Langit timur mulai membias warna merah jingga. Aku duduk di teras rumah, banyak hal menggelayut dibenakku. Waktu menjelang senja selalu menghadirkan suasana hangat, romantis, bahkan religi. Maka, di awal senja ini kuputuskan untuk berkhayal.
Aku membayangkan sebuah negeri yang aman, dan damai. Penduduknya sejahterah karena pemimpinnya bijak lagi adil.
Ku bayangkan itu adalah negeri yang menegakkan sistem Khilafah. Di sana, hukum-hukum Islam kembali tegak. Hukum-hukum fikih yang berbeda tiap mazhab, dikembalikan ke mazhab masing-masing, tanpa harus dipertentangkan. Semua hidup damai di bawah kepemimpinan seorang Khalifah yang penuh kasih, lagi bijaksana.
Kubayangkan saat khilafah kembali berdiri, ummat beragama lain hidup nyaman, dibebaskan untuk meyakini agamanya, menjalankan ibadahnya, termasuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang terlarang buat ummat Islam. Itulah ketetapan Khalifah yang bijak, menerapkan ajaran Al Qur’an yang memuliakan manusia.
Makanan dan minuman terlarang itu dibuatkan aturan agar peredarannya terbatas di kalangan non muslim saja. Tak ada gesekan, semua berjalan harmonis dalam atmosfir yang sangat toleran, karena Khalifahnya berujar “Barang siapa mengganggu non muslim tanpa sebab sama dengan meludah ke muka ku” sebagaimana telah nabi ujarkan lebih dari seribu tahun yang lalu.
Kubayangkan saat Khilafah terwujud, semua warga hidup rukun dan damai. Jika ada orang luar yang mengganggu, maka semua warga wajib bantu membantu mempertahankan diri, tak peduli Islam atau bukan, semua melebur untuk manghalau gangguan dari luar. Demikianlah nabi memberlakukan aturan di Madinah di tahun 600an Masehi. Begitu indah.
Ku bayangkan lagi saat Khilafah berdiri, semua warga berpartisipasi, bahu membahu membangun perekonomian. Rumah Mal, menerima pajak dari warga, yang akan dikelolah secara adil demi kesejahteraan rakyat. Terciptalah masyarakat madani yang diimpikan.
Aku lalu membayangkan sosok Khalifah yang bersahaja tapi berwibawa, tegas tapi lebih mengutamakan kelembutan, seperti juga nabi yang rela duduk berlama-lama karena tak ingin membangunkan kucing yang tidur beralaskan jubahnya.
Aku membayangkan seorang Khalifah yang lebih mementingkan perut warganya ketimbang perutnya sendiri. Seperti Imam Ali bin Abu Thalib saat menjadi Khalifah, yang membuka rumahnya tiap hari untuk makan gratis fakir miskin sementara ia sendiri lebih sering lapar dibanding kenyang.
Lalu aku bayangkan wajah-wajah pemimpin ummat di negeriku, mereka yang memiliki banyak pengikut fanatik, yang sering mengadakan konvoi dan gemar memekik “Takbir!”. Dahi ku mengkerut, yang mana sosok itu?
Ku reka-reka sekali lagi. Wajah-wajah lembut dan bijaksana. Bersahaja dan berwibawa. Dahi ku kembali mengkerut.
Ah sudahlah.
Baca Juga: Senja Yang Manja
Aku ingin kembali membayangkan saat Khilafah benar-benar berdiri, seorang pemimpin akan berlaku adil dan merangkul semua pihak dalam memutuskan persoalan sosial, inilah musyawarah dalam Islam. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan digenjot, hingga menghasilkan penemuan-penemuan penting, inilah masa keemasan Islam seperti di masa Abbasiyah, sekitar 1.300 tahun lalu.
Lamunanku buyar, seekor kucing meliuk menggesekkan bulu halusnya di kaki ku. “Kucing pengganggu, apa dia tahu lamunanku ini penting untuk masa depan ummat?” batinku.
Kembali ku arahkan pandangku ke mega yang makin memerah.
Apa iya semudah itu?
Apa aku ragu? Apa pertanyaan itu bertanda keimananku lemah?
Bagaimana dengan kekhalifaan Marwan bin Muhammad yang terkenal kejam, atau Khalifah al-Walid bin Yazid yang terkenal fasiq. Bagaimana pula dengan kekhalifaan Ottoman yang sempat melakukan pembantaian lebih dari satu juta bangsa Armenia antara tahun 1894 hingga 1896. Entah mau dibuang kemana sejarah kelam ke-Khilafah-an itu.
"Bukankah Khilafah juga belum tuntas dengan dirinya sendiri, dengan bentuknya sendiri yang berubah-ubah," pikirku.
Ku arahkan pandangan ku ke jalan kompleks tepat depan rumah. Dua orang anak perempuan berjalan kaki, mereka memakai kerudung, sepertinya menuju masjid. Dari belakangnya tiga orang anak laki-laki lebih kecil berlarian, ketiganya pakai baju kokoh dan topi haji.
Aku langsung tersadar, ternyata Islam di negeriku masih baik-baik saja. Anak-anak masih bisa berlarian di jalan mengenakan simbol agamanya tanpa rasa takut. Orang-orang dewasa masih diberi kebebasan berteriak-teriak di jalan, memekik takbir, meski mengganggu ketertiban dan kadang melakukan kekerasan. Sesuatu yang belum tentu nabi izinkan.
Ceramah-ceramah dan majelis agama masih ramai meskipun banyak juga yang mengajak pada kebencian. Tak ada larangan untuk beribadah, dan menjalankan keyakinan. Dan sepertinya semua bayanganku tadi bisa terwujud di sini.
Lantas masih perlukah melakukan perubahan total di negeriku ini? Apakah darah masih harus dialirkan untuk perubahan itu? Dan banyak pertanyaan lagi yang berdatangan.
Mereka bilang, demokrasi adalah sistem Kufur yang harus dicampakkan, bahwa demokrasi itu memurtadkan ummat Islam. Apakah demokrasi telah memurtadkan ku, dan memurtadkan anak-anak yang berlarian tadi?
Azan berkumandang, saatnya berbuka.
Semoga di bulan Ramadhan kali ini puasaku dan puluhan rakaat shalat tarawehku diterima. Jadwal puasa yang kupakai berasal dari pemerintah Kufur (katanya), taraweh yang kukerjakan berada dalam masjid yang pembangunannya juga disumbang oleh pemerintah Kufur.
Ku reguk air putih dalam gelas.
"Urusan Allah-lah untuk menerima atau tidak amal ibadah yang kita kerjakan, urusan kita hanya beribadah, berbuat baik, dan saling mencintai," yakinku dalam hati.
Dan aku mencintai negeri ini bersama dengan nilai luhur budayanya yang - maaf - memang bukan berasal dari Arab.
Baca Juga: [bahaya] UTOPIA KHILAFAH DAN KOMUNIS
Negara dan demokrasi adalah sebuah keniscayaan.
Batinku meyakini itu
SELAMAT BERBUKA PUASA
Jl. Veteran, Palu, 30 Mei 2017
4 Ramadhan 1438 Hijriah
Gambar dari sini