Mehdi saat diwawancarai dalam Piers Morgan Uncencored |
Du choc des idées naît la lumière, seingat saya itu motto yang Pangeran Buol tulis dalam skripsi S1-nya. Motto ini akhirnya memicu respon salah seorang dosen penguji yang melayangkan pertanyaan dalam bahasa Prancis. Tentu Pangeran Buol kebingungan dan shock dengan respon itu, dia hanya mengerti bahasa Inggris sesuai jurusan yang ia ambil. Motto itu ia cantumkan karna pesannya menarik dan dia sudah mencantumkan translate versi Inggrisnya. Beruntung dosen pembimbing memulihkan lagi kepercayaan dirinya.
Jika diartikan secara bebas, motto itu berbunyi "Dari benturan beberapa ide, akan muncul pencerahan." Saya mengerti pesan dari Pangeran Buol, ia memang gemar berdiskusi segala hal. Dan memang harusnya begitu, sebuah ide akan matang jika diuji dan disempurnakan oleh beberapa kepala yang memiliki sudut pandang yang berbeda.
Di titik itu saya sangat sepakat. Tapi bagaimana pola komunikasi untuk menempa ide itu tentu topik yang berbeda lagi. Disini banyak dari kita yang tidak sadar dan terjerumus dalam pola komunikasi yang dianggap mainstream dan keren.
Sejak dulu saya agak risih dengan model diskusi atau lebih tepatnya debat yang dilakukan oleh mahasiswa. Model ini lebih menekankan pada menang-kalah ketimbang mencari titik temu. Tak jarang kita mendapatkan teman debat waktu kuliah dulu yang melontarkan argumen apa saja agar idenya tidak “dikalahkan”, meskipun dia sudah tahu teman debatnya benar.
Disaat seperti itu saya dan Pangeran Buol biasanya akan mundur secara teratur. Kita sama tahu bahwa sepanjang apapun debat itu dilanjutkan, ujungnya tidak akan ketemu. Olehnya saya lebih suka kata diskusi atau sharing ketimbang debat. Debat di masyarakat kita hari ini konotasinya adalah menang – kalah. Yang menang akan bangga dan mengumumkan kemenangannya, yang kalah akan malu dan dipermalukan. Padahal mestinya hasilnya bukan kekalah tapi kemenangan bersama. Bahwa bersama-sama kita berhasil meng-clear-kan sebuah topik.
Tidak heran beberapa teman selanjutnya menyimpulkan kita tidak mahir dalam berdebat karna tidak konsisten mempertahankan ide. Bagi saya kemahiran ukurannya bukan disitu, tapi kemampuan mengidentifikasi pokok persoalan dan mencarikan solusi bersama. Jika ide yang kita ajukan tidak mampu untuk mencarikan solusi dari persoalan yang ditawarkan, maka kita harus membuka kemungkinan ide lain yang lebih baik atau mengkolaborasikan ide dari berbagai sudut pandang agar lebih utuh, lebih kuat.
Setahun belakangan saya melihat berbagai debat di Youtube dan platform lain tentang berbagai topik, umumnya di masyarakat Barat. Lalu ingatan itu muncul lagi. Kali ini bukan soal menang-kalah, tapi soal mendengar dan memproses informasi dari teman bicara.
Jika kita melihat debat panas di Youtube, sebut saja soal konflik Palestina, nyaris tidak ada jeda untuk memproses informasi dari teman bicara. Sering terjadi seseorang belum selesai bicara yang lain sudah menyela. Mungkin seperti itulah pola komunikasi, pola debat mereka di Barat. Orang sulawesi bilang tiada nat.
Dalam situasi itu saya yakin kita dari Asia dengan model debat tradisional kita, tidak akan bisa bertukar ide dengan mereka. Bahkan mungkin kita tidak akan pernah dapat kesempatan untuk bicara. Bukan karna ide kita tidak kuat, tapi karna pola komunikasi kita secara tradisional tidak seperti itu.
Dalam topik kontroversi penggunaan Jilbab di Barat misalnya, saya sangat yakin ulama-ulama tradisional kita punya argumen yang sangat kokoh untuk itu, namun melihat pola debat di Barat, ulama kelas Fuqaha dengan ilmu mantiq sehebat apapun tidak akan bisa menjelaskan idenya dengan baik.
Kita di Asia tidak punya budaya debat dengan pola seperti itu. Secara tradisional kita punya kebiasaan untuk mendengar dan menghormati teman bicara. Bahwa menyela pembicaraan seseorang itu tidak sopan. Di Jepang jeda itu sangat penting. Sebagai penggemar film minim dialog, saya sangat suka dengan pola komunikasi minimalis film-film Jepang, sebut saja film The Last Samurai. Begitu pun di China dan Korea, secara tradisional pola debat mereka lebih teratur. Pace-nya lebih rendahlah, begitu mungkin sederhananya.
Di budaya tradisional masyarakat Kaili, orang tua biasanya berkomunikasi hanya menggunakan mimik dan gestur, atau analogi-analogi. Apakah pola debat yang lambat dan teratur tidak efektif? Menurut saya justru sebaliknya, kita punya kemampuan lebih untuk mendengar dan saling memahami. Kita punya waktu untuk menganalisa dan menangkap masalah mendasar dari sebuah topik.
Lantas kenapa negara Barat lebih maju dibanding umumnya negara di Asia atau Afrika?Tergantung dilihat dari sudut mana dulu. Terdengar diplomatis? Mungkin.
Tapi saya akan mengungkapkan lagi pernyataan Pangeran Buol saat saya mengunjunginya menjelang akhir tahun 2023 lalu. Saya ingin mendengar tanggapannya soal LGBTQ yang lagi ramai jadi perdebatan di Barat, Pangeran Buol memberikan padangan sederhana: masyarakat Barat itu tidak punya akar peradaban yang kuat, tidak punya value yang kokoh, suka trial and error.
Sebagian akan mengatakan itu simplifikasi, bagi saya simplifikasi itu penting agar bisa dipahami dengan lebih sederhana, yang penting kita bisa pertanggungjawabkan uraiannya. Penjelasan yang terlalu panjang, menurut saya justru menunjukkan lemahnya sebuah argumen.
Tidak butuh lama bagi saya untuk menyetujui celetukan Pangeran Buol itu. Untuk membangun value, masyarakat Barat modern berpegang pada prinsip kebebasan dan logika, sementara untuk kelangsungan hidup mereka memakai kaca mata pragmatisme dan materialisme. Kombinasi ke empat hal itu membuat mereka terdepan dalam membangun masyarakat modern, tentu yang pragmatis dan materialis. Namun soal value, mereka miskin, logika dan liberalisme tidak akan bisa menghasilkan value yang kokoh. Lupakan soal pandangan agama atau kitab suci yang katanya mereka pegang, itu omong kosong.
Pernakah kita bertanya-tanya, dari semua peradaban, kenapa negara barat yang paling menonjol dalam hal penjajahan, penaklukan dan pembangunan koloni-koloni di hampir semua belahan bumi. Baiklah, Mongol pernah melakukannya, Majapahit juga pernah, China pernah, tapi kenapa tidak berlanjut? Karna peradaban ini tidak punya pandangan yang berakar dari pragmatis dan materialis. Peradaban kita di Asia punya value, sebut saja value ini bernama kebijaksanaan, apapun bentuknya. Sesederhana itu.
Dari segi perkembangan teknologi masyarakat barat tentu unggul. Itu baik, memudahkan manusia memenuhi kebutuhan pragmatis hidup, sekaligus berbahaya: tentu kita tahu banyak dari teknologi itu mensyaratkan kehancurkan lingkungan yang massif, atau kita masih ingat tujuan pragmatis bermuara pada tragedi Hiroshima dan Nagasaki, atau jutaan yang terbunuh di Iraq, Yaman, atau Libya, atau Afrika, atau hari ini yang masih berlangsung di Gaza.
Sorry, mungkin masih ada yang beranggapan penyerangan Gaza itu soal prinsip, value, atau perang suci. Silahkan saja. Bagi saya, semua konflik yang berasal dari Barat motifnya sama.
Agama yang harusnya bisa menjadi value, justru mereka pakai sebagai dalil untuk membantai suku Indian Amerika, bahkan mereka punya alasan teologi juga untuk perbudakan jutaan kulit hitam Afrika, dan penjajahan di negara-negara Asia. Noam Chomsky dalam bukunya Who Rules the World menggambarkan ini dengan gamblang.
Harus diakui pragmatisme dan materialisme menjadi bahan bakar paling efektif untuk mendorong perkembangan teknologi yang begitu cepat hari ini. Kapitalis, kalau mau disederhanakan. Dulu ada bahan bakar yang juga kuat, tapi itu dulu, hari ini bahan bakar itu sudah tidak se efektif dulu.
Lalu, mana yang harus didahulukan, value atau pragmatisme modern? Ini pertanyaan menjebak yang mirip bertanya kepada petani mana yang harus didahulukan olahraga atau bertani. Kenapa harus memilih satu jika keduanya bisa dijalankan. Dulu Timur Tengah pernah mencapai kejayaannya dengan keduanya bersamaan. Tapi itu dulu, nostalgia yang sudah tidak menarik dibahas.
Value kita di Asia bermata dua: bisa mendorong peradaban yang maju dan bijaksana, atau malah menariknya kedalam goa-goa mistikus yang anti duniawi dan extrimisme yang anti inovasi. Value di Barat juga bermata dua: bisa mendorong peradaban maju dan bermanfaat, atau mendorong pada kapitalisme pragmatis yang akan memusnahkan semuanya.
Baca juga: HUKUM GELAS-GELAS KOPI
Kembali ke topik awal soal penggodokan ide, saya khawatir masyarakat kita tergiring ke pola-pola debat masyarakat Barat yang ingin saling menaklukkan. Meskipun tidak semua debat disana seperti itu, tapi itulah yang muncul dipermukaan. Itu yang trend dan menguasai algoritma debat di dunia maya.
Model debat ofensif seperti yang dilakukan oleh Rocky Gerung memang terlihat menarik bagi penonton untuk disoraki. Mungkin sepertilah itu bayangan debat para filsuf Yunani klasik yang dikagumi oleh Rocky. Tapi apakah masyarakat kita yang tidak ingin menggunakan kata kamu (you) kepada orang tua sudah siap dengan model seperti itu?
Kalau pun masyarakat kita siap, apakah memang model seperti itu yang kita inginkan? Apakah kita tidak punya metode sendiri? Pola sendiri? Apakah dengan model seperti itu kita akan sampai pada kebenaran dan kebijaksanaan seperti yang dicita-citakan para filsuf Yunani itu?.
Saya kira kita punya pendekatan sendiri dan soal kebijaksanaan dan pegangan hidup, kita tidak perlu diajari. Di Indonesia kita punya I Lagaligo literatur epik terpanjang di dunia yang ditulis saat peradaban Barat masih dalam masa kegelapan dan kebodohan (Dark Ages). Di Asia secara umum peradaban kita terbukti lebih superior dibanding peradaban Barat.
Baca juga: Pendidikan Kita dan Usangnya Halaman Kuil Akademus
Du choc des idées naît la lumière, benar pencerahan akan muncul dari hasil persilangan beberada ide. Tapi kita punya pola komuni-kasih sendiri untuk menggodok ide dengan baik dan benar.
___
Mr. Dav Palu
13 Januari 2025
Gambar dari sini