Apa jadinya jika di siang bolong di acara pesta kawin anak kepala dusun, seorang bernyanyi lagu Pelangi Di Matamu milik Jamrud?
Bisa dipastikan suasana akan sangat membosankan, yang siksa adalah keluarga besar kedua mempelai, ibu-ibu, mama rampa yang sudah menyiapkan lagu Via Vallen, Ayu Ting-ting, atau setidaknya Evi Tamala sedari pagi tadi.
Kondisi ini mirip dengan politik nasional hari ini. Narasi politik kian hari kian membosankan. Tidak asik, jauh dari kata seru, dan rendah kadar lucunya.
Oposisi membangun narasi yang sama sekali tidak menyentuh pokok masalah. Sementara yang pro pemerintah tak kalah Oon-nya, berdiri gagah dengan logika counterattack yang sayangnya juga bergoyang seiring lagu Jamrud tadi.
Kuncinya ada di oposisi, karna akun pro pemerintah ini saya lihat hanya merespon serangan dari oposisi. Jadi lagu apapun yang oposisi memainkan, mereka akan menari dalam irama itu. Kalau mau suasana ini asik, oposisi harus cerdas pilih lagu.
Yang dimainkan selama ini masih saja diseputar Kriminalisasi Ulama dan pemerintah menzalimi ummat. Ini memang efektif memainkan emosi massa, tapi tidak akan berdampak perubahan apa-apa, kenapa? Karna ada ribuan ulama di negeri ini yang aman-aman saja, aktifitas dakwah dan pengajianya tidak terganggu, jadi narasi Kriminalisasi Ulama dengan sendirinya gugur. Buktinya yang demo Kriminalisasi Ulama cuma yang itu-itu saja, dan ulamanya tetap ditangkap kalo unsur pidananya terpenuhi.
Lagu kedua, bahwa pemerintah menzalimi ummat Islam. Ini juga tidak akan efektif karna di Indonesia justru ummat Islamlah yang paling bebas bergerak, cara berislam di Indonesia justru lebih bebas dari Negara di Timur Tengah. Buktinya, cuma di Indonesia jalanan umum bisa ditutup hanya karna pengajian komunitas, di Timur Tengah hal itu tidak dibolehkan.
Cuma di Indonesia masjid bisa memutar pengajian dengan volume keras jauh sebelum azan, di Turki yang dipimpin Erdogan, toa masjid berbunyi hanya saat azan saja, tidak ada pengajian volume keras di waktu-waktu sebelum shalat, apalagi subuh. Cuma di Indonesia tokoh agama bebas memaki pemerintahan yang sah. Di Arab Saudi jangankan memaki, bahkan khutbah Jum’at saja wajib memakai text dari Kerajaan. Semua kenyataan itu membuat lagu “menzalimi ummat” tidak laku di Indonesia.
Ada juga lagu lain seperti Kebangkitan PKI atau soal utang
luar negeri. Isu PKI sudah berkali-kali digulirkan dan selalu gagal, tapi anehnya
masih juga dipakai. Saya jadi bertanya, tidak adakah tim oposisi yang lebih
kreatif mengolah isu. Hal penting yang melemahkan isu ini, pertama secara ril,
tidak ada lagi ajaran komunis yang hidup hari ini. Di China, Russia, Cuba, Korea
Utara, dan Venezuela, ajaran komunis tidak bisa dijalankan, padahal Negara itulah
sumber utama penyebaran komunis.
Bagaimana mau komunis kalau konglomeratnya banyak, sementara ajaran komunis tidak membolehkan adanya orang kaya dan miskin. Terus dikatakan juga komunis anti agama, sementara Khabib Nurmagomedov berasal dari Russia. Jadinya isu ini gagal dan gagal terus. Isu Utang juga bernasib sama, yang dimunculkan bahwa pemerintah memiliki utang luar negeri yang besar. Padahal tidak ada satu pun presiden yang tidak berutang.
Di dunia internasional kenyataanya tidak ada Negara besar yang tidak berutang, rasio utang Indonesia bahkan lebih kecil dibanding utang Negara lain. Memainkan isu bahwa Jokowi bertangan besi? Sudahlah, ada Marsinah, ada Tragedi Tanjung Priok, Mei 1998, Widji Thukul, Munir, dan banyak lagi yang tak muat disebutkan. Apalagi narasi “Piye Kabare, isih penak jamanku to?” saya jamin itu akan aborsi bahkan sebelum terbuahi.
Lantas, dimana letak pemerintahan ini yang bisa dikritisi?
Banyak, tinggal mau dilihat, apakah tim pemikir oposisi ini mau pake itu atau tidak. Dan yang penting niatnya untuk kebaikan atau tidak. Karna kalau untuk kebaikan, mudah sekali melihat kesalahan yang perlu dikritisi.
Pertama, politik transaksional yang di periode awal Jokowi katakan
tidak akan menerapkanya, toh tetap diterapkan. Transaksional itu secara sederhana
bisa diartikan bagi-bagi jabatan sebagai bentuk balas budi karna sudah
didukung, atau sebagai imbalan kepada pihak oposisi kalau mau bergabung mendukung.
Indikator atau tanda paling mudah melihat politik
transaksional adalah susunan pejabat mentri. Jika mentri-mentri diisi orang
partai, maka sulit membantah itu bukan politik transaksional. Tapi kalau mentri
diisi orang yang memang ahli dibidangnya tanpa embel-embel partai, bisa
dibilang kadar transaksionalnya rendah. Diperiode awal kita bisa lihat ada
mentri Susi, ada Basuki di PUPR, ada Jonan, orang-orang yang tidak memikul
beban berat titipan pendukung di pundaknya.
Sekedar info, politik transaksional ini tidak salah dalam
politik Indonesia, semua presiden melakukan itu. Terus kenapa ini perlu ditagih?
Pertama karna Jokowi sendiri yang membuat komitmen tersebut, kedua, politik
transaksional ini berdampak buruk pada pengelolaan pemerintahan. Para menteri
akan didesak partai untuk menghidupi partai. Karna tujuanya untuk kembali
modal, maka yang diutus partai biasanya bukan ahli tapi orang yang jago mainkan
anggaran. Terbukti, dua mentri Jokowi baru-baru ini terjerat kasus korupsi. Kasus
itu mesti dikawal tuntas sebagai pembelajaran kedepanya.
Jika narasi ini dimainkan oposisi dengan niat baik untuk
negeri ini, mestinya ini bisa jadi kritikan keras buat Jokowi, sekaligus
pembelajaran buat masyarakat.
Kedua, soal utang, mestinya yang dikritisi bukan “Pemerintah
Berutang”, kita saja kalau mau kembangkan usaha biasanya cari kredit dari bank.
Yang mesti dikawal adalah, utang itu digunakan untuk apa. Jika kita utang di bank
hanya untuk beli motor keren, makan enak, dan traktir teman di café, terus bagaimana
cara menyicil pembayaran utang itu? Mestinya kan utang itu dipakai untuk
hal-hal positif yang bisa mendukung perekonomian. Pernahkah itu dikawal.
Ketiga, politik dinasti. Di periode awal, Jokowi sukses
mencerminkan bahwa dia tidak sama dengan presiden sebelumnya yang membangun
dinasti politik. Namun diperiode kedua hal ini ia lakukan. Lagi-lagi ini tidak
salah dalam politik Indonesia, semua presiden melakukanya. Tapi seperti politik
transaksional tadi, cara-cara ini bisa berdampak buruk dalam politik negeri
ini. Kita sudah cukup mual melihat dinasti di daerah seperti Banten, beberapa
propinsi di Sulawesi sendiri, hingga Kalimantan dan Sumatra.
Bayangkan di Banten tak kurang dari 13 orang keluarga Ratu
Atut menjabat posisi trastegis mulai dari Gubernur, Bupati, hingga anggota Dewan.
Itu pun belum termasuk keluarganya yang duduk di jabatan struktural di dinas.
Jokowi sudah mulai membangun itu lewat anak sulung Gibran di Solo dan menantunya Boby di Medan. Mestinya, Jokowi bisa menjadi pembeda saat dinasti di daerah tumbuh subur bahkan dari belasan tahun lalu.
Tapi kembali lagi, kita punya niat baik tidak mendorong perbaikan. kalau iya, maka narasi politiknya akan lebih asik, lebih seru, bermain di hal-hal substansi yang bisa mengajak orang lebih luas lagi agar kritis kepada pemerintah.
Kita tidak akan maju kalau oposisi hanya diisi orang yang mengajak memaki atas dasar sakit hati kelompok. Kalau seperti itu, maka tidak heran kalau lagu yang dimainkan itu-itu saja. Dan bisa dipastikan, akan gagal lagi.
Dan satu lagi tips buat oposisi, jika mengkritik, pliisss berhati-hati membandingkan dengan presiden lain, karna itu justru bisa meruntuhkan semua argument yang sudah dibangun. Misalnya mengkritisi kasus korupsi lalu diikuti dengan pernyataan, "lebih baik zaman Orde Baru." Itu fatal sekali.
Jika memang tidak ada yang bisa jadi pembanding, kita kritik saja itu
akan terlihat lebih elegan, dan mama rampa yang dari tadi menunggu giliran
menyanyi bisa ikut bergoyang juga.
____
Ruang Koffie Palu, 21 Desember 2020