Wednesday, April 1, 2020

COVID-19 WAKTUNYA REHAT




Hari Rabu 25 Maret teman-teman yang masih aktif di kampus dan berproses di Himpunan Mahasiswa Bahasa Inggris (HIMABRIS) FKIP Universitas Tadulako mengundang untuk kegiatan Latihan Kepemimpinan (LT3).

Malam itu salah satu diskusi seru adalah kritik Ideologi bersama peserta, panitia dan panelis. Ideologi yang mengemuka tidak lain dan tidak bukan adalah Komunisme dan Kapitalisme. Dua musuh bebuyutan yang tidak akan pernah bertemu ide. Seorang teman sepakat jika Komunisme dikatakan Ideologi karena mengatur secara detil dan runut segala hal dalam bermasyarakat, baginya itulah syarat ide bisa disebut Ideologi, sementara Kapitalisme hanya mengatur soal ekonomi saja. 

Menjelang akhir diskusi, setelah banyak pemaparan dan eksplorasi sana-sini, akhirnya seperti ada kesepakatan bahwa Kapitalisme sebenarnya juga merasuk secara halus dan mengatur semua hal dalam bermasyarakat dan bernegara. Untuk itu ia bisa dikatakan ideologi yang mengatur segala sesuatu secara sangat halus bahkan tak terasa.

Tema diskusi malam itu jauh dari settingan konteks COVID-19. Itu murni keinginan agar mereka yang lulus LT3 setidaknya bisa membaca Ideologi besar yang mengatur dunia dan dari situ mereka bisa sedikit memahami bagaimana dunia bekerja. Meskipun esok harinya Sulawesi Tengah mengumumkan kasus positif COVID-19 pertama.

Belum sampai seminggu diskusi itu berakhir, saya kemudian menonton video Rania Khalek seorang Jurnalis Amerika dalam tweet akun @inthenow pada 27 Maret. Video ini kemudian di tampilkan dalam akun Cerdas Geopolitik bersama subtitle bahasa Indonesia.



Pada intinya Rania Khalek ingin mengatakan bahwa Amerika terjebak dalam sistem Kapitalisme dan neo liberalisme yang ia buat dan promosikan sendiri. Menurutnya kondisi Amerika yang tidak mampu menyediakan perlengkapan kesehatan bagi tenaga medis dalam perang menghadapi COVID-19 karena negara tidak memiliki wewenang mengatur pasar dan mengatur produksi.



Negara tidak punya wewenang untuk memproduksi masker dan alat pelindung yang dibutuhkan tenaga medis. Memproduksi saja tidak berwenang, apalagi memaksa perusahaan untuk produksi masal. Hal itu tidak ada dalam kamus Kapitalisme dan Neoliberalisme.

Konon menurut Adam Smith (tokoh utama Kapitalisme), ada invisible hand yang akan mengatur semua kegiatan ekonomi yang akan berujung pada kemungkinan terbaik transaksi yang menguntungkan semua pihak baik konsumen maupun produsen (industri/perusahaan). Negara dilarang untuk mengatur dan mencampuri urusan pasar. inilah sebenarnya konsep yang banyak disebut orang dengan Pasar Bebas. Pasar akan mencari jalan terbaiknya sendiri, seperti kutipan mahsyur dalam film-film Hollywood “Life will always find its own way”. Seperti itulah kira-kira harapan dari Adam Smith.

Sayangnya, Kapitalisme hanya fokus pada kegiatan ekonomi yang bercita-cita mewujudkan kesejahteraan. Aspek sosial dan kenegaraan lain hanya instrumen saja, tujuan akhirnya kesejahteraan. Kesejahteraan ini di kemudian hari dipersempit jadi “kesejahteraan bagi segelintir orang”. Kapitalisme tidak tertarik memikirkan kondisi buruk, darurat, dimana manusia dan kemanusiaan terancam. Nilai-nilai luhur dan norma-norma tidak akan menarik bagi Kapitalis selagi nilai itu tidak mendukung kesejahteraan. 

Kondisi Amerika saat ini mengalami kekurangan alat pelindung kesehatan bagi dokter dan tenaga medis. Amerika yang diakui sebagai negara terkaya di muka bumi, dokternya harus memakai kacamata tenis karena tidak punya kacamata medis yang cukup, tenaga medis bahkan mengenakan plastik sampah sebagai pakaian pelindung tambahan untuk melawan virus.

Dalam kacamata Komunisme Marx, Kapitalisme memang tidak akan pernah mensejahterakan dunia, atau mungkin lebih tepatnya tidak pernah berniat mensejahterakan umat manusia. Saat diskusi LT3 HIMABRIS itu, dijelaskan bahwa Komunisme adalah konsep bersama, pergerakan bersama umat manusia untuk saling mensejahterakan dan saling memenuhi kebutuhan. Gerakan ini tidak terbatas negara, agama, ras, warna kulit, atau apapun. Semua manusia dihimpun di bawah kepemimpinan Diktator Proletariat atau bahasa halusnya Kepemimpinan Kolektif. Sederhananya mungkin bisa kita dengar dalam lagu Imagine punya John Lennon yang terkenal itu.

Dalam diskusi malam kamis itu juga muncul Ideologi alternative yakni Ideologi Islam yang kebetulan malam itu diwakili oleh tafsiran Taqiyuddin an Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir Internasional. Bahwa dalam Islam diperbolehkan adanya privatisasi produksi (perusahaan pribadi) yang ditolak oleh Komunisme, namun hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak boleh di perjual-belikan (hal yang sama dalam konsep Komunisme).

Mirip konsep Komunismenya Marx yang menghilangkan semua negara, konsepnya Taqiyuddin juga menghilangkan Negara, semua akan berada dalam naungan ke-Khilafah-an. Sayang diskusi ini tidak mendalam karna keterbatasan literature.

Bagi saya pribadi baik Komunisme maupun Khilafah Hizbut Tahrir masih menjadi sesuatu yang Utopis. Negara adalah sebuah keniscayaan, sulit bagi saya membayangkan seluruh dunia dipimpim oleh satu orang Diktator Proletar atau tunduk pada seorang Khalifah. Seperti juga usaha tokoh kartun Pinky and the Brain yang selalu gagal menguasai dunia.


Meski begitu saya percaya bahwa Kapitalisme yang saat ini menghipnotis dunia telah gagal, contoh nyata adalah COVID-19 yang disampaikan oleh Rania Khalek. Dalam hal ini, beberapa negara yang berhaluan komunis (meskipun tidak memenuhi syarat untuk dikatakan komunis) lebih berhasil menangani serbuan virus ini. Sebut saja Cuba, China, atau Venezuela. Cuba bahkan telah mengirim teknologi dan dokternya ke China saat di awal merebaknya virus ini. Saat itu hampir semua negara berpaling bahkan mencibir China.

Jika kesejahteraan adalah indikatornya, maka Kapitalisme harus mengaku bahwa ia telah gagal, bahkan jauh sebelum COVID-19 muncul. Di awal masa kepemimpinanya Jokowi dalam konferensi Asia Afrika tahun 2015 juga pernah menyatakan “Bank Dunia, IMF, dan ADB gagal mensejahterakan dunia” dan "Berharap solusi kepada lembaga keuangan ini adalah pola pikir yang usang". Meskipun belum jelas kemana arah Indonesia jika dua lembaga finance dunia itu ditinggalkan, itu tetaplah tindakan berani di hadapan 29 pemimpin negara dan 106 delegasi seluruh dunia. 


Dalam situasi ini maka menarik untuk mengulik pernyataan pimpinan Hizbullah, Hasan Nasrallah belum lama ini bahwa COVID-19 ini akan membentuk tatanan dunia baru. Memang menarik memprediksi apa yang akan terjadi setelah pandemic global ini selesai. Saat ini China begitu agresif menarik teman baru dari blok lawan khususnya di Eropa. Amerika awalnya bertindak pasif, duduk santai sambil memantau perkembangan “Api” yang menjalar kesegala arah, sampai ia sendiri panik karna “Api” ternyata sudah sampai ke ruang tengahnya.

Bagaimana struktur baru geopolitik nantinya. Bagaimana situasi Timur Tengah pasca pandemic ini. Apakah kejayaan teori Invisible Hand akan berakhir, apakah ajakan Jokowi untuk membentuk poros ekonomi baru akan disahuti, atau justru Bank Dunia dan IMF akan memanen klien baru seperti saat pertama mereka didirikan seusai Perang Dunia 2. Saat itu ekonomi global hancur, banyak negara berhutang, dan jadilah dua lembaga keuangan ini rentenir terbesar dalam galaxy Milky Way kita.


Menghadapi pandemic ini dunia memang melakukan rehat sejenak. Aktifitas ekstraktif berhenti, polusi udara menurun drastis, dan mungkin negara-negara akan punya waktu untuk berpikir dan mulai melihat kembali bahwa beberapa sistem ekonomi dan sistem sosial yang disangka kuat ternyata sangat rapuh.

Selamat rehat…
___
Kalukubula, 1 April 2020

Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment