Pertengahan bulan Juli lalu saya bertemu mahasiswi asal Jakarta saat berkunjung ke Yayasan Merah Putih. Namanya Mutiara, ia adalah anak seorang budayawan Mohamad Sobary. Mahasiswi Universitas Indonesia jurusan Filsafat ini membawa setumpuk buku sumbangan untuk Skola Lipu, sekolah alternatif komunitas adat Tau Taa Wana di pedalaman Morowali utara.
Diantara
buku-buku itu saya memilih buku komik biografi Plato, Isaac Newton, dan Galileo
Galilei untuk dipinjam sebelum sampai di tangan anak-anak Tau Taa Wana. Niat
membaca buku ini sebenarnya hanya untuk bernostalgia lagi. Merivew kembali
kenangan saat kuliah, dimana tokoh-tokoh filsuf dan ilmuan besar lainnya sering
menjadi inspirasi atau sekedar menjadi pelarian saat tagihan di kantin sudah
menumpuk.
Satu bulan
setelah pertemuan saya dengan Mutiara, isu Flat Earth (FE) menjadi viral di
media sosial dan sampai kepada saya. Pasti pekerjaan orang iseng, pikir saya.
Menemukan orang yang percaya bumi itu datar hari ini, bagi saya sama dengan
menemukan Mukjizat.
Tapi
ternyata tidak. Bagi sebagian orang ini bukan lelucon, ini serius, benar-benar
serius. Dalam hati diam-diam saya juga bertanya, “Kalian serius?” Dan
kelihatannya memang serius. Mereka lalu menunjukkan serial video FE, dan
berniat membentuk komunitas pendukung FE di Universitas Tadulako.
“Ok,
anggaplah itu bagian dari eksplorasi keilmuan seorang mahasiswa” kataku dalam
hati. Dengan begitu saya bisa memakluminya dengan sedikit tenang. Bahwa dalam
tahap eksplorasi keilmuan, keliru dan menyimpang sedikit tidak masalah. Namanya
juga eksplorasi, kita semua pernah melakukannya. Kecuali yang tidak ingin.
Ada satu hal
yang mengejutkan dalam serial video FE itu. Bukan konspirasi Remason, eh sory,
Fremason itu, bukan. Bukan juga kekonyolan membandingkan gravitasi dan massa
jenis. Tapi pernyataan bahwa Newton dan Einstein tak lebih dari para pembual
dan menyebar HOAX. Saya ingin sekali meyakini pernyataan itu sebagai lelucon,
tapi saya juga harus menghargai keseriusan teman-teman lain. Masa saya harus
ketawa di tengah wajah-wajah serius.
Baca Juga: KITA
Sebagai
pengagum dua orang ilmuan itu, maka tidak ada pilihan selain menuruti hukum 3
Newton yakni aksi-reaksi. Saya akan bereaksi. Bukan karena alasan ilmiah, tapi alasan yang lebih
personal. Tidak butuh penjelasan ilmiah untuk reaksi ini.
Seperti juga
Madritista bereaksi saat pendukung Barcelona mengolok-olok CR7, semisal Curva
Sud Milano yang geram ketika supporter lawan membully sang Il Capitano, Paolo Maldini. Jelas, alasan
ilmiah tidak dibutuhkan untuk reaksi ini.
Maka, lewat
media yang sama, Youtube, “Logika ERROR Flat Earther #1” berhasil saya upload
tanggal 27 Agustus 2016, itu video kedua saya di Youtube setelah video perdana
4 tahun lalu. Dan hukum 3 Newton kembali terbukti, ibarat Curva Nord yang
menyahuti koreografi Curva Sud dalam Derby della Madonnina, hanya dalam 3 minggu,
saya mendapatkan 1.100 viwers, 134 Komen, 4 like dan 41 dislike.
Ini
pengalaman pertama chanel youtube saya ditanggapi orang. Bagi saya itu seru.
Banyak hal yang kemudian muncul dan dieksplorasi lebih jauh di kolom komentar.
Mulai dari Dajjal, Remason, hingga ayat Al Qur’an. Dari total 500 komentar
hinggal saat ini, sekitar 90% menyatakan mendukung Flat Earth, 5% pendukung
malu-malu Flat Earth, 4,9% mencaci, 0,1% mendukung video saya. Rasa kagum saya
pun bertambah pada seorang Einstein. Salah satu kutipanya yang saya suka: Two
Things are infinite: The Universe and human stupidity, and I’m not sure about
the universe.
Diluar
keseruan saya itu, saya jadi berpikir apa yang terjadi dengan pendidikan kita?
Sebagai
orang yang memiliki basic ilmu pendidikan, pikiran saya langsung mengolah
pertanyaan: apa yang telah dilakukan guru sains selama 12 tahun di sekolah?
kenapa sebagian universitas tidak memasukkan Filsafat Ilmu sebagai mata kuliah
wajib di level strata satu? Filsafat ilmu akan membantu menjelaskan bagaimana
seharusnya ilmu diperoleh, dan bagaimana ilmu itu mesti bebas nilai.
Baca Juga: Phylosophy. Ilmu Kuno?
Tak perlu
Obama atau konsorsium sains untuk menanggapi isu Flat Earth, tapi setidaknya
dunia pendidikan harus berkaca kembali. Bagaimana mungkin menerima logika bahwa
hanya dengan video cocologi seseorang bisa meruntuhkan kebenaran ilmiah yang
sudah terverifikasi? Pernahkan sekolah mengajarkan sains hingga ke level Haqqul
Yaqin atau hanya sampai di Ilmal Yaqin? Terus bagaimana peran laboratorium
dalam mencapai Haqqul Yaqin?
Dan masalah
tafsir Al Qur’an? Ah, serahkanlah pada ahlinya.
Saya bukan
ahli tafsir. Menafsir-nafsirkan tanpa ilmu yang mumpuni terlalu beresiko. Pertanggungjawabannya terlalu
BERAT.
Salam
Remason. Hehe..
___
Palu, 25
September 2015
Bagi yang ingin diskusi silahkan di kolom komentar, kita sharing sambil ngopi.. hehe...
Bagi yang ingin diskusi silahkan di kolom komentar, kita sharing sambil ngopi.. hehe...