Saturday, January 4, 2025

SURIAH YANG HIRUK PIKUK

 

Berita 3 Desember 2024, sebelum Assad tumbang

Benar, di tulisan sebelumnya, saya bersepakat dengan chat Pangeran Buol ke saya bahwa “Suriah lebih penting untuk dijelaskan ketimbang Gaza”. Di Gaza pihak yang bertikai jelas, solusinya saja yang dibuat rumit oleh Israel. Sementara di Suriah banyak sekali pihak yang terlibat, orang Palu bilang baku cako, saya saja susah mengingat nama-nama faksi pemberontak yang terlibat. Meski begitu benang merahnya masih terlihat.

Di Suriah salah membaca berakibat fatal. Fatal karna menurut saya akan berdampak pada pembangunan opini yang keliru saat duduk ngopi dengan yang lain. Kecuali bacaan itu ditelan sendiri. Kita masih ingat kan bagaimana demo-demo masa 2014-2015 yang banyak mengibarkan bendera ISIS bahkan publikasi dukungan resmi kepada kelompok ini banyak bermunculan.

Saya sepenuhnya sadar, membahas Suriah di Indonesia sama bahayanya dengan mengatakan Erdogan itu munafik. Kita sama tahu Indonesia menjadi basis fanbase-nya Erdogan, dan orang yang sama juga sangat membenci Bashar al Assad. Banyak dari mereka ini adalah teman-teman sendiri. Dan mereka baik-baik semua, tulus, lucu, dan perhatian. Mungkin itu sebabnya sejak dulu saya menahan diri untuk tidak membahas Suriah dari perspektifku. 

Tapi Gaza terlanjur memaksa saya untuk membahas konfliknya, dan akhirnya menyeberang ke kawasan tetangganya, karna konflik ini masih erat terkaitannya. Mau tidak mau.

Baik, kenapa Suriah begitu seksi?

Di tulisan sebelumnya saya sudah beberkan dokumen rencana dan kesaksian tokoh kunci dari negara adidaya (blok Barat) - termasuk Israel - untuk menguasai Suriah. Dalam tulisan ini saya ingin fokus pada faktor yang buat Suriah seksi dan siapa kelompok-kelompok pemberontak yang dimedia Barat disebut "pejuang pembebasan". Sepertinya akan panjang atau saya harus potong lagi jadi tulisan berikutnya. Entahlah, kita lihat nanti.

Baca juga: AKHIRNYA BAHAS SURIAH JUGA

Pertama, wilayah Suriah adalah tempat awal mula peradaban manusia modern, kalau kita ingat nama Mesopotamia dalam pelajaran sejarah di sekolah dulu, di Suriah dan Irak lah letaknya. Mesopotamia yang berisi bangsa Sumeria dan Akkadia melahirkan peradaban Assyiria dan Babilonia. 

Merekalah manusia pertama yang menanam dengan sengaja (bertani) untuk kebutuhan hidup. Yang pertama memiliki ide membuat roda agar memudahkan mengangkut barang juga mereka. Bahkan tulisan pertama, angka pertama, ilmu matematika dan astronomi pertama juga muncul dari orang-orang di wilayah ini.

Jadi menganggap warga Suriah dan warga negara-negara tetangganya adalah masyarakat kolot, primitif, dan terbelakang sebuah kesalahan besar. Secara peradaban, kultur, dan sejarah, mereka superior dibanding wilayah manapun di bumi ini. Suriah bahkan memiliki komunitas Yahudi dan Kristen tertua dengan ritual tradisionalnya hingga hari ini.

Baca Juga: KRISTEN: PEMBAJAKAN YANG MENGAGUMKAN

Soal posisi geografis, tidak perlu saya bahas panjang lebar. Dimana-mana kampung tua yang berumur panjang itu pastilah tempat bertemunya lalu lintas manusia. 


ARISAN ARAB SPRING

Suriah hanyalah satu dari arisan kekacauan bernama Arab Spring, dimana warga di negara-negara kawasan Timur Tengah (Arab – sebagian Afrika) entah bagaimana tergerak untuk memberontak. Ada beragam alasan munculnya pemberontakan, namun benang merahnya adalah Democracy – mantra ajaib dari negara Barat. Sementara nada dasar ideologi dominan di kawasan Arab saat itu adalah Pan Arab dan Sosialis Arab – mantra yang dibenci mati-matian oleh Barat.

Pemberontak umumnya beralasan sudah jenuh dengan pemimpin yang itu-itu saja. Boring katanya. Dunia Barat sangat bergairah mendukung gerakan ini, dalam prosesnya nanti media-media mainstream Barat menerbitkan cerita-cerita heroik dari para pemberontak. 

Tunisia mendapat giliran pertama. Gelombang protes di negara pesisir Mediterania, bagian utara Afrika ini hanya berlangsung 10 hari, presidennya tumbang. Setelah itu Mesir, tetangga Israel. Gelombang protes berlangsung 2 tahun, korbannya 2 presiden tumbang.

Selanjutnya Libya, ceritanya agak panjang. Bulan Februari 2011 negara paling makmur di benua Afrika ini bergejolak, demonstran ingin presidennya Muammar Ghadaffi diganti. Sosok yang tidak pernah akrab dengan negara Barat. Gabungan militer Barat (NATO) bermurah hati mengerahkan militer dan pesawat tempurnya membantu para demonstran ini mewujudkan mimpinya. Setelah 8 bulan, akhirnya pada Oktober 2011 Ghadaffi ditangkap dan dibunuh oleh pemberontak saat bersembunyi dalam got. Mission completed. Libya dibebaskan.

Sudah 11 tahun setelah kematian Gaddafi, hingga hari ini Libya belum bisa pulih. Negara yang dulunya paling makmur di Afrika ini kini terpuruk, sementara negara anggota NATO sudah membagi-bagi ladang minyak dan kekayaan alam lain. Sebelumnya mereka tidak diizinkan Gaddafi masuk ke Libya. Ideologi sosialis mengharuskan kekayaan alam dikelolah oleh negara sendiri, sementara ideologi Pan Arab meminta penduduk asli harus diutamakan terlebih dahulu.

Yaman mendapat giliran berikutnya. Disini skenarionya berbeda,  tidak berjalan sesuai keinginan negara barat. Presiden yang jinak kepada Barat malah diprotes juga oleh warganya.
Akhirnya NATO, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab bergabung mendukung pemerintah untuk melawan pemberontak. 

Yaman menderita paling parah dari gelombang Arab Spring. Kelompok Ansarullah pimpinan Houthi berhasil mengambil alih pemerintahan dan menguasai Yaman. NATO dan negara tetangganya tidak senang, pertempuran pun berlanjut bertahun-tahun. Pemerintahan tetap baru terpilih tahun 2022, Ansarullah tetap menguasai Yaman. Konflik panjang menjadikan negara ini menderita kelaparan paling parah. Yaman menjadi negara paling miskin di Timur Tengah hingga hari ini.

Tonton Vodeo pendek Mick Wallace, perwakilan Irlandia di parlemen UNI EROPA

SEKARANG GILIRAN SURIAH

Suriah sebelum pemberontakan bisa dikatakan negara yang ekonominya cenderung stabil. Indeks Pembangunan Manusia-nya berada di urutan 111 sementara Indonesia di urutan 121. Presidennya Bassar al Assad melanjutkan ideologi presiden sebelumnya (ayahnya) yakni Sosialisme Arab dan Suriah ini negara sekuler artinya tidak menganggap penting mengatur soal kehidupan beragama. Berbeda dengan hoax yang beredar bahwa Assad ingin menjadikan Suriah negara Syiah.

Karna ideologinya Sosialisme, maka Assad tidak mengizinkan kekayaan alam untuk dikelolah perusahaan asing, mirip dengan Gaddafi di Libya. Kebutuhan dasar masyarakat disubsidi oleh pemerintah. Pendidikan dan kuliah gratis, kesehatan gratis, makanan murah, dan transportasi bis dalam kota hanya berkisar 800 – 1000 rupiah. Saking murahnya, biaya hidup di Damaskus termasuk yang paling murah di dunia. Darimana informasi itu? Silahkan cek kesaksian anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) yang kuliah Suriah.

Konflik kecil antar kelompok memang terjadi, biasalah, normal. Di negara maju saja konflik-konflik kecil tetap ada. Tapi saya tidak bisa mengkonfirmasi soal pembantaian atas dasar kebencian sekte Sunni – Syiah seperti informasi yang massif beredar di Indonesia, karna struktur pemerintahan Suriah melibatkan semua perwakilan. Militer suriah di dominasi Sunni sebagai mayoritas. Jika pembantaian massal terjadi maka yang pertama bergejolak pastilah dari dalam pemerintahan sendiri. Cek kesaksian lain Mahasiswa dari Indonesia lainnya.


PEMBERONTAKAN

Beberapa tokoh pemberontak awalnya membentuk Free Syirian Army (FSA) bulan Juli 2011 untuk menggulingkan pemerintahan Assad yang dituduh diktator kejam. Kelompok FSA ini tergabung dalam koalisi Syirian National Army (SNA). Mereka dapat pendanaan dari Syrian National Council (SNC) yang berbasis di Turki, negara tetangganya. Dana dari beberapa negara Barat seperti Amerika, Inggris, Prancis, dan negara Arab termasuk Turki, Qatar, dan Arab Saudi mengalir ke SNC. Tahun berikutnya koalisi oposisi (SNCORF) dibentuk di Qatar dengan tujuan sama, mendanai pemberontak, donaturnya juga negara-negara barat yang sama.

Melihat Assad dikeroyok, Russia dan Iran sebagai teman akrab, secara diam-diam mengirim bantuan. Tahun 2012 pasukan elit Russia dan persenjataannya sudah terlihat di Suriah, sementara Amerika dan negara barat seperti biasa bermain di belakang layar dengan memasok dana dan persenjataan modern kepada kelompok pemberontak. Kabarnya mereka sampai mendapat gaji dalam operasi ini, kabar yang belum bisa dikonfirmasi kebenarannya.

Seolah menjadi trend, kelompok pemberontak baru banyak terbentuk, Al Nusra terbentuk sebagai cabang Al Qaedah di Suriah, dari wilayah timur laut sekitar sungai Eufrat muncul Rojava yang di dominasi etnis Kurdi, dan puluhan kelompok lainnya terbentuk dan bergabung. Donatur kelompok pemberontak yang saya sendiri bingung dengan nama-namanya ini sama: SNA dan SNC.

Sayang kelompok-kelompok yang tidak terkoodinir baik ini tidak bisa berbuat banyak, militer Suriah yang dibantu Russia dan Iran berhasil mempertahankan kota-kota penting di Suriah. Entah bagaimana, di tengah kekacauan ini muncullah ISIS menyebar teror dari Irak lalu masuk ke Suriah. Kemunculan ISIS ini menambah kekuatan pemberontak. 

Dengan bergabungnya ISIS dalam barisan pemberontak, maka kelompok jihadis lain dari berbagai negara bahkan juga dari Indonesia berlomba bergabung dalam gerbong pemberontak melawan Bashar al Assad. Dititik ini bahkan mereka sendiri pasti bingung dengan banyaknya kelompok pemberontak.

Saking sempit dan kacaunya gebong pemberontak ini sampai antara satu kelompok dan kelompok lain saling serang juga. Saling bantai juga. Beberapa kelompok menebar teror, memenggal kepala di jalanan, melakukan rangkaian bom bunuh diri, menjarah desa dan wilayah yang mereka kuasai. Rentang waktu 2013-2016 adalah puncak teror mengerikan dari kelompok pemberontak. Ulama-ulama Suriah baik Sunni maupun Syiah tidak luput jadi korban berbagai kelompok ini.

Berita dari BBC Indonesia tahun 2020


Karna ISIS sudah beraksi, Amerika yang sejak awal gemas akhirnya punya alasan untuk turun langsung. Tidak lagi sebatas mendanai dari jauh. Amerika secara resmi memulai operai untuk menjinakkan ISIS di Suriah tahun 2014 – 2015, anehnya kehadiran Amerika malah membuat kekejaman pemberontak semakin menjadi. Serangan udara Amerika banyak yang salah sasaran, bukan mengenai ISIS tapi malah mengenai basis tentara Assad. Kehadiran Amerika malah memperkuat pemberontak.

Khawatir dengan kondisi itu, tahun 2015 Assad secara resmi meminta bantuan Russia. Akhirnya Russia juga punya tiket untuk terlibat secara resmi. Tentara nasional Suriah bahu membahu bersama tentara elit Russia memukul mundur ISIS dan berbagai kelompok pemberontak. Tahun 2017 pemerintah Assad berhasil mempertahankan wilayah-wilayah penting Suriah. Tahun berikutnya 2018, tentara pemerintah semakin kuat, wilayah-wilayah basis pemberontak mulai direbut kembali. Tahun ini Amerika memulai gelombang pertama penarikan pasukannya.

Tahun 2019 pasukan Assad dan Russia memperluas wilayah kontrolnya, satu demi satu wilayah pemberontak berhasil dikuasai. Amerika melakukan penarikan pasukan gelombang kedua, alasannya menghindari gesekan dengan tentara Russai di lapangan.
ISIS semakin melemah, penyebabnya justru konfrontasi dengan pasukan Suriah dan Russia, bukan Amerika.

Tak mau kehilangan muka, di akhir bulan Oktober 2019, Amerika melakukan operasi khusus untuk mencari Abu Bakar Al Baghdadi dan entah bagaimana pimpinan ISIS ini berhasil ditemukan di Idlib dan ditembak mati. S
erupa piala kebanggaan, berita ini langsung heboh
di media-media mainstream, gambarnya muncul di headline. Sungguh perjuangan yang heroik dari Amerika.

Krisis kemanusiaan yang besar juga mengundang ratusan lembaga kemanusiaan lintas negara untuk menyalurkan bantuan. Di media sosial Indonesia, saat itu ramai beredar taggar dan pamflet Save Aleppo dari lembaga bantuan kemanusiaan. Dana bantuan dari warga Indonesia yang memang mudah merasa iba ini mengalir ke LSM Kemanusiaan. Bantuan itu ternyata banyak yang justru masuk ke ISIS dan kelompok pemberontah lain. Ini menjadi skandal awal yang menyeret Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Tahun 2019 tensi menurun, pemerintah Assad berhasil mempertahankan wilayah-wilayah penting Suriah. Kesepakatan-kesepakatan berhasil dicapai dengan beberapa kelompok. Kelompok lain tetap mengadakan perlawanan namun tidak lagi se sengit di awal. Tahun 2020 gencatan senjata (ceasefire) disepakati. Assad berhasil mengembalikan kestabilan hampir semua wilayah Suriah meski sebagian kecil masih dalam kontrol pemberontak.

Akhir 2024 pemerintah Assad akhirnya tumbang. Ulasannya akan dibuat tulisan baru. Ini sudah terlalu panjang untuk dilanjutkan. 

Namun ada satu hal menarik dari gelombang Arab Spring yang menumbangkan banyak pemimpin negara di Timur Tengah dengan alasan diktator dan tidak demokratis ini. Mengapa Arab Spring tidak masuk ke Arab Saudi atau Uni Emirat Arab, padahal negara-negara ini juga sangat tidak demokratis dan pemimpinnya juga diktator.

Yang kedua, selama lebih dari 10 tahun puluhan jihadis dan ISIS bertempur dengan gagah berani di Suriah, namun tak satupun dari kelompok-kelompok ini mau membantu Palestina. Menembakkan satu rudal atau satu butir peluru pun tidak. Pernyataan mengecam Israel juga tidak terdengar. Aneh bukan?

Kita akan bahas keanehan itu dalam tulisan selanjutnya. Tapi untuk sekarang saya ingin tutup tulisan ini dengan gambar pemetaan Timur Tengah yang saya buat di tahun 2020 lalu, semoga bisa memberi gambaran awal.

Koleksi Pribadi


___
Pasar Kopi, Palu Barat
4 Januari 2025
Gambar dari sini


Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment