Monday, June 19, 2017

KITA




Denting gelas itu masih terngiang di telingaku.

“Searah atau berlawanan jarum jam akan menentukan rasa” katamu dalam canda yang hanya kita yang mengerti. Dan majelis pun digelar, dalam gelap malam, dalam riuh serangga, dalam kepulan asap, dalam pekatnya kafein.


Kita tahu, sebelum ini kita sering usil memungut lembar kertas bekas, di atas tanah, di dalam tong sampah, hingga kertas timah rokok. Sang Nabi hingga Matsnawi, melebur dalam sajak yang tumpah ruah dalam remah-remah kertas. Bersanding dengan info kegiatan di mading-mading himpunan, menempel liar di tiang-tiang dan kaca-kaca ruangan, di kantin-kantin. Memunculkan kegelisahan dan ketidaknyamanan. Sebagian bernama, sebagian tanpa nama. 

“Cah Ayu yang memprasasti” katamu
“Lazuardi Tak Maniskan Anggur” kataku
“Kuda liar Al Hambra” katanya

Kita mengepung FKIP dengan puisi.
Itulah awal.

Baca Juga: TIBA-TIBA RINDU

Selanjutnya dalam majelis-majelis gelap, kita mulai melahap buku-buku. Warisan mereka yang terdahulu secara tidak sadar mengarahkan kita pada Perbandingan Idiologi. Maka Mao Zedong, Stalin, Che, dan Gie tampil gagah-gagahan menghangatkan malam kita. Hitler dan Benito Mussolini tak ketinggalan dalam parade unjuk paham. Malam-malam kita menjadi hidup dan pagi kita menjadi sangat berat dan penat.

Suntuk bernostalgia dengan gegap gempita paham-paham yang padahal sudah sekarat itu, kita seolah rindu dengan kehalusan hati seperti sebelumnya. Dan kita pun memulainya dari “Cinta”, gairah yang membuncah hingga sesuatu yang platonik. Dari menyet, tragedi kejatuhanmu di jalan aspal yang melanggar kausalitas, cinta sebungkus mie dan dua batang rokok, hingga tiang ke tiga tempat di mana kita kadang sepakat bertemu. Tiang itu sekarang lenyap bersamaan dengan proyek reklamasi teluk kecil kota ini.

Dan saat Rumi, Al Junaid, Al Hallaj, Rabi'ah al-Adawiyah, menyatu dalam Wahdat al wujud, dan Bisyr asyik bertelanjang kaki, kita serupa Qais yang kehilangan Laila jika tak bertemu dalam beberapa hari. Kita menempuh malam dari “pica matahari” hingga “cungkil matahari”. Dari magrib berjamaah di pondok kayu sempit, hingga Jum’at bertiga di musholah fakultas yang memang zaman itu jarang jum’at-an. Malam-malam kita beranjak syahdu. Penuh sesak dengan Cinta.

Setelah sekian lama, malam kita kembali riuh saat melangkah ke bab Saqifah, Karbala, hingga Nahjul Balaghah setebal tiga jari itu. Kita begitu jatuh cinta dengan sejarah abad permulaan Islam itu. Sebagaimana kita juga begitu ngeri melihat sejarah hitamnya yang memecah hingga sekarang. Selanjutnya konflik modern di Timur Tengah menarik perhatian kita, dan Mahmoud Ahmadinejad menjadi pencuci mulut dalam masa-masa tegang ini. 

Kita berburu buku, dari perpustakaan daerah, Kayumalue di sektor utara, hingga pedalaman Sidondo di sektor selatan, disanalah saya berkenalan dengan sosok Ali Shariati. Sebagian kita kebagian akrab dengan Murtadha Muthahhari. Selanjutnya, kita rela berjaga saling bergantian di lorong toko buku hanya untuk mencari referensi, membaca gratis karena majelis malam kita lebih butuh budget. Itulah masa di mana buku lebih rawan hilang ketimbang dompet.

Ah... lihatlah, kita masih lucu-lucunya waktu itu.

Dan kau mungkin masih ingat, setelah dapat referensi kita akan berkumpul kembali. Kau selalu bersemangat, begitupun aku, apalagi dia, dia, dan beberapa dia lain yang timbul tenggelam. Begitu tiap malam dengan tensi yang selalu meningkat. Tenaga kita sangat terkuras di masa ini. Hingga filsafat datang menggenapi sesuatu yang masih ganjil dalam bab idiologi terdahulu. 

Disinilah kita menemukan keunikan sosok Socrates, kesetiaan Plato, dan keberanian seorang Aristoteles. Menyapa  sosok Friedrich Nietzsche, menyalami misteri Mulla Sadra dan Allamah Thabathaba'i. Bab ini pun berujung pada sosok ilmuan seperti Ibnu Sina, Galileo Galilei, Isaac Newton, hingga Einstein.

Dan bel pun berbunyi. 

Menyentak kesadaran kita yang selanjutnya dipaksa untuk mengakui pentingnya SKS dan KHS. Mengais kembali ingatan akan pentingnya mengetahui Parts of Speech, Nasal Saund atau Labiodental Fricative. Kita semua harus meninggalkan kampus sebelum diusir. 
Setelah itu majelis kita pun sekarat. Beberapa dari kita masih bertahan beberapa tahun setelahnya. Bahkan sempat tersesat dalam rimba raya Quantum, yang kau sering sebut "hanya urusan Kecil" saat teman-teman tanya "Sedang bahas apa?". Disana kita menemukan kejutan seperti Photon ternyata memiliki massa dan karena itu cahaya bisa bengkok, waktu berhenti saat materi menyamai kecepatan cahaya, atau alam raya yang terlihat sangat teratur ternyata tersusun dari sesuatu yang kacau dan tak dapat diprediksi.

Kini bahkan bertemu pandang pun sulit. Sebagian kita sudah menemukan pijakan yang nyaman, sebagian lagi bertarung menuntaskan dirinya sendiri, dan yang lain masih berusaha berdamai.

Sudah lebih dari sepuluh tahun lalu sejak kita mengepung FKIP dengan Puisi. 

Saya hampir-hampir masih bisa mendengar dentingan gelas itu. “Searah atau berlawanan jarum jam akan menentukan rasa” katamu dalam canda yang hanya kita yang mengerti.

Masihkah suatu hari kita bertemu dengan senyum dan canda yang sama seperti dulu saat kita meneror mereka dengan Cah Ayu dan kuda liar Al Hambra?

***
Aweng Cafe, Jl. Basuki Rahmat, Palu
19 Juni 2017
25 Ramadhan 1438 H 

Gambar dari sini
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment