Monday, April 25, 2016

Ahok dan Perkelahian Dalam Kelas


Ahok. Akhirnya saya harus membahasnya meskipun saya tinggal di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, beribu kilometer jaraknya dari Jakarta. Pertama karena saya selalu menyempatkan membuka portal-portal berita terbesar nasional saat nge-net dan Ahok terlalu seksi hingga cerita tentangnya selalu menghiasi headline. Kedua saat saya membuka akun facebook 19 April lalu seorang teman menandai saya dalam link postingannya. Atas restu saya link itu akhirnya muncul di timeline saya. Apa yang terjadi?, dalam 5 hari (sampai hari ini) postingan itu sudah berisi 95 komentar yang seru untuk diikuti.

Saya kira alasan kedualah yang paling kuat mendorong saya untuk membahas ini. Bayangkan saja orang Jakarta yang memilih hebohnya sampai di lembah Palu. Ahok ternyata magnet baru di Indonesia, mengalahkan Saskia Gotik, Saiful Jamil, atau Farhat Abas. Tapi tahu tidak apa judul link yang saya maksud di atas? “Muhammadiyah: Umat Islam HARAM Pilih Pemimpin Dari Golongan Kafir” milik eramuslim,com.




Seperti opini dan asumsi kebanyakan orang bahwa Indonesia dalam kondisi krisis pemimpin, saya juga sebelumnya berpikir seperti itu. Dampak paling nyata tak lain ke-pasif-an saya dalam Pemilu baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada. Tapi Ahok adalah pengecualian. Bagi saya. Sama dengan pengecualian lain seperti Tri Risma milik Surabaya, Ridwan Kamil di Bandung, atau Nurdin Abdullah di Bantaeng. Dan tentunya Jokowi karena selama saya hidup baru dua kali saya memilih: Pilkades dan Pilpres 2014 lalu.

Membahas baik-buruknya Ahok, saya teringat cerita teman saya di bangku kuliah dulu tentang Perkelahian Dalam Kelas Psikologi. Bahwa sebenarnya mata hanyalah alat, menurut teman saya itu yang melihat justeru kecenderungan psikologis kita. Begini ceritanya.

Suatu hari dikelas Psikologi tiba-tiba dua orang tak dikenal masuk dalam kelas yang sementara berlangsung. Kedua orang ini saling menuding dan berselisih, selang beberapa menit keduanya keluar kelas masih dalam keadaan berselisih. Setelah kelas kembali tenang, guru psikologi bertanya kepada siswa “apa warna topi yang dipakai oleh salah seorang asing tadi?” tidak satu pun dari siswa yang bisa menjawabnya.

Mungkin cara melihat seperti itu yang terjadi saat kita melihat sosok Ahok. Panca indra kita mengikuti kecenderungan psikologi kita terhadap Ahok. Mari kita lihat.

Berbicara krisis kepemimpinan, bagi saya Ahok adalah pengecualian. Kenapa?

Jika kita mengikuti berita tentu dengan mudah kita mengetahui kenapa ia menjadi sebuah pengecualian. Sebagian mungkin akan bilang itu karena media sengaja “bersekongkol” untuk membela Ahok. Benar bahwa media kita berbeda sajian dalam memberitakan Ahok, namun lagi-lagi meski begitu kita bisa melihat dengan objektif. Lihat saja media yang berusaha menyudutkan Ahok, mereka kesulitan untuk “menyerangnya”. Hal yang paling mungkin mereka lakukan adalah menggunakan jurus asumsi pengamat politik atau jurus kasus dugaan yang umumnya bisa dimentahkan karena tidak terbukti.


Tahun ini akan menjadi puncak “serangan” untuk Ahok, kenapa? Karena tahun depan Pilkada DKI akan berlangsung. Serangan pun mulai gencar dan yang paling menyedihkan adalah serangan yang bernada SARA. Menurut saya ini adalah cara paling tidak elegan karena sudah kebingungan mencari amunisi. Selain dimotori oleh situs-situs yang sejak awal tidak bersimpati pada Ahok, serangan ini juga keluar dari mulut orang-orang penting di negeri ini.


Lawan sejati Ahok sebenarnya adalah kandidat yang akan maju dalam Pilkada DKI. Beberapa nama kandidat sempat muncul, ada Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, bahkan Ahmad Dhani namun semua ragu untuk memastikan diri mencalonkan. Partai politik yang berencana melawan Ahok juga sudah berkonsolidasi kanan kiri, mencari kandidat yang dirasa mampu menyaingi Ahok, namun sampai sekarang belum ada yang pasti.



Gerindra sempat membujuk Ridwan Kamil walikota Bandung, sosok pemimpin daerah berprestasi yang digadang-gadang dapat menyaingi Ahok namun ternyata Ridwan menolak dan lebih memilih berkonsentrasi membangun kota Bandung. Dari PDI P, Megawati juga meminta kader partainya walikota Surabaya yang juga berprestasi Tri Risma namun Risma juga menolak. Alhasil hingga saat ini belum ada figur yang mengumumkan akan maju jadi calon gubernur melawan Ahok. Begitu sulitnya mencari lawan sepadan bagi Ahok.


Ahok sendiri sudah jauh-jauh hari mengumumkan untuk maju dalam Pilkada Gubernur DKI 2017. Bahkan dengan yakin memastikan diri maju di jalur independen. Gerakan pengumpulan KTP dukungan untuk Ahok pun muncul oleh relawan yang menamakan diri Teman Ahok. Tak main-main mereka menarget 1 juta KTP, padahal syarat minimal oleh KPU hanya sebesar 532.213 KTP. Per tanggal 19 April saja teman Ahok sudah mengumpulkan 630.834 fotokopi KTP, dan gerakan ini masih akan tetap berlangsung hingga Juli nanti. Apa dampak setelah itu? Beberapa partai akhirnya menyatakan sikap untuk mendukung Ahok tanpa syarat. Ini gerakan dukungan terbesar pertama dalam sejarah Pilkada di Indonesia.



Terus apa yang membuat Ahok begitu diminati?


Seandainya perdebatan terkait Ahok lebih menekankan pada kinerja pasti akan lebih menarik. Tapi sudahlah, nanti lawan Ahok akan menuduh saya sebagai orang yang “dibutakan” oleh media. Toh saya juga tidak akan memilih sebab saya warga Sigi bukan Jakarta. Bagi yang penasaran silahkan cari tahu sendiri. Sedikit bocoran, Ahok sudah meraih penghargaan bergengsi Bung Hatta Anti Corruption Award. Mungkin lembaga ini juga disogok atau bisa jadi kita semua ibarat siswa kelas psikologi tadi.
Mungkin saja.
___
Ojan
Palu, 23 April 2016
Gambar diambil dari sini, sini, dan sini
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment