Rohingya
Akhirnya dibahas juga
Mau tidak mau, karena media sosial sementara baper-bapernya
dengan isu ini.
Tak jauh beda dengan isu Suriah, Yaman, Turki, dan wilayah
lain yang begitu cepat mendorong kita untuk mendandani foto profil dengan “Pray For…” atau "Save..." Satu kesamaan
dari reaksi cepat ini adalah sentimen agama. Dan memang sudah seperti itu tabiat kita, apa boleh
bikin.
Saya pun terdorong membahas Rohingya atau juga disebut Rakhine
karena hukum aksi-reaksi itu. Di facebook misalnya, ada banyak foto, artikel,
dan berita yang dishare terkait Rohingya dan diikuti komen-komen berbagai rasa. Manis, asam, asin
sampai pahit. Yang mengharukan adalah, pernyataan atau penarikan kesimpulan yang terlalu dini.
Sebagian mendesak pemerintah untuk memutus hubungan diplomatik dengan Myanmar (Burma) dan mengusir duta besarnya, sebagian lagi mengambil kesempatan promo Khilafah sambil menyeru jihad dan perang terbuka.
Di tengah hilir mudik yang ramai ini, saya terkesan dengan pernyataan Menteri Luar
Negeri, Retno Marsudi bahwa “Situasi di Myanmar sangat kompleks,” artinya butuh
analisa mendalam agar solusi yang dihasilkan tepat sasaran.
Myanmar adalah negara berdaulat yang harus dihormati. Meskipun demokrasinya belum semaju Indonesia, tapi kita tentu tidak bisa seenaknya keluar masuk dan mencampuri urusan negara mereka. Kita hidup di dunia internasional yang punya aturan main. Kalau tidak mau menuruti aturan main, tinggal di hutan saja. Begitu kira-kira analoginya.
Myanmar adalah negara berdaulat yang harus dihormati. Meskipun demokrasinya belum semaju Indonesia, tapi kita tentu tidak bisa seenaknya keluar masuk dan mencampuri urusan negara mereka. Kita hidup di dunia internasional yang punya aturan main. Kalau tidak mau menuruti aturan main, tinggal di hutan saja. Begitu kira-kira analoginya.
Tapi apa pun itu, kekerasan kemanusiaan sudah terjadi, dan memang harus ada yang
bertindak. Saat ini Menteri Retno telah berangkat ke Myanmar untuk melakukan
dialog dengan pemerintah Myanmar. Perlu mungkin ditahu bahwa tahun lalu Indonesia adalah negara pertama yang
bereaksi terhadap kekerasan di Rohingya, dan sekarang Indonesia
juga menjadi negara pertama yang diberi akses untuk berdialog oleh pemerintah
Myanmar.
Menurut Jokowi yang konon lambat itu, awal tahun 2017 ini Indonesia sudah mengirim 10 kontainer
makanan dan obat-obatan untuk Rohingya, Indonesia juga telah membangun sekolah
di sana. Oktober mendatang pemerintah malah sudah berencana pembangunan
rumah sakit di wilayah Rohingya.
Retno yang semasa kuliah dulu konon sering mendaki gunung, mengatakan, saat ini yang bisa dilakukan pemerintah
Indonesia adalah meminta pemerintah Myanmar untuk mengembalikan kondisi
keamanan di Rakhine State (maksudnya Rohingya). Kedua, tidak menggunakan kekerasan. Ketiga,
mengingatkan kewajiban pemerintah Myanmar untuk melindungi semua umat terlepas
dari etnisitas dan agamanya. Keempat, pemerintah Myanmar perlu membuka akses
bantuan kemanusiaan.
Itu masih langkah awal. Langkah selanjutnya adalah
melakukan langkah diplomasi untuk mencari solusi jangka panjang bagi masa depan warga Rohingya. Ini bagian
sulitnya.
Memahami masalah Internasional, sebenarnya paling asyik
jika kita punya gambaran sedikit tentang geo-politiknya. Saya juga tidak
terlalu mengerti Myanmar, tapi tidak ada salahnya kita mengintip bocoran
informasi dan fakta yang ada.
Menurut Ito Sumardi, Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, masalah
di Negeri Emas ini sangat pelik.
Politiknya masih diwarnai kekuasaan diktator tangan besi (Junta militer) yang belum lama runtuh. Konflik bersenjata terjadi di mana-mana. Di Provinsi Kachin, provinsi terbesar, pemerintah Myanmar harus berhadapan dengan Kachin Independet Army dengan komandannya
yang mantan kolonel pasukan khusus China. Kachin ini daerah batu mulia dan
sumber mineral.
Di Irrawaddy, mereka menghadapi Wa Ethnic Army yang persenjataanya lebih modern dari militer Myanmar. Mereka punya pabrik senjata sendiri, punya helikopter sendiri, dan sumber dananya dari narkoba. Di wilayah Kokan, Myanmar juga menghadapi pasukan Khunsa yang menguasai golden triangle dengan persenjataan modern dari Thailand. Lalu di Shan State mereka menghadapi Shan Independent Army yang didukung oleh China.
Di Irrawaddy, mereka menghadapi Wa Ethnic Army yang persenjataanya lebih modern dari militer Myanmar. Mereka punya pabrik senjata sendiri, punya helikopter sendiri, dan sumber dananya dari narkoba. Di wilayah Kokan, Myanmar juga menghadapi pasukan Khunsa yang menguasai golden triangle dengan persenjataan modern dari Thailand. Lalu di Shan State mereka menghadapi Shan Independent Army yang didukung oleh China.
Begitulah gambaran situasi di Myanmar pada umumnya, pemerintahnya menghadapi lebih dari satu kelompok bersenjata dengan kemauan masing-masing. Di Rohingya
sendiri, selain menghadapi dua kekuatan bersenjata yakni ARSA yang Islam dan
Arakan Independen Army yang Budha, pemerintah Myanmar juga menyimpan Sesuatu di sana.
Apa itu? Minyak dan
gas
Menurut Forbes (majalah keuangan terkenal sejagad itu),
Myanmar memiliki cadangan minyak dan gas sebesar 11 triliun dan 23
triliun kaki kubik. Saya tidak tahu lokasinya dimana. Tapi fakta ini membuat perusahaan multinasional asing berebut
mendapatkan kesepakatan mengeksplorasinya.
Sedangkan bagi
Cina, Rohingya adalah pintu gerbang. Hampir 200 juta kubik kaki gas dan 400
ribu barel minyak per hari yang mengalir di tanah Rohingya melalui Jalur Pipa
Shwe dari laut Andaman sampai ke Cina. Minyak dan gas ini berasal dari Afrika dan Timur Tengah. Fakta bahwa Rohingya bukan penduduk asli Myanmar semakin menambah rumit situasi.
Jadi, masalah Rohingya ternyata tidak sesederhana konflik agama. Tidak sesederhana mengirim pasukan jihad untuk berperang, seperti yang dulu dilakukan oleh organisasi dengan bendera-Hitam-kadang-Putih itu untuk mendukung ISIS.
Jadi, masalah Rohingya ternyata tidak sesederhana konflik agama. Tidak sesederhana mengirim pasukan jihad untuk berperang, seperti yang dulu dilakukan oleh organisasi dengan bendera-Hitam-kadang-Putih itu untuk mendukung ISIS.
"Perang tidak semudah menebang batang pisang" kata orang tua di kampungku. Kita belum tahu persis akar persoalan Rohingya. Menghentikan kekerasan itu dulu yang penting. Menteri Retno telah terbang ke Myanmar, satu-satunya pihak
luar yang dibukakan akses oleh Myanmar untuk membahas masalah Rohingya.
Turki, PBB, mantan sekjen PBB Kofi Annan, Belanda, Bangladesh sampai telfon-menelfon, chatting-menchatting, stalking-menstalking dengan Menteri Retno hanya untuk membahas Rohingya. Begitu sentralnya posisi Indonesia. Bisa dibayangkan kalau hubungan diplomasi dengan Myanmar diputus dan duta besarnya diusir, seperti desakan kita-kita di medsos, maka Indonesia akan menutup satu-satunya harapan untuk berdialog dan justeru semakin memperburuk kondisi etnis Rohingya.
Turki, PBB, mantan sekjen PBB Kofi Annan, Belanda, Bangladesh sampai telfon-menelfon, chatting-menchatting, stalking-menstalking dengan Menteri Retno hanya untuk membahas Rohingya. Begitu sentralnya posisi Indonesia. Bisa dibayangkan kalau hubungan diplomasi dengan Myanmar diputus dan duta besarnya diusir, seperti desakan kita-kita di medsos, maka Indonesia akan menutup satu-satunya harapan untuk berdialog dan justeru semakin memperburuk kondisi etnis Rohingya.
Tapi bagi kita-kita yang masih memiliki niat suci, tulus, dan ikhlas untuk
mengambil jalan pintas ke Surga, tak perlu berkecil hati, rumor yang beredar
katanya FPI beberapa wilayah termasuk Sulawesi Tengah membuka pendaftaran relawan Jihad ke Rohingya. Semoga dilancarkan.
Dengar-dengar ada pembekalan dan pengisian tenaga dalam sebelum berangkat. Hehe...
___
Palu, 4 September 2017