Penerobosan Hamas ke dinding penjara yang dibangun Israel untuk mengurung Gaza selama 16 tahun menjadi titik awal cerita propaganda Israel untuk melancarkan agenda penghancuran Gaza. Saya masih ingat detil awal munculnya orkestrasi narasi berita di media-media mainstream Barat dengan nada serupa: UNPROVOKED ATTACK BY HAMAS, yang secara bebas bisa diartikan “Serangan Tanpa Alasan”.
Website resmi Gedung Putih Amerika dihari yang sama juga merilis pernyataan resmi mengutuk The Unprovoked Attacks oleh Hamas. Itulah fase pertama propaganda Israel yang didukung oleh Gedung Putih dan tayang headline di media-media mainstream. Kesan dari narasi ini adalah, Israel sedang duduk manis, lalu tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba Hamas datang menyerang. Israel yang tak tahu apa-apa menjadi korban kebiadaban teroris Hamas.
Selama 3 hari frasa Unprovoked Attack ini wara wiri di hampir semua media mainstream. Lalu tanggal 10 Oktober bergulirlah propaganda fase kedua: 40 BEHEADED BABIES, yang bisa diartikan 40 bayi dipenggal. Media Israel Channel i24 menyiarkan berita ini pertama kali dari tentara Israel bahwa ditemukan korban bayi-bayi yang dipenggal oleh Hamas.
Hari berikutnya 11 Oktober, giliran juru bicara PM Netanyahu yang memberi keterangan kepada CNN soal bayi dipenggal. Dihari yang sama, presiden Amerika, Joe Biden mengamplifikasi berita ini langsung dari Gedung Putih, dibumbuhi dengan cerita pembantaian Yahudi oleh Hitler saat Holocaust, lalu meledaklah berita tersebut di semua media mainstream Barat:
Hamas memenggal bayi, memasaknya di oven, ibu hamil dibelah perutnya, gadis-gadis diperkosa.
Daily Mail menulis Holocaust Plain and Simple (Holocaust Jelas dan Sederhana), The Times menulis Hamas Cut the Throats of Babies (Hamas Memotong Tenggorokan Bayi), The Independent menulis They Decapitated Women and Children (Mereka Memenggal Perempuan dan Anak) dalam Headline-nya, Metro menulis 40 Babies Murdered by Hamas (40 Bayi Dibunuh Oleh Hamas), The Daily Express tak ketinggalan dengan judul Pure Evil Beheading of Babies (Laknat Memenggal Kepala Bayi), sementara The Telegraph lebih memilih kata ‘pembantaian’ dengan menulis Hamas Massacres Women and Children (Hamas Membantai Perempuan dan Anak). Semua berita ini terbit serentak di hari yang sama, yakni 11 Oktober.
Berita meledak. Dunia geram, marah.
Saat Israel dan Amerika berhasil memantik amarah dunia kepada Hamas, maka fase berikutnya adalah serangan yang akan ‘menghukum’ Gaza. Dimulai dengan serangan resmi darat dan udara pada tanggal 13 Oktober. Perlu dicatat sebelum serangan resmi, organisasi HAM, Euromed merilis data bahwa hanya dalam waktu 5 hari sejak 7 sampai 12 Oktober, Israel sudah membunuh 1.420 warga Gaza. Pengumuman serangan total (full-scaled) dilakukan pada 27 Oktober. Di tanggal ini Euromed sudah mencatat 7.644 orang warga Gaza tewas, 3.212 diantaranya anak-anak.
Sejak awal Israel sudah menunjukkan kecenderungan niat genosida di Gaza. Tanggal 9 Oktober, selang dua hari dari serangan Hamas, Mentri pertahanan Israel saat itu Yoav Gallant menyatakan Gaza akan ditutup total, “Complete siege on Gaza, no electricity, no food, no water, no gas” semua kebutuhan dasar warga Gaza akan diputus, pernyataan yang secara terang-terangan melanggar aturan perang Internasional.
Dan begitulah pembantaian terus berlangsung, hingga tulisan ini dibuat angka kematian warga Gaza akibat serangan langsung dari Israel sudah mencapai lebih dari 54.000 menurut data Euromed. Dari angka itu, lebih dari 17.000 adalah anak-anak, meskipun Mentri Kesehatan Palestina mencatat angka kematian lebih rendah yakni lebih dari 45.000 nyawa. Para pengamat menyatakan angka kematian sebenarnya jauh lebih besar yakni melebihi 100.000 jiwa. Kematian ini termasuk korban di bawah reruntuhan, korban kelaparan, korban kedinginan, dan wabah penyakit di pengungsian.
Total kerusakan di Gaza lebih besar dibanding kerusakan di Jerman akibat Perang Dunia 2. Jumlah bom yang dijatuhkan di Gaza lebih besar dibanding bom Hiroshima. Propaganda Israel berhasil. Headline tentang bayi dipenggal bekerja dengan baik.
Kebenaran datang belakangan.
Berita itu tidak benar. Israel berbohong.
Beberapa investigasi dari lembaga independen tidak menemukan bukti bayi dipenggal, tidak juga menemukan bukti pemerkosaan, apalagi bayi dipanggang dalam oven. Hamas memang membunuh ratusan orang, banyak diantaranya adalah militer Israel. Terungkap juga korban 7 Oktober banyak yang tewas ditembak oleh militer Israel sendiri, baik dari Helicopter maupun Tank. Israel menyebutnya Hannibal directive.
Haaretz, surat kabar terbesar di Israel sendiri mengangkat berita hasil investigasi tersebut. Sesuatu yang menyebabkan Piers Morgan belakangan membantah berkali-kali bahwa ia pernah turut menyebarkan berita bohong itu, meskipun bukti rekaman pernyataannya masih ada.
Kembali ke soal UNPROVOKED ATTACKS di awal tadi, benarkah Hamas tiba-tiba menyerang tanpa alasan?, benarkah Israel sedang duduk manis dan tidak mengerti apa-apa?
Tentu tidak.
Palestina sudah mengalami sejarah panjang penjajahan tak putus-putus hingga detik Hamas melakukan penerobosan dinding penjara yang mengurung Gaza selama 16 tahun. Penderitaan itu bahkan sudah dimulai sebelum pembantaian Nakba 1948 yang dikenal dengan MALAPETAKA oleh warga Palestina.
Israel ini menghilangkan Palestina secara perlahan, merampas lahan dan menggusur pemukiman warga, menangkap dan memenjarakan ribuan warga Palestina, sebagian tanpa proses pengadilan, tanpa tahu kesalahannya, dan tanpa tahu kapan akan dibebaskan, yang sial akan ditembak mati begitu saja tanpa ada investigasi. Dan ini berlangsung setiap hari selama 75 tahun. Amnesty Internasional bahkan menyebut Israel memberlakukan Apartheid di Palestina.
Baca Juga: KRISTEN: PEMBAJAKAN YANG MENGAGUMKAN
Jika itu belum cukup kuat sebagai alasan Hamas untuk melawan, berikut alasan lainnya:
Saat penderitaan Palestina dilupakan dunia, sunyi dari pemberitaan media, Amerika terus bergerilya mengajak negara-negara Arab yang dulunya membela Palestina untuk bersahabat dan menjalin hubungan mesra dengan Israel dengan istilah NORMALISASI. Sebelum 7 Oktober, sudah ada 6 negara di kawasan Timur Tengah yang melakukan Normalisasi hubungan dengan Israel:
1. Mesir tahun 1979
2. Jordan tahun 1994
3. Uni Emirat Arab (UEA) tahun 2020
4. Bahrain tahun 2020
5. Sudan tahun 2020
6. Maroko tahun 2020
Empat negara terakhir ini berhasil dibujuk berkat Donald Trump yang saat itu menjabat periode pertamanya sebagai presiden Amerika. Selain 6 negara ini, Turki sebetulnya sudah lama menjalin hubungan baik dengan Israel, bahkan Turki menjadi supplier makanan mentah terbesar ke dua bagi Israel. Perlu diingat pula bahwa Turki satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang bergabung di NATO.
Baca Juga: GAZA MENGURASKU
Kondisi ini jelas melemahkan dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina. Dalam aksi-aksi penjajahan Israel terhadap Palestina, negara-negara ini praktis tidak bisa menekan Israel karna sudah terlanjur menormalisasi hubungan. Hamas bahkan menyebut langka ke 6 negara ini sebagai pengkhianatan atas perjuangan warga Palestina.
Negara sasaran utama normalisasi tak lain dan tak bukan adalah Arab Saudi, karna secara tradisional dianggap sebagai pusat episentrum negara-negara Arab yang mayoritasnya adalah muslim. Israel dan Amerika bersedia melakukan apa saja untuk membujuk Arab Saudi. Jika Arab Saudi melakukan normalisasi hubungan dengan Israel, maka bisa dipastikan Israel akan melenggang dengan bebas melenyapkan Palestina.
Kenyataannya, mirip dengan Turki, Arab Saudi sudah puluhan tahun berhubungan baik dengan Amerika namun dengan Israel mereka masih menjalin hubungan backstreet. Harus perlahan dan tidak boleh vulgar, dan itulah yang dilakukan kerajaan Arab Saudi.
Hamas dan warga Palestina pada umumnya paham betul situasi ini. Tanggal 21 September, Pangeran Arab Saudi, Mohammed bin Salman dalam wawancaranya dengan Fox News menyatakan “Setiap hari Arab Saudi dan Israel semakin dekat”. Pernyataan terbuka ini menandakan selangkah lagi Arab Saudi masuk dalam pelukan Israel. Berselang 16 hari setelahnya, operasi 7 Oktober pecah.
Lalu, masih relevankah frasa UNPROVOKED ATTACKS? Benarkah konflik ini muncul tiba-tiba tanpa alasan?
Para pengamat Timur Tengah dan akademisi dari Barat sudah banyak memberikan jawaban soal itu, namun saya lebih tertarik dengan materi Stand Up Comedy-an berdarah India, Daniel Fernandes. Saat ia bertanya kepada audiens kenapa mendukung Israel, seorang menjawab “Karna Israel menyerang duluan”. Mendengar jawaban itu Daniel merespon “Anda hanya menonton bagian sesion ini saja, saya juga menonton serial Games of Thrones di pertengahan, lalu saya menganggap Raja Joffrey itu orang baik,” yang disambut tawa penonton lain.
Daniel Fernandes: Midway Season cerita Gaza.
___
Pasar Kopi, Palu Barat, 31 Desember 2024