Ahok
sepertinya sudah menyadari itu.
Ia belum
cocok buat Jakarta. Kesadaran inilah yang mungkin membuat dia sangat tenang
menghadapi keputusan vonisnya. Ya, kemarin vonis Ahok dibacakan, ia harus
mendekam di penjara selama 2 tahun karena menista agama Islam. Dengan begitu tuntas
sudah rangkaian sidang Ahok dengan perkara penistaan agama.
Dengan kasus
ini ia kalah dalam kontestasi Pilkada DKI bulan lalu, dengan kasus ini pula,
hakim mengharuskan ia menjalani tahanan selama 2 tahun. Menghadapi kekalahan
beruntun ini Ahok begitu tenang, bahkan sampai ia tiba di rutan Cipinang ia
masih senyum di depan kamera.
Sikap ini
juga ia tunjukkan saat ia kalah dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta awal April
lalu. Ia bahkan tidak mengeluarkan komentar negatif terkait pelaksanaan Pilkada.
Ia langsung memberi selamat kepada pasangan Anies-Sandi yang menang meskipun
masih versi Quick Count saat itu.
Ahok
sepertinya sudah menyadari itu.
Karenanya ia
sudah menyiapkan psikologinya untuk kemungkinan terburuk.
Ahok sudah
menyadari itu.
Bahwa mafia-mafia
yang selama ini dia berangus sudah menyatukan kekuatan melawannya. Bahwa
kejujuran dan kerja keras yang ia lakukan untuk Jakarta masih akan kalah dengan
sentimen-sentimen keagamaan yang dijadikan alat oleh para mafia itu.
Ya, Ahok
memang belum cocok untuk Jakarta. Ia terlalu jujur dan bekerja terlalu tulus.
Masyarakat Jakarta masih suka dan kadang mungkin rindu dengan kepemimpinan gaya
lama. Meskipun kerja amburadul, yang penting bertutur kata halus, sopan, dan
murah senyum.
Ahok sudah
menyadari itu.
Bahwa di
luar ruang sidang, mereka yang turun ke jalan dengan teriakan takbir, dengan
bendera Palestina dan kaligrafi Tauhid, tidak tahu tentang perang sesungguhnya
dibalik proses pengadilan dirinya. Olehnya Ahok tidak ingin mengomentari
mereka.
Ahok sadar.
Bahwa
pernyataannya di kepulauan seribu tidak lagi penting. Bahwa frasa “dibohongi
surat Almaidah 51” dengan “dibohongi pake
surat Almaida 51” maknanya sangatlah berbeda. Tidak perlu kemampuan bahasa yang
mumpuni untuk tahu perbedaan makna dan maksud dua frasa itu. Tapi sudahlah,
bagi musuh-musuhnya, bukan lagi disitu esensi perkaranya, tapi bagaimana karir
politiknya harus dimatikan.
Ada hal yang
lebih menakutkan dari Ahok ketimbang remeh
temeh pidato kepulauan seribu. Ada harapan sebagian masyarakat agar Ahok
bisa jadi ketua KPK atau menteri Pemberdayaan Aparatur Negara. Ini tentu alarm
tanda bahaya bagi musuhnya, elit politik Jakarta hingga Nasional. KPK selama
ini sudah jadi momok menakutkan bagi mereka, apalah lagi jika Ahok masuk
kesana. Itu akan jadi horror paling nyata.
Ahok jadi
menteri Pemberdayaan Aparatur Negara juga tak kalah menakutkan. Bisa jadi semua
aparat pemerintahan di Indonesia ia pasangi target kerja seperti yang ia
lakukan di DKI. Kalau begitu akan banyak pejabat hingga PNS di tingkat bawah
yang tersiksa sebab waktu mereka untuk santai main game dan eksis di media
sosial akan tersita dengan bekerja. Peluang untuk curi-curi uang dalam
proyek-proyek juga akan mengecil. Ini tak boleh dibiarkan.
Ahok
sepertinya sudah menyadari itu.
Bahwa orang
seperti dirinya belum akan menang melawan elit-elit politik negeri ini.
Masyarakat yang harusnya pemilik kekuasan tertinggi juga belum mampu membaca
pertarungan politik dibelakangnya. Mereka adalah warga yang jika disentuh
sedikit ras dan agama, akan patuh melakukan apapun yang dikatakan pimpinannya.
Dan memang Ahok kalah.
Telak.
Dan memang Ahok kalah.
Telak.
Kalah di Pilkada DKI, kalah di Pengadilan.
Vonis 2 tahun penjara yang jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa sudah bisa membuat lawannya bernafas lega. Artinya, untuk saat ini para mafia bisa memainkan jurus-jurusnya tanpa harus takut kena semprot mulut dan kebijakan Ahok. Ahok tidak di KPK, tidak juga jadi menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. All Clear.
Vonis 2 tahun penjara yang jauh lebih tinggi dari tuntutan jaksa sudah bisa membuat lawannya bernafas lega. Artinya, untuk saat ini para mafia bisa memainkan jurus-jurusnya tanpa harus takut kena semprot mulut dan kebijakan Ahok. Ahok tidak di KPK, tidak juga jadi menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. All Clear.
Tapi Ahok mungkin
tidak sadar.
Hari ini
akan menjadi sejarah penting bagi politik Indonesia kedepannya. 50 sampai 100 tahun
kedepan, akan tercatat bahwa puluhan tahun lalu, Kejujuran dan Kerja Keras
belum mendapat tempat yang layak di negeri kita ini. Suatu hari di bulan Mei
tahun itu, seorang yang bekerja untuk rakyatnya dari jam 7 pagi sampai malam telah
dipenjara karena tak disukai.
Seperti juga
Sutan Sjahrir, Perdana Mentri pertama Indonesia asal Minang yang dibenci karena
memilih jalur diplomasi saat Ambarawa membara dan Surabaya memerah darah.
Belanda datang untuk menguasai Indonesia lagi setelah 3 bulan proklamasi. Kini,
70 tahun berlalu, kecerdikan diplomasi Sjahrir tercatat dalam sejarah Indonesia.
Dengan diplomasinya, satu per satu Negara mengakui kemeridekaan Indonesia.
Belanda dan Jepang terpaksa harus angkat kaki.
Seperti
Ahok, perjalanan Sjahrir tidak berakhir disitu. Karena berbeda pandangan
politik, Sukarno menangkap Sutan Sjahrir. Mantan Perdana Mentri ini akhirnya meninggal
sebagai tahanan politik, dalam pengasingan, dalam kesepian. Hatta terlihat
sangat sedih membacakan pidato pemakaman sahabat karibnya itu.
Tentu nasib
Ahok tidak sedramatis Sjahrir. Apalagi menyandingkan pengadilan Ahok dengan pengadilan Socrates, Galileo Galilei, atau pengadilan nabi Isa seperti yang teman saya nyatakan dalam warkop semalam. Tapi saya meyakini apa yang Ahok dan Sjahrir
lakukan adalah hal yang besar yang akan dikenang jauh setelahnya.
Sementara
itu saya bertanya-tanya, apakah malam pertama Ahok di Rutan Cipinang tadi malam
ia lewati bersama segelas kopi? Saya akan
sangat kecewa jika tidak. Saya rela menghibakan kopi ku di Warkop 212 semalam.
Ahok
dan Kopi bagi saya sama.
Dua-duanya jujur, bahwa dua-duanya pahit.
Sayang, masih
banyak orang belum bisa menerima kejujuran.
Sepertinya
hari ini harus tanpa gula.
Mari sruput…
___
Palu, 10 Mei
2017 Late post
Gambar dari sini