Wednesday, January 13, 2021

IRONI EPIK PERADABAN



Saya mendapat pengetahuan tentang Perubahan Iklim (Climate Change) saat menyusun Fokus, rubrik utama di majalah SILO milik Yayasan Merah Putih, Sulawesi Tengah edisi September 2010, sekitar 10 tahun lalu. Fokus utama saat itu adalah pelaksanaan program REDD, sebuah inisiatif global yang bertujuan mengurangi emisi berbahaya di atmosfir bumi dan mengurangi penyusutan area hutan terutama di negara-negara tropis seperti Indonesia dan Brazil. Saya bersyukur bisa bertemu dan mewawancarai langsung Marcus Colchester, Direktur Forest Peoples Programe yang berbasis di Inggris saat berkunjung ke Sulawesi Tengah.

Reducing Emision from Deforestration and Forest Degradation (REDD) adalah kesepakatan global yang muncul pada COP 13 di Bali tahun 2007. COP sendiri merupakan singkatan dari Conference of the Parties yakni pertemuan tahunan kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim. Tahun 2010 saat saya menulis untuk majalah SILO, program REDD baru akan melakukan persiapan pelaksanaan pilot project yang salah satu wilayahnya adalah Sulawesi Tengah.

Dari tugas menyusun Fokus Utama saat itu, saya mulai berpikir bahwa Perubahan Iklim memang nyata. Philip Shabecoff wartawan senior New York Times berhasil menggambarkan suasana KTT Bumi di Rio de Jeneiro, Brazil tahun 1992. "Presiden Amerika George Bush berdiri hanya beberapa kaki dari Fidel Castro, pemimpin revolusioner Cuba. Dua musuh bebuyutan itu berusaha menghindari kontak mata saat Bush berjalan menghampiri podium untuk berpidato."  tulis Chabecoff yang juga saya tuangkan dalam majalah SILO.

Pada COP 13 di Bali tahun 2007, melalui perdebatan yang alot akhirnya negara-negara maju mau menggelontorkan dana besar yakni sekitar 30 miliar dollar untuk program mitigasi dan adaptasi di negara berkembang. Itupun rencananya akan meningkat menjadi 100 miliar dollar pada tahun 2020. Terakhir saya membaca berita bahwa pada Agustus 2020 Indonesia mendapat pendanaan senilai USD 103,8 juta dollar dari Green Climate Fund (GCF) atas proposal REDD

Majalah SILO edisi 39 Sept 2010

Perubahan Iklim tidaklah bisa dihindari, ia adalah proses alami bumi sebagaimana bumi jutaan tahun lalu pernah dipenuhi es dan jutaan tahun sebelumnya pernah panas membara. Namun Perubahan Iklim akan menjadi malapetaka saat terjadi dalam waktu singkat, tidak sewajarnya. Penyebab utama percepatan ini adalah aktifitas manusia yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.

Dan jika ini tidak dicegah maka ancaman terbesar sedang mengintai peradaban manusia, cuaca menjadi tidak stabil, cuaca panas, badai dingin, kekeringan dan banjir yang ekstrim akan bermunculan. Negara-negara yang dataranya rendah seperti Maladewa terancam tenggelam karna salju yang terus mencair. Akan banyak wilayah yang gagal panen, akan banyak serangan hama yang belum ada sebelumnya. Hewan-hewan akan berpindah atau mati karna tidak cukup waktu untuk beradaptasi dengan iklim yang berubah secara cepat.


Kira-kira seperti itulah kesimpulan dari tulisanku di majalah SILO dan pembacaanku tentang Perubahan Iklim saat itu. Kita mesti melakukan sesuatu kalau kita tidak ingin terjun ke jurang kepunahan.

Namun segalanya berjalan dengan normal, waktu berputar dan Perubahan Iklim pun tidak lagi menjadi momok. Berita suhu dingin ekstrim yang melanda Eropa hingga Rusia tahun 2012 cukuplah sebagai pengingat bagi saya bahwa gejala Perubahan Iklim terus bermunculan. Ekspresi saya tidak lebih dari prihatin meskipun cuaca ekstrim itu memakan korban ratusan orang meninggal. 

Begitu pun saat gelombang panas Australia selama 4 hari di pertengahan Januari 2014 dan 167 orang meninggal di negara bagian Victoria (Australia) saat itu. Lalu gelombang panas tahun 2019 di berbagai belahan dunia. Prancis saja mengakui ada 1.500 warganya yang meninggal dunia akibat gelombang panas tahun itu.

Di pengujung tahun 2019 terjadi kebakaran dahsyat di hutan Australia. Kebakaran ini berlangsung hingga menyeberang tahun 2020. Menghanguskan lebih dari 18 juta hektar hutan dan menewaskan 451 orang. Kebakaran ini oleh Rural Fire Service disebut sebagai kebakaran hutan paling buruk dalam ingatan. Saya terkejut, berbela sungkawa, dan berempati dengan level yang sungguh-sungguh, lalu kemudian semuanya terlupakan.

Saya sadar bukan hanya saya yang melakukan aksi serupa: percaya akan bahaya Perubahan Iklim namun memutuskan secara untuk tidak melakukan apa-apa. Ada jutaan orang di seluruh dunia yang berada di posisi yang sama, entah karna alasan bingung mau mulai dari mana atau putus asa dengan perilaku orang lain yang skeptis. Apapun itu, saya harus mengatakan bahwa ini sebuah Ironi peradaban manusia yang paling Epik. Sadar situasi tapi tidak melakukan apa-apa.

Lalu muncullah seorang Greta Thunberg, gadis 15 tahun asal Swedia yang menjadi viral karna tidak mau masuk sekolah setiap hari Jumat untuk melakukan aksinya di luar gedung Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat) dengan papan bertuliskan Skolstrejk för klimatet atau "gerakan mogok sekolah untuk iklim."


Apa yang dialami Greta selanjutnya adalah Ironi yang lebih Epik lagi dari sekedar ironi yang saya alami di atas. Ironi itu akan saya bahas di tulisan selanjutnya: 


___
Desa Kaleke 12 Januari 2021
Gambar dari sini dan sini dan sini
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment