dan rela berjalan kaki hingga lebih 300 meter untuk menonton Dunia Dalam Berita TVRI. Berita tentang Perang Teluk dan nama-nama seperti Sadam Husein, Gorbachev, Boris Yeltsin, lalu Yassir Arafat dan gerakan Intifadah muncul serampangan. Disinilah penggalan-penggalan Palestina saya dengar tanpa pemahaman utuh tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Barulah saat membaca koleksi majalah TEMPO dan GATRA milik bapak, potongan cerita itu mulai terlihat, lalu saat di bangku SMA saya juga sempat mengoleksi majalah Sabili yang banyak menulis gerakan mujahidin baik dalam maupun luar negeri.
Saat itu yang saya pahami dari Palestina adalah tanah para mujahid yang sedang melakukan perang suci, perang agama. Bahwa warga Palestina sedang berperang melawan orang-orang kafir, dan muslim yang baik harus memiliki kegelisahan terhadap perang suci di Palestina. Tidak heran karna referensi bacaan saya adalah Sabili yang memang dibuat sangat provokatif.
Beberapa semester setelah duduk di bangku kuliah, saya terkejut mendengar kisah Rachel Corrie, seorang remaja perempuan, aktifis kemanusiaan asal Amerika dan beragama kristen tewas dilindas bulldoser Israel di usia 24 tahun karna mempertahankan rumah warga Palestina yang akan digusur. Kisah Corrie sangat melekat dalam pikiran saya selama berbulan-bulan. Semua pemahaman konflik Palestina sebelumnya runtuh. Konflik di Palestina bukanlah perang agama, tapi konflik kemanusiaan.
Pemahaman ini semakin mengakar karna saat itu saya sudah berkenalan dengan Che Guevara dan motor kesayangannya La Pedrosa. Saya juga sudah berkenalan dengan Soe Hok Gie dengan pernyataan “Saya bermimpi tentang sebuah dunia dimana ulama, buruh, dan pemuda bangkit dan berkata ‘Stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan atas nama apapun…”
Begitulah konflik Palestina berangsur semakin jelas di mata saya. Lalu ketertarikan itu meluas ke Geopolitik berkat beberapa teman diskusi dan membaca-baca sejarah konflik Perang Dunia 2 dan konflik kemanusiaan di era Perang Dingin yang diperkuat dengan kegemaran menonton film dengan tema serupa. Film seperti Rabbit Proof Fence, Life is Beautiful, Godbye Bavana, Cry Freedom, Twelve Years A Slave, The First Grader, dan lainnya.
Kini saya mulai curiga, keengganan saya membahas Palestina secara terbuka karna saya termakan propaganda Hasbara milik Israel yang dengan halus masuk ke sum-sum otak masyarakat kita, membuat kita melakukan stereotype pada orang-orang yang membahas soal Palestina. Saya memang khawatir membahas isu Palestina akan dicap kaum fundamentalis, extrimis, dan sebagainya.
Sesuatu yang memang sangat saya hindari. Tapi membahas Palestina harusnya tidak bisa dipandang sebagai diskusi kaum ekstrimis. Organisasi HAM Internasional sudah menyatakan pelanggaran HAM terbesar ada disana, jauh sebelum peristiwa 7 Oktober.
Sayangnya di Indonesia, sangat umum saya dapati orang bicara Palestina adalah golongan seperti yang saya sebut di atas. Mereka yang pikirannya hanya berkutat pada 4 hal: (1) Perang Agama/Jihad, (2) Sudah Ditakdirkan/Tanda Kiamat, (3) Imam Mahdi, (4) Donasi. Menurut saya tidak satu pun dari ke empat hal itu bisa jadi solusi mendasar dari penjajahan di Palestina. Dan Hasbara akan sangat senang dengan topik-topik itu, karna tidak akan ada tindak lanjut yang membawa perubahan signifikan. Sayang sekali.
Penyerangan 7 Oktober terjadi tahun lalu, tayangan yang menguras emosi dan air mata muncul di sosial media saya setiap hari. Satu hal yang saya tangkap dari pesan warga Palestina: Don’t Stop Talk About Us!. Mereka tidak meminta bantuan pasukan untuk berperang, mereka hanya meminta agar kita membicarakan Palestina agar bisa melawan kekuatan Hasbara dan media mainstream barat yang berusaha sekuat tenaga menutupi atau mengaburkan fakta bahkan membunuh ratusan jurnalis disana.
Saat itu saya berkomitmen akan membahas dan mengupdate situasi Palestina di story semua media sosial SETIAP HARI. Beberapa bulan berjalan saya berhasil mempertahankan konsistensi itu meskipun sangat berat dan menguras emosi. Beberapa bulan berikutnya saya mulai bolong-bolong, lalu sebulan full tidak mengupdate apa-apa, lalu mengupdate lagi dan bolong lagi. Kekejaman Israel terlalu besar dan terlalu viriatif untuk di-cover bahkan saat kita mengupdate setiap hari, tidak semua varian kekejaman itu bisa disuguhkan.
Satu tahun sudah berlalu, saya akhirnya memutuskan untuk menulis di blog ini agar bisa menjadi arsip. Story medsos hanya bertahan selama 24 jam. Bahkan saat saya mengetik tulisan ini pun, saya masih belum punya keberanian untuk membahas Palestina dalam postingan media sosial. Begitu kuatnya propaganda Hasbara memenjarakan kita. Atau mungkin saya beranggapan media sosial bukan tempat yang tepat untuk membahas topik seperti ini secara mendalam.
Baca Juga: SIAPA BILANG PUTIN BENCI BARAT
Entahlah, yang jelas saya akan mencoba menulis soal Palestina di blog ini semampu saya.
Ini adalah tulisan awal, perkenalan blog ini dengan Palestina. Semoga diberi kekuatan dan untuk menyusun tulisan-tulisan berikutnya.
Baca Selanjutnya: GAZA MENGURASKU
---
Pasar Kopi Palu Barat, 28 Desember 202
Gambar ilustrasi dari sini