Thursday, March 8, 2018

SEKALA NISKALA, PENGALAMAN NONTON SENDIRI


Memasuki ruang lobi XXI, saya langsung menuju tempat pemesanan tiket. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 2.31 siang. Lewat satu menit tak apalah, namanya juga Indonesia, pikir ku.

“Sekala Niskala mbak”

“Teaternya masih kosong ya mas,”

“Terus?”

“Mas mau ambil kursi yang mana?”

“Filmnya tetap main kan?”

“Iya, ada atau tidak ada penonton filmnya tetap diputar”

“Ok, baguslah, saya ambil yang paling belakang”

Saya pun melangkah memasuki koridor-koridor XXI yang mirip hotel itu, sampai di depan pintu Studio 2.

“Mbak, Studio 6 di mana ya?”

“Oh, di depan mas, di ruang lobi”

Maklumlah ini baru kali ke lima saya menonton di sini, dan selama itu pula saya tidak pernah nonton di Studio 6. Letak Studio 6 memang agak berbeda dengan studio lain. Kalau studio lain harus masuk koridor-koridor yang bikin bingung itu, pintu masuk studio 6 berada di ruang lobi.

Saya pun masuk.

Dan memang benar, ruangan studio kosong melompong. Dalam ketersesatanku tadi saya berharap ada penonton lain yang masuk duluan, tapi ternyata tidak. Saya lantas menaiki tangga menuju kursi pesanan, A7 paling belakang. Ini mulai menarik, pikirku. Tas punggung saya letakkan di kursi, dan saya memilih duduk di karpet dan bersandar di dinding tepat di ujung lorong paling atas.

Lampu dimatikan, film pun dimulai.

Dalam 10 menit pertama saya berpikir, “Untunglah saya tidak mengajak teman,” saya tidak bisa banyangkan kalau saya harus berempati dengan ketidaknyamanan mereka dengan film ini. Jelas konsentrasiku akan teralihkan saat mereka mulai bergerak tidak nyaman apalagi saat mereka mulai menghidupkan handphone.

Syukurlah itu tidak terjadi. Berempati di studio teater adalah sebenar benarnya horror.

Sekala Niskala bercerita tentang hubungan emosional dua saudara kembar yang sangat mesra. Film ini mengambil latar Bali, berbahasa Bali, dan olehnya bercitarasa sangat Bali. Menurut saya ini masuk dalam kategori film Mahal Dialog, layaknya film Wiji Thukul Istirahatlah Kata-Kata atau film-film Jepang yang serius.

Dan seperti umumnya film mahal dialog, visual eksplorasinya adalah mimik, gesture, dan emosi para pemain. Selebihnya, cara pandang penonton memaknai scene demi scene yang bergulir penuh tanda tanya. Film seperti ini sangat langka kita dapatkan dilayar-layar TV, sebab disana bahkan pikiran atau khayalan para pemain pun harus dijelaskan oleh suara narasi yang entah datangnya dari mana.

Ada beberapa hal yang menarik dalam film berdurasi 86 menit ini, pertama, Kamila Andini, sang sutradara sukses menggambarkan kepiluan tanpa mengekploitasi air mata. Jika umumnya film Indonesia harus menunjukkan air mata untuk mengajak penonton sedih, maka film ini adalah pengecualian. Seperti film I am Sam, tak perlu air mata untuk mengundang air mata. Kamila seperti menakar setiap scene dengan pas agar tidak terasa berlebihan, tapi sukses menunjukkan drama ceritanya.


Hal menarik lain adalah Kamila dengan sabar dan teliti membatasi cerita hanya dalam sudut pandang Tantri, seorang anak perempuan yang sangat ingin saudara kembar laki-lakinya kembali sehat. Kamila menahan diri untuk tidak masuk dalam kaca mata orang dewasa. Semua konflik kebatinan yang melanda keluarga kecil ini diteropong melalui mata Tantri.

Cara pandang ini kembali mengingatkan saya pada Novel karya John Grisham berjudul A Painted House atau Rumah Bercat Putih dalam versi Indonesianya. Apa yang dilakukan Kamila dalam memotret sepotong kisah hidup di pedesaan Bali, mirip dengan apa yang dilakukan John Grisham dalam mengangkat konflik hidup di lahan pertanian kapas di Arkansas. Sama-sama memakai kaca mata seorang anak.



Seorang teman - yang namanya tak boleh disebut - berkomentar setelah tahu bahwa saya menonton film ini sendiri tanpa ada penonton lain.

“It’s all about Balinese” katanya

Benarkah?

Kamila Andini dalam pandangan saya, ingin menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki cara pandang sendiri dalam melihat kehidupan. Seberapa modern-nya kehidupan di luar sana, Indonesia tetap memiliki cara sendiri, kearifan sendiri, nilai-nilai sendiri dalam memaknai hidup. Bali hanyalah sebuah etalase. Toh perihal mistis ada dalam setiap sendi hidup masyarakat Indonesia.

Pertanyaannya, apakah Kamila berhasil menyampaikan pesan-nya kepada penonton?

Entahlah, kalau film ini diibaratkan puisi, maka penulis hanya ingin mengekspresikan perasaannya, penontonlah yang memaknainya. Dan penonton telah memaknainya dengan penghargaan Tokyo Filmex, Best Youth Film di ajang Asia Pasific Screen Award, dan Grand Prix di Festival Film Berlin, Jerman.

Tapi yang lebih penting dari semua itu, saya ingin bilang:

“Angle tarian bulan-nya, dapat skali…”

Dan

“Scene tarian kera-nya… kurang ajar skali… tisu mana tisu…”

Untung saya menonton sendiri


___
Palu, 8 Maret 2018
Gambar koleksi pribadi dan dari sini
Comments
0 Comments