Monday, June 5, 2017

DONGENG MENJELANG MAGRIB


Kami duduk bersila di atas lantai bambu yang dingin. Batang-batang bambunya halus dan licin seperti di pernis, tanda terlalu sering bersentuhan dengan kulit manusia. Dalam pondok sederhana tanpa dinding ini kami duduk menghadap Tata panggilan akrab kami untuk seorang tua pengajar pondok pesantren di kampung tetangga. Pondok ini ia yang buat dan terletak di samping rumahnya, di bawah rindang pepohonan.

Tata adalah seorang ulama terpandang di kampung kami. Ia tinggal bersama anak perempuannya yang tak kunjung menikah. Kami sering memanggilnya tante Sani. Seperti ayahnya, tante Sani sangat suka dengan anak-anak seusia kami. Saat Tata mendongeng pada kami, ia selalu menyuguhi kopi dan gorengan, kadang juga ubi rebus. Anak Tata yang lain sudah menikah. Ada yang tinggal di luar kota, ada pula di kampung lain yang jaraknya jauh dari sini.

Tata adalah pendongeng yang sangat piawai, dan untuk itulah kami berkumpul seminggu sekali di pondok ini. Ceritanya selalu kami tunggu-tunggu. Ketika ia bercerita, kami semua larut di dalamnya hingga tidak menyadari keberadaan kami di pondok bambu ini sampai ia mengakhiri cerita.

“…Begitulah Imam Hasan Al Basri memuliakan tetangga Nasraninya. Kelembutan sikap yang sanggup melelehkan baja sekalipun. Orang yang berilmu luas akan menjelma menjadi pribadi yang bijak dan berhati lembut.”  
Tata menutup dongeng pertamanya dengan seruputan panjang pada kopinya.

Kami semua menarik nafas, saling bertatapan, dan senyum. Entah apa arti senyum itu kami tak tahu. Yang pasti kami seolah baru sampai dari perjalanan di negeri jauh.

Kami tahu yang ia ceritakan bukanlah kebohongan atau khayalan, itu adalah kisah nyata, tapi kami lebih suka menyebutnya dongeng karena setiap mendengar Tata bercerita kami larut. Ketika ia mengakhirinya kami seperti tersadar dari mimpi indah.

“Tapi sekarang banyak sweeping kepada non muslim Tata, katanya mereka menghina agama kita,”

Udin tiba-tiba berbicara seolah ingin membawa dongeng Hasan Al Basri lebih dari seribu tahun lalu itu ke hari ini. Saya memaklumi keresahan Udin sebab pamannya sendiri termasuk salah satu yang getol mengajak kawan-kawannya untuk melakukan sweeping kepada orang-orang yang dianggap menghina Islam.


Tata terlihat senyum. Disandarkannya tubuh yang mulai uzur itu di tiang pondok. Tata belumlah sepuh sekali, tapi guratan keriput mulai muncul di wajah dan jemarinya. Guratan keriput itu seakan menambah hangatnya sosok Tata. Aku sendiri senang melihat keriput itu, terutama di telapak tangannya, aku suka mengelus dan menciumnya, sebagai sosok kakek yang tak pernah kumiliki.

Dan begitulah Tata memberlakukan kami, seperti cucu cucu yang begitu ia sayang.

“Dulu sekali…”

Tata memulai dongeng baru menanggapi Udin.

“Dua orang muslim mengadakan perjalanan ke perkampungan Yahudi bernama Khaybar. Tak berapa lama salah satunya terbunuh dekat sumur mata air. Satu orang muslim yang masih hidup bernama Muhayyishah kembali dan menemui nabi. Ia melaporkan kejadian pembunuhan temannya di perkampungan Yahudi.
Semua orang terkejut dan menganggap ini adalah panggilan perang di jalan Allah. Jihad fi sabilillah. Yahudi telah menabuh genderang perang. Posisi ummat Islam waktu itu sangatlah kuat.
Namun nabi bersikap tenang. Dia mengirimkan surat ke perkampungan Yahudi dan mereka membantah telah melakukan pembunuhan. Mengetahui Yahudi membantah itu, nabi kemudian menyuruh Muhayyishah bersumpah bahwa tuduhannya memang benar. Muhayyishah tak berani karena memang dia tidak melihat dengan mata kepala sendiri.
Situasi jadi rumit sebab korban jiwa telah jatuh dan keluarganya menuntut keadilan. Pilihannya ada dua menuntut denda pembunuhan kepada Yahudi yang membunuh atau memerangi mereka semuanya. Tapi sampai saat itu tak diketahui secara pasti siapa pembunuhnya.
Ummat Islam semakin gamang, umumnya tidak terima dengan kejadian itu. Bayang-bayang peperangan berada di depan mata.”


Perhatian kami teralihkan saat Tata mengangkat gelas dan menyeruput kopinya. Tata seakan mengulur waktu menunggu respon kami.

“Apakah terjadi perang?” Udin mendesak

Tata tersenyum, dicondongkannya badan kedepan menjauh dari sandaran tiang pondok. Ini menandakan ada hal penting yang ingin Tata sampaikan. Kami pun diam menahan nafas.

“Meskipun memiliki kekuatan yang lebih unggul nabi mengambil keputusan diluar dugaan semua ummat Islam bahkan Yahudi saat itu.
Beliau memutuskan akan membayar diyat 100 ekor unta kepada keluarga yang terbunuh. Nabi membayar dengan untanya sendiri. Saat itu perdamaian sudah terpupuk dengan baik. Begitulah sosok nabi agung yang rela berkorban demi perdamaian, sebab penyebar fitnah tidak menyukai situasi damai.”


Pengeras suara dari Masjid yang berjarak dua rumah dari tempat kami telah memutar pengajian. Magrib menjelang, itu bel tanda kelas dongeng Tata berakhir. Kami semua berpamitan. Semoga minggu depan Tata berada di tempat ini lagi mendongeng pada kami, cucu-cucu tak langsungnya. Dia selalu menyempatkan diri seminggu sekali buat kami.






Kuusap dan kuciumi jemari dan tangan keriput Tata saat berpamitan, seakan itu jemari dan tangan Imam Abu Sa’id al-Hasan al-Bashri.

Tambah besarlah cintaku pada sosok lembut yang penyayang ini.


Jl. Veteran, Palu, 5 Juni 2017
10 Ramadhan 1438 Hijriah

Akhirnya imaji itu kembali, saya bisa ber-fiksi lagi, meski belum se-halus dulu, sruput lagi kopinya Een Skyhock sebentar lagi sudah mau imsak hehe...

Gambar dari sini
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment