Thursday, May 11, 2017

Ahok Sepertinya Sudah Menyadari Itu




Ahok sepertinya sudah menyadari itu.
Ia belum cocok buat Jakarta. Kesadaran inilah yang mungkin membuat dia sangat tenang menghadapi keputusan vonisnya. Ya, kemarin vonis Ahok dibacakan, ia harus mendekam di penjara selama 2 tahun karena menista agama Islam. Dengan begitu tuntas sudah rangkaian sidang Ahok dengan perkara penistaan agama.

Dengan kasus ini ia kalah dalam kontestasi Pilkada DKI bulan lalu, dengan kasus ini pula, hakim mengharuskan ia menjalani tahanan selama 2 tahun. Menghadapi kekalahan beruntun ini Ahok begitu tenang, bahkan sampai ia tiba di rutan Cipinang ia masih senyum di depan kamera.


Sikap ini juga ia tunjukkan saat ia kalah dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta awal April lalu. Ia bahkan tidak mengeluarkan komentar negatif terkait pelaksanaan Pilkada. Ia langsung memberi selamat kepada pasangan Anies-Sandi yang menang meskipun masih versi Quick Count saat itu.

Baca Juga: Anomaly Ahok

Ahok sepertinya sudah menyadari itu.
Karenanya ia sudah menyiapkan psikologinya untuk kemungkinan terburuk.

Ahok sudah menyadari itu.
Bahwa mafia-mafia yang selama ini dia berangus sudah menyatukan kekuatan melawannya. Bahwa kejujuran dan kerja keras yang ia lakukan untuk Jakarta masih akan kalah dengan sentimen-sentimen keagamaan yang dijadikan alat oleh para mafia itu.

Ya, Ahok memang belum cocok untuk Jakarta. Ia terlalu jujur dan bekerja terlalu tulus. Masyarakat Jakarta masih suka dan kadang mungkin rindu dengan kepemimpinan gaya lama. Meskipun kerja amburadul, yang penting bertutur kata halus, sopan, dan murah senyum.
Ahok sudah menyadari itu.
Bahwa di luar ruang sidang, mereka yang turun ke jalan dengan teriakan takbir, dengan bendera Palestina dan kaligrafi Tauhid, tidak tahu tentang perang sesungguhnya dibalik proses pengadilan dirinya. Olehnya Ahok tidak ingin mengomentari mereka.

Ahok sadar.
Bahwa pernyataannya di kepulauan seribu tidak lagi penting. Bahwa frasa “dibohongi surat Almaidah 51” dengan “dibohongi pake surat Almaida 51” maknanya sangatlah berbeda. Tidak perlu kemampuan bahasa yang mumpuni untuk tahu perbedaan makna dan maksud dua frasa itu. Tapi sudahlah, bagi musuh-musuhnya, bukan lagi disitu esensi perkaranya, tapi bagaimana karir politiknya harus dimatikan.

Ada hal yang lebih menakutkan dari Ahok ketimbang remeh temeh pidato kepulauan seribu. Ada harapan sebagian masyarakat agar Ahok bisa jadi ketua KPK atau menteri Pemberdayaan Aparatur Negara. Ini tentu alarm tanda bahaya bagi musuhnya, elit politik Jakarta hingga Nasional. KPK selama ini sudah jadi momok menakutkan bagi mereka, apalah lagi jika Ahok masuk kesana. Itu akan jadi horror paling nyata.

Ahok jadi menteri Pemberdayaan Aparatur Negara juga tak kalah menakutkan. Bisa jadi semua aparat pemerintahan di Indonesia ia pasangi target kerja seperti yang ia lakukan di DKI. Kalau begitu akan banyak pejabat hingga PNS di tingkat bawah yang tersiksa sebab waktu mereka untuk santai main game dan eksis di media sosial akan tersita dengan bekerja. Peluang untuk curi-curi uang dalam proyek-proyek juga akan mengecil. Ini tak boleh dibiarkan.
Ahok sepertinya sudah menyadari itu.
Bahwa orang seperti dirinya belum akan menang melawan elit-elit politik negeri ini. Masyarakat yang harusnya pemilik kekuasan tertinggi juga belum mampu membaca pertarungan politik dibelakangnya. Mereka adalah warga yang jika disentuh sedikit ras dan agama, akan patuh melakukan apapun yang dikatakan pimpinannya.



Dan memang Ahok kalah.
Telak.

Kalah di Pilkada DKI, kalah di Pengadilan.
Vonis 2 tahun penjara yang jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa sudah bisa membuat lawannya bernafas lega. Artinya, untuk saat ini para mafia bisa memainkan jurus-jurusnya tanpa harus takut kena semprot mulut dan kebijakan Ahok. Ahok tidak di KPK, tidak juga jadi menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. All Clear.

Tapi Ahok mungkin tidak sadar.
Hari ini akan menjadi sejarah penting bagi politik Indonesia kedepannya. 50 sampai 100 tahun kedepan, akan tercatat bahwa puluhan tahun lalu, Kejujuran dan Kerja Keras belum mendapat tempat yang layak di negeri kita ini. Suatu hari di bulan Mei tahun itu, seorang yang bekerja untuk rakyatnya dari jam 7 pagi sampai malam telah dipenjara karena tak disukai.

Seperti juga Sutan Sjahrir, Perdana Mentri pertama Indonesia asal Minang yang dibenci karena memilih jalur diplomasi saat Ambarawa membara dan Surabaya memerah darah. Belanda datang untuk menguasai Indonesia lagi setelah 3 bulan proklamasi. Kini, 70 tahun berlalu, kecerdikan diplomasi Sjahrir tercatat dalam sejarah Indonesia. Dengan diplomasinya, satu per satu Negara mengakui kemeridekaan Indonesia. Belanda dan Jepang terpaksa harus angkat kaki.
Seperti Ahok, perjalanan Sjahrir tidak berakhir disitu. Karena berbeda pandangan politik, Sukarno menangkap Sutan Sjahrir. Mantan Perdana Mentri ini akhirnya meninggal sebagai tahanan politik, dalam pengasingan, dalam kesepian. Hatta terlihat sangat sedih membacakan pidato pemakaman sahabat karibnya itu.

Tentu nasib Ahok tidak sedramatis Sjahrir. Apalagi menyandingkan pengadilan Ahok dengan pengadilan Socrates, Galileo Galilei, atau pengadilan nabi Isa seperti yang teman saya nyatakan dalam warkop semalam. Tapi saya meyakini apa yang Ahok dan Sjahrir lakukan adalah hal yang besar yang akan dikenang jauh setelahnya.

Sementara itu saya bertanya-tanya, apakah malam pertama Ahok di Rutan Cipinang tadi malam ia lewati bersama segelas kopi? Saya akan sangat kecewa jika tidak. Saya rela menghibakan kopi ku di Warkop 212 semalam. 
Ahok dan Kopi bagi saya sama. 
Dua-duanya jujur, bahwa dua-duanya pahit. 
Sayang, masih banyak orang belum bisa menerima kejujuran.

Sepertinya hari ini harus tanpa gula.
Mari sruput…
___
Palu, 10 Mei 2017 Late post
Gambar dari sini

Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment