Thursday, November 3, 2016

Hukum Gelas-gelas Kopi




Secara tidak sengaja saya membaca Koran media lokal hari ini. Sebelumnya saya jarang membaca Koran lokal, selain harus membeli, lebih mudah bagi saya membaca situs berita online, dan harus saya akui, saya lebih tertarik isu nasional atau internasional. Kenapa? Saya juga tidak tahu, mungkin karena saya tidak terlalu mengerti peta politik lokal. Tak kenal maka tak sayang kata pepatah. Entahlah, bukan itu juga yang ingin saya bahas.

Di halaman 4 koran Radar Sulteng edisi 17 Oktober 2016, ada tulisan sambungan dari halaman utama berjudul “Masyarakat Indonesia Belum Bebas dari Takhayul”. Saat saya buka hamalamn utama ternyata judulnya biasa-biasa saja “Tradisi Hukum dan Kemajuan Suatu Bangsa”. Penulisnya seorang dosen fakultas Hukum Universitas Tadulako. Penulis mengulas bagaimana dampak hukum Inggris yang masih diterapkan di Malaysia dan hukum Belanda yang masih diterapkan di Indonesia. Setelah itu menghubungkan sistem hukum dan kepercayaan Takhayul masyarakat Indonesia yang berperan dalam ketidakmajuan Negara. 


Membaca ini saya jadi teringat diskusi soal filsafat barat dan timur bersama teman seperdiskusian dua tahun lalu. Perbedaan paling mencolok antara dua kutub filsafat ini adalah yang pertama berkutat pada logika dan fenomena materi sedang yang terakhir berjibaku dengan spiritual dan kebatinan. 

Dalam diskusi gelas-gelas kopi itu, saya berpendapat sesuatu yang sakral dalam filsafat timur harus tetap ada. Dalam konteks filsafat barat, sesuatu yang sakral ini berorientasi lain. Bahwa kesakralan menjadi penghambat perkembangan sains. Lihat saja bagaimana kesakralan gereja memaksa Galileo untuk menarik hasil penelitiannya tentang astronomy. Tapi bagi orang timur konteksnya berbeda. Kesakralan adalah pilihan untuk menjalani hidup dengan bijak. 
Perspektif ini pulalah yang mewarnai kehidupan dua kutub peradaban ini, termasuk melahirkan aturan-aturan hukumnya. Peradaban barat mengatur semua hal dengan hukum tertulis. Sementara bagi bangsa timur, tidak semua hal bisa efektif diatur dengan hukum tertulis. Apakah itu menunjukkan peradaban barat lebih maju dibanding peradaban timur?

Tergantung dari pemahaman kita tentang kata “Maju”. Bisa saja ada orang menyatakan bahwa peradaban yang maju adalah peradaban yang memiliki tingkat kesadaran tinggi sehingga tanpa aturan tertulis pun dia bisa melakukan hal-hal baik. Bisa pula seseorang mengatakan bahwa suatu peradaban dikatakan maju jika berhasil menulis semua peraturan hidup secara detail dan rinci.

Bangsa barat memang sukses membentuk hukum mereka secara rinci. Hasilnya? aktifitas sosial mereka terlihat baik dan teratur. Sementara bangsa timur, selain hukum tertulis yang banyak juga diadopsi dari barat, orang timur masih mengenal norma-norma yang berlaku meskipun norma itu tidak tertulis.

Hasilnya? Beragam. 

Baca Juga: KITA

Jika kita melihat cara hidup orang tua dan pendahulu kita yang taat norma, kita akan melihat cara hidup yang dalam kacamata saya baik dan teratur, namun saat ini dimana kesakralan hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu seperti Dimas Kanjeng Taat Pribadi, atau ritual aspat Aa Gatot, maka akan terlihat kacau.

Bagaimana dengan aktifitas psikis individu-individu dalam dua peradaban ini? Fakta menujukkan banyak dari individu barat yang sukses tapi mengalami gangguan psikologi, mulai dari kebingungan akan tujuan hidup sampai gangguan kegelisahan. Sebut saja Zayn Malik mantan personil One Direction, penyanyi sukses kelahiran Inggris ini mengidap kegelisahan yang akut hingga harus dirawat khusus. Salena Gomez dan Adele juga disebut-sebut mengidap penyakit serupa.

Kita juga tentu masih ingat bagaimana Kurt Cobain salah seorang super star era 90an yang paling dikenang berakhir bunuh diri. Begitu pun Robin Williams aktor senior yang sempat mempopulerkan kalimat Carpe Diem dalam film Dead Poets Society ini juga harus mengakhiri hidupnya dengan tragis. 

Dalam film Eat, Pray, Love terlihat bagaimana Elizabeth yang diperankan Julia Roberts harus mengakhiri perkawinannya dan lebih memilih mengunjungi beberapa tempat didunia untuk mencari arti hidup. Dalam film Wild kita juga bisa lihat bagaimana kegelisahan seorang Cheryl yang gelisah dengan hidupnya dan memilih melakukan perjalanan kaki sejauh 12.000 kilometer. Atau film Into The Wild, yang bercerita tentang kekecewaan seorang sarjanawan terbaik terhadap sosial dan memilih melakukan perjalanan ke belantara salju Alaska. Cerita-cerita ini menunjukkan ada sesuatu yang kosong dibalik kemajuan peradaban barat.

Baca Juga: TIBA-TIBA RINDU

Sebagaian kita di belahan timur, memuja cerita-cerita itu sebagai sebuah cerita yang menginspirasi. Lupa bahwa filosofi hidup nenek moyang kita adalah kebatinan, kesakralan. Bagi saya cerita itu memang akan menginspirasi masyarakat barat yang sudah kehilangan ke-sakral-an, tapi bagi masyarakat timur, cerita itu hanyalah studi banding belaka. Kita sudah memiliki modal melimpah terhadap sesuatu yang tidak tampak, sesuatu yang tak dimiliki filsafat barat.

Saya jadi teringat pernyataan John Lennon “When I was 5 years old, my mother always told me that happiness was the key to life. When I went to school, they asked me what I wanted to be when I grew up. I wrote down ‘happy’. They told me I didn’t understand the assignment, and I told them they didn’t understand life.”

Ibu John Lennon paham betul bahwa hidup bukanlah mengenai angka-angka, tapi lebih pada nilai hidup itu sendiri. Ini memang tidak akan tercantum dalam buku teori hidup berbasis angka dan materi tapi ini bukan pula Takhayul yang memuat omong kosong. Inilah kebijaksanaan filosofi Timur yang tak selamanya tertulis.

Dan saya juga masih meyakini ada mantra-mantra hidup yang berdiam dalam gelas-gelas kopi yang mengepul di mejaku, meskipun itu tidak tertulis dalam kitab hukum manapun. 

Angkat lagi kopinya kawan!

Palu, 17 Oktober 2016 (Late Post)
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment