Secara tidak sengaja saya membaca Koran media lokal hari
ini. Sebelumnya saya jarang membaca Koran lokal, selain harus membeli, lebih
mudah bagi saya membaca situs berita online, dan harus saya akui, saya lebih
tertarik isu nasional atau internasional. Kenapa? Saya juga tidak tahu, mungkin
karena saya tidak terlalu mengerti peta politik lokal. Tak kenal maka tak
sayang kata pepatah. Entahlah, bukan itu juga yang ingin saya bahas.
Di halaman 4 koran Radar Sulteng edisi 17 Oktober 2016, ada
tulisan sambungan dari halaman utama berjudul “Masyarakat Indonesia Belum Bebas dari Takhayul”. Saat saya buka
hamalamn utama ternyata judulnya biasa-biasa saja “Tradisi Hukum dan Kemajuan
Suatu Bangsa”. Penulisnya seorang dosen fakultas Hukum Universitas Tadulako.
Penulis mengulas bagaimana dampak hukum Inggris yang masih diterapkan di
Malaysia dan hukum Belanda yang masih diterapkan di Indonesia. Setelah itu
menghubungkan sistem hukum dan kepercayaan Takhayul masyarakat Indonesia yang
berperan dalam ketidakmajuan Negara.
Membaca ini saya jadi teringat diskusi soal filsafat barat
dan timur bersama teman seperdiskusian dua tahun lalu. Perbedaan paling
mencolok antara dua kutub filsafat ini adalah yang pertama berkutat pada logika
dan fenomena materi sedang yang terakhir berjibaku dengan spiritual dan
kebatinan.
Dalam diskusi gelas-gelas kopi itu, saya berpendapat sesuatu
yang sakral dalam filsafat timur harus tetap ada. Dalam konteks filsafat barat,
sesuatu yang sakral ini berorientasi lain. Bahwa kesakralan menjadi penghambat
perkembangan sains. Lihat saja bagaimana kesakralan gereja memaksa Galileo
untuk menarik hasil penelitiannya tentang astronomy. Tapi bagi orang timur
konteksnya berbeda. Kesakralan adalah pilihan untuk menjalani hidup dengan
bijak.
Perspektif ini pulalah yang mewarnai kehidupan dua kutub
peradaban ini, termasuk melahirkan aturan-aturan hukumnya. Peradaban barat
mengatur semua hal dengan hukum tertulis. Sementara bagi bangsa timur, tidak
semua hal bisa efektif diatur dengan hukum tertulis. Apakah itu menunjukkan
peradaban barat lebih maju dibanding peradaban timur?
Tergantung dari pemahaman kita tentang kata “Maju”. Bisa
saja ada orang menyatakan bahwa peradaban yang maju adalah peradaban yang
memiliki tingkat kesadaran tinggi sehingga tanpa aturan tertulis pun dia bisa
melakukan hal-hal baik. Bisa pula seseorang mengatakan bahwa suatu peradaban
dikatakan maju jika berhasil menulis semua peraturan hidup secara detail dan
rinci.
Bangsa barat memang sukses membentuk hukum mereka secara
rinci. Hasilnya? aktifitas sosial mereka terlihat baik dan teratur. Sementara
bangsa timur, selain hukum tertulis yang banyak juga diadopsi dari barat, orang
timur masih mengenal norma-norma yang berlaku meskipun norma itu tidak
tertulis.
Hasilnya? Beragam.
Hasilnya? Beragam.
Jika kita melihat cara hidup orang tua dan pendahulu kita
yang taat norma, kita akan melihat cara hidup yang dalam kacamata saya baik dan
teratur, namun saat ini dimana kesakralan hanya berlaku pada kasus-kasus
tertentu seperti Dimas Kanjeng Taat Pribadi, atau ritual aspat Aa Gatot, maka
akan terlihat kacau.
Bagaimana dengan aktifitas psikis individu-individu dalam
dua peradaban ini? Fakta menujukkan banyak dari individu barat yang sukses tapi
mengalami gangguan psikologi, mulai dari kebingungan akan tujuan hidup sampai
gangguan kegelisahan. Sebut saja Zayn Malik mantan personil One Direction,
penyanyi sukses kelahiran Inggris ini mengidap kegelisahan yang akut hingga
harus dirawat khusus. Salena Gomez dan Adele juga disebut-sebut mengidap
penyakit serupa.
Kita juga tentu masih ingat bagaimana Kurt Cobain salah
seorang super star era 90an yang paling dikenang berakhir bunuh diri. Begitu pun Robin
Williams aktor senior yang sempat mempopulerkan kalimat Carpe Diem dalam film Dead
Poets Society ini juga harus mengakhiri hidupnya dengan tragis.
Dalam film Eat, Pray,
Love terlihat bagaimana Elizabeth yang diperankan Julia Roberts harus
mengakhiri perkawinannya dan lebih memilih mengunjungi beberapa tempat didunia
untuk mencari arti hidup. Dalam film Wild
kita juga bisa lihat bagaimana kegelisahan seorang Cheryl yang gelisah dengan
hidupnya dan memilih melakukan perjalanan kaki sejauh 12.000 kilometer. Atau
film Into The Wild, yang bercerita
tentang kekecewaan seorang sarjanawan terbaik terhadap sosial dan memilih
melakukan perjalanan ke belantara salju Alaska. Cerita-cerita ini menunjukkan
ada sesuatu yang kosong dibalik kemajuan peradaban barat.
Sebagaian kita di belahan timur, memuja cerita-cerita itu sebagai sebuah cerita yang menginspirasi. Lupa bahwa filosofi hidup nenek moyang kita adalah kebatinan, kesakralan. Bagi saya cerita itu memang akan menginspirasi masyarakat barat yang sudah kehilangan ke-sakral-an, tapi bagi masyarakat timur, cerita itu hanyalah studi banding belaka. Kita sudah memiliki modal melimpah terhadap sesuatu yang tidak tampak, sesuatu yang tak dimiliki filsafat barat.
Baca Juga: TIBA-TIBA RINDU
Sebagaian kita di belahan timur, memuja cerita-cerita itu sebagai sebuah cerita yang menginspirasi. Lupa bahwa filosofi hidup nenek moyang kita adalah kebatinan, kesakralan. Bagi saya cerita itu memang akan menginspirasi masyarakat barat yang sudah kehilangan ke-sakral-an, tapi bagi masyarakat timur, cerita itu hanyalah studi banding belaka. Kita sudah memiliki modal melimpah terhadap sesuatu yang tidak tampak, sesuatu yang tak dimiliki filsafat barat.
Saya jadi teringat pernyataan John Lennon “When I was 5 years old, my mother always
told me that happiness was the key to life. When I went to school, they asked
me what I wanted to be when I grew up. I wrote down ‘happy’. They told me I
didn’t understand the assignment, and I told them they didn’t understand life.”
Ibu John Lennon paham betul bahwa hidup bukanlah mengenai angka-angka, tapi lebih pada nilai hidup itu sendiri. Ini memang tidak akan tercantum dalam buku teori hidup berbasis angka dan materi tapi ini bukan pula Takhayul yang memuat omong kosong. Inilah kebijaksanaan filosofi Timur yang tak selamanya tertulis.
Ibu John Lennon paham betul bahwa hidup bukanlah mengenai angka-angka, tapi lebih pada nilai hidup itu sendiri. Ini memang tidak akan tercantum dalam buku teori hidup berbasis angka dan materi tapi ini bukan pula Takhayul yang memuat omong kosong. Inilah kebijaksanaan filosofi Timur yang tak selamanya tertulis.
Dan saya juga masih meyakini ada mantra-mantra hidup yang
berdiam dalam gelas-gelas kopi yang mengepul di mejaku, meskipun itu tidak tertulis dalam
kitab hukum manapun.
Angkat lagi kopinya kawan!
Palu, 17 Oktober 2016 (Late Post)