Akhir-akhir ini puisi “Ibu
Indonesia” karangan Sukmawati Soekarno Putri memenuhi semua sudut media,
baik itu media sosial, media online, media cetak, maupun media elektronik.
Penuh, sesak. Tidak ada ruang untuk bernafas. Saya pun memutuskan untuk
membahasnya, dari pada jadi bisul yang nyut-nyut.
Hal pertama yang saya tangkap dari
fenomena ini adalah, banyak orang yang mendadak jadi ahli puisi. Banyak yang
memplesetkan puisi ini, banyak yang membuat vlog di youtube yang menentang,
banyak juga yang membuat puisi tandingan.
Puisi kok ditanding-tandingkan.
Yang paling lucu, saya terima pesan
WA dari seseorang yang menuduh bahwa si Sukmawati putri seorang proklamator itu
ternyata plagiat, menjiplak puisi Irene Radjiman, tak lupa dengan kalimat
penutup "bagikan informasi ini agar semua tahu..."
Ya Allah, mau jadi apa ummat?
Pertama saya ingin mengatakan Puisi
itu tidak bisa dipisahkan dari konteks pengarangnya dan konteks situasi dimana
puisi itu dibuat. Sukmawati adalah putri dari seorang proklamator yakni
Soekarno yang pemikirannya terkenal dengan penyatuan Indonesia. Mempromosikan
budaya dan nilai luhur nusantara hingga ke forum PBB.
Saya melihat Sukmawati dari bingkai
semangat ayahnya tersebut. Dalam klarifikasinya, Sukmawati menyatakan bahwa
puisi ini ia buat untuk merespon situasi dimana pengetahuan kebangsaan semakin
pudar dikalangan generasi. Menumbuhkan kembali kesadaran agar generasi tidak
melupakan identitasnya sebagai putra putri nusantara.
Dalam konteks situasi yang
melatarbelakangi munculnya puisi tersebut, saya melihat Sukmawati merespon
meningkatnya isu agama dan keinginan untuk mendirikan negara khilafah. Puisi
ini dibuat di tahun 2006, di masa itu kitab Daulah Islam
karya Taqiyuddin an Nabhani pendiri Hizbut Tahrir sudah diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia. Konteks itulah yang saya lihat melatar belakangi kemunculan
puisi ini.
Bahwa puisi ini adalah cerminan
dari semangat seorang Sukmawati untuk menggugah generasi agar mencintai
Indonesia dengan berbagai nilai luhurnya. Pemakaian simbol agama Islam menurut
saya adalah cara Sukmawati untuk menetralisir tumbuhnya semangat mendirikan
Khilafah di bumi pertiwi.
Puisi ini menurut saya menyampaikan
pesan bahwa jika bicara Indonesia, maka semangat ke Indonesiaan lah yang harus
dikedepankan. Jika bicara hukum, maka UUD dan Pancasila lah yang mesti
dipegang.
Tapi kemudian puisi ini memicu
ketersinggungan dari ummat. Alumni 212 yang terkenal itu, turun kejalan
melakukan unjuk rasa. Di youtube banyak respon yang menghujat Sukmawati dengan
hujatan yang beraneka ragam. Padahal puisi ini dibuat tahun 2006.
Puisi sendiri adalah produk sastra
yang berbeda dengan prosa. Kalau prosa menggambarkan sesuatu dengan runut dan
gamblang, maka puisi menggambarkan sesuatu dengan caranya sendiri. Maknanya
tidak bisa diterjemahkan seperti kita mendengar pidato atau orasi di
jalanan.
Puisi muncul saat komunikasi
konvensional sudah tidak mempan, ketika kata sudah beku. Seperti mawar yang
diberikan seorang pecinta kepada sosok yang dicintai. Mawar adalah bahasa lain
yang ia gunakan saat kata-kata tak mampu lagi ia rangkai. Pada tingkat
ekstrimnya bahkan Puisi pun tidak lagi berharap ia bisa dipahami.
Puisi bukanlah karya ilmiah yang
maknanya terang benderang. Puisi adalah sastra yang memiliki kedalaman makna,
tidak hanya makna eksplisit (tersurat) tapi juga makna implisit (tersirat).
Sifat ini jugalah yang membuat ayat-ayat Al Qur’an kaya makna dan tak akan
pernah habis untuk dikaji.
Maka, menjadi aneh jika puisi dibalas
dengan logika orasi atau logika curhat anak sekolahan.
Misalnya potongan syair “Aku tak
tahu Syariat Islam” dibalas dengan kalimat “Kalau tidak tahu ya
belajarlah…”
Sebagian lagi mendadak jadi
penyair, membuat puisi balasan untuk menyerang pribadi. Puisi diperlakukan tak
ubahnya debat politik yang saling balas argument. Kalaupun puisi Sukmawati itu
dianggap menghina agamanya sendiri, mestinya pembahasannya harus dari kacamata
sastra juga. Bukan malah membahasnya secara liar dengan argumen dari
orang-orang yang tidak pernah membuat puisi, bahkan membacanya pun tidak
pernah.
Tapi di luar dari semua itu, saya
juga maklum bahwa di tahun politik seperti ini, semua hal bisa dijadikan cela
untuk menyerang. Semua isu bisa diputar kiri kanan untuk kepentingan pesta
politik yang semakin dekat. Dan kita tahu kemana arahnya semua ini.
Saya tidak bisa bayangkan jika para
penyair besar menelurkan karyanya di tahun politik seperti saat ini. Pasti akan
diserang habis-habisan.
Lihat saja beberapa potongan puisi
berikut:
selusin toga
me
nga
nga
seratus tikus
berkampus
diatasnya
dosen dijerat
profesor diracun
kucing
kawin
dan bunting
dengan predikat
sangat memuaskan
Puisi berjudul Doktorandus Tikus
karya Floribertus Rahardi tahun 1983 ini pasti akan dituding menghina institusi
Pendidikan.
Saudara-saudaraku
puisi adalah bau anyir keringat berjuta rakyat
puisi adalah
kehidupan mereka yang alot dan berat
adalah pikiran dan
tenaga mereka yang sekarat
puisi adalah darah
luka mereka yang muncrat
atau
Cukuplah ia – kata
seorang teman
Lahir dari angin
Tapi sahabat lagi mengklaim
-- syair ialah berak
Berak nasib
Orang-orang terpilin
Potongan puisi berjudul Sajak Luka Menganga
dan Syair Maling karya
Emha Ainun Najib ini pasti akan dituding menghina puisi dan sastra.
Sudah kubuang-buang
tuhan
Agar sampai ke yang tak terucapkan
Namun tak sekali ia sedia tak hadir
Terus mengada mengada bagai darah mengalir
Agar sampai ke yang tak terucapkan
Namun tak sekali ia sedia tak hadir
Terus mengada mengada bagai darah mengalir
Atau
Tuhan sudah sangat
populer
Nama-Nya dihapal luar
kepala
Sehingga amat jarang
ada orang
yang sungguh-sungguh
mengingat-Nya
Atau
Penyair pun bukan
Aku hanya tukang
Mengembarai hutan
Menggergaji kayu
Bikin ragangan
Mainan pesanan Tuhan
Puisi berjudul Kubuang-buang dan
Tuhan Sudah Sangat
Populer dan Penyair pun Bukan karya Emha Ainun Najib ini pasti akan dituding menghina tuhan.
Atau lebih sadis lagi puisi seorang
ulama besar berikut:
Aku bukanlah orang
Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah
orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah.
Sehingga kita dapat bertemu pada “Suatu Ruang Murni” tanpa dibatasi berbagai
prasangka atau pikiran yang gelisah.
Atau
Demi Allah, ketika
kau melihat Jatidirimu sebagai Yang Maha Indah, maka kau pun akan menyembah
dirimu sendiri.
Dua potongan puisi di atas jika
muncul hari ini pasti akan dihujat habis-habisan dan dibuatkan vlog balasan
dengan logika jalanan. Meskipun pemilik puisi tersebut adalah ulama besar
sekelas Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau sering
disebut Maulana Jalaluddin Rumi.
Begitulah jika waktu sudah memasuki
tahun politik, semua orang jadi sensitif dan latah. Saat seperti inilah puisi
jadi pelarian agar nalar kita sejenak istirah dari hiruk pikuk yang bisa
mengurangi kewarasan.
Untuk itu saya akan menukil satu puisi pendek dari budayawan favorit di kota kecilku Palu.
PAGI
Aku mencintai pagi, seperti cinta pagi menunggu matahari.
Selamat pagi
Pernahkah kita benar-benar menghayati 'selamat pagi' tidak sekadar
sebagai ucapan, tetapi juga sebagai kecupan?
Pagi ini, Kalau ada yang lebih berdusta dari diri, dia adalah koran pagi.
Jika ada yang lebih membakar dari matahari siang nanti, itu televisi, sampai malam hari.
Pagi ini, andai ada yang lebih bau dari tai, itu pasti PUISI.
Diambil dari buku puisi "Setiap Rindu Mungkin Diciptakan Tuhan dari Seekor Ulat Bulu yang Bermertamorfosa Jadi Kamu" karya Neni Muhidin yang dicetak tahun 2012.
Salam Sajak
___
Palu, 6 April 2018
Gambar dari screen HP
dan dari sini