Thursday, March 31, 2016

Film dan Momentum


Topik saya kali ini adalah Film. Kenapa baru ditulis sekarang, bukankah dalam blog ini ada kolom khusus untuk film yang sudah berisi beberapa tulisan?

Kenapa sekarang. Karena saya hanya ingin mencocok-cocokkan momen saja. Seperti kebiasaan buruk saya selama ini, ide tulisan berhamburan dan berlari bebas tanpa ada keinginan kuat untuk mengikatnya dalam bentuk tulisan. Momen masih menjadi salah satu cara saya untuk mendongkrak semangat menangkap kembali dan mengikat ide-ide itu.

Film menurut Wikipedia adalah “gambar-hidup, juga sering disebut movie (pelesetan untuk frasa moving picture, 'gambar bergerak').” Wikipedia juga membahas tentang ragam genre – atau aliran atau bahasa sufinya tarekat – dalam film. Namun saya tidak tertarik membahas itu.

Film hingga saat ini menurut saya masih menjadi media popular – karena itu mumpuni – untuk menyampaikan pesan secara komprehensif. Sebagai media penyampai pesan, film menjadi sangat penting dalam perkembangan peradaban modern. Saking pentingnya sebuah Negara merasa perlu mendirikan suatu lembaga yang khusus menangani layak tidaknya sebuah film untuk ditonton orang banyak. Di Indonesia lembaga ini dinamai Lembaga Sensor Film disingkat LSF.

Oleh banyak orang sensor film disebut sebagai bentuk pembatasan kreatifitas dan ide. Bisa jadi benar bisa juga tidak. Kita mungkin tidak akan heran jika kegiatan sensor film dilakukan di Negara totaliter, otoriter, atau pun Negara berkembang seperti Indonesia. Alasannya sederhana, karena di Negara seperti ini masih cenderung protektif, tidak ingin nilai-nilai yang sudah lama ada dimasyarakat diganggu oleh nilai asing dalam sebuah film. Di Indonesia sendiri menurut Wikipedia sekitar 60-an film dilarang beredar. Tapi aktifitas sensor ternyata terjadi di semua Negara, bahkan Negara seliberal Amerika, sebut saja film The Profit yang disutradari Peter N Alexander atau film Grotesque arahan sutradara Kôji Shiraishi yang dilarang tayang di Inggris.

Saya sendiri menganggap sensor film menjadi sebuah keniscayaan, sama dengan niscayanya seseorang dalam memilih makanan yang sesuai dengan selera dan kondisi biologisnya. Namun hadirnya lembaga sensor menurut saya bukanlah cara untuk menyetujui film itu berbahaya. Film tetaplah menjadi media terbaik penyampaian pesan, mneyuguhkan fakta, menyebarkan kebahagiaan, rasa optimis, harapan, atau sekedar lucu-lucuan, atau rasa penyesalan dan pengakuan dosa bahkanjuga usaha pengaburan sejarah.

Film Rambo merupakan usaha keras Amerika untuk memulihkan kehormatannya setelah kalah perang melawan Vietnam pada tahun 1975. Film The First Grader produksi BBC UK seolah menjadi sebuah pengakuan dosa Inggris terhadap rakyat Kenya. Bahkan film animasi Despicable Me arahan Pierre Coffin menurut saya memiliki pesan yang dalam lewat kemunculan simbol-simbol yang halus dan rapi. Begitu pula film-film lain seperti Goodbye Bafana, animasi Up, Rabbit Proof Fence, The Boy in the Striped Pyjamas, film pendek Die Brücke am Ibar, dan film dengan pesan kuat lainnya.

Begitulah film yang baik, terlepas dari negatif atau positifnya, sebuah film menurut saya mesti memiliki latar pesan yang kuat dan jelas  Efektifitas film dalam menyampaikan pesan mestinya dijadikan peluang bagi pegiat film untuk menyampaikan pesan kemanusiaan, perdamaian, dan ironi-ironi yang bisa menjadi refleksi mendalam bagi peradaban.

Bagaimana dengan film Indonesia.

Saya tidak ingin berpanjang lebar terkait perfilman di negeri ini. Bukannya tidak tertarik tapi banyak sudah tulisan yang membahasnya. Tapi sebagai penikmat film saya sudah cukup puas dengan kehadiran Rectoverso, Atambua 39 Celcius, Perahu Kertas, film dokumenter Jalanan, atau film pendek Halaman Belakang besutan Yusuf Radjamuda dari daerah saya sendiri Palu yang sudah melalang buana dari festival film Solo, Korea, hingga ke Eropa. Mereka sudah berupaya menyuguhkan sesuatu yang segar bagi perfilman negeri ini.

Bagaimana pula dengan film horror yang katanya lagi hits.

Saya tidak ingin mengomentari banyak karena tidak terlalu mengerti, bioskop terlalu riuh hingga setan pun tersesat antara dada dan paha. Kalau pun ingin menanggapi, rasa-rasanya blog ini terlalu kecil untuk mengomentarinya. Yang pasti saya masih meyakini bahwa film yang baik mesti memiliki pesan yang jelas dan kuat. Apakah film horror-paha-dada memiliki pesan itu. Penontonlah yang lebih tahu.

Selamat Hari Film Nasional 30 Maret 2016

Terimakasih telah mendorong saya untuk menulis lagi
____
Ojan, Jl. Veteran, Palu, 31 Maret 2016
Foto ilustrasi diambil dari Shutterstock
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment