Ada yang
menarik dari pernyataan Rocky Gerung, Dosen Filsafat Universitas Indonesia,
dalam forum Indonesian Lawyers Club (ILC) 29 Agustus 2017. Malam itu saya
bersama dua orang teman asyik nongkrong di warung kopi 212 Palu Barat.
Sebenarnya
yang menarik dalam forum itu adalah sosok Jonru Ginting. Sosok yang terkenal hidup
dari pernyataan-pernyataan kontroversinya di media sosial. Yang pernah berharap
ribuan followernya bisa menghadiri pelatihan penulisan yang ia buat, namun yang
datang hanya belasan orang.
Saya dan
teman nongkrong hanya senyum-senyum saat Jonru dan pembicara lain saling
serang. Namun saat Rocky Gerung berbicara kami mengangkat gelas kopi untuk
pindah ke meja kosong depan TV layar lebar di cafĂ© itu. “Ini malam yang mendebarkan untuk soal yang agak absurd” pernyataan
pembuka ini langsung menarik perhatian.
Rocky Gerung
berbicara sekitar 10 menit saat itu, dan mengeluarkan istilah “IQ 200 sekolam” yang sekarang jadi
trend baru hujat-menghujat. Setelah 10 menit selesai teman sepengopian langsung
menanggapi negatif pernyataannya. Praktis pembahasan ILC setelah itu tak lagi
penting. Kami lebih tertarik membahas pernyataan Rocky Gerung.
Sekilas
memang pernyataan dosen filsafat ini seperti kontra-produktif dengan semangat
memerangi hoax. Tapi saya melihat ada hal penting dibalik pernyataannya. Ada
early warning, bahwa masyarakat kita berada dalam kondisi mengkhawatirkan.
Kesadaran literasi yang rendah menjadikan orang dengan mudah menyimpulkan
sesuatu tanpa cross-check terlebih dahulu. Kondisi ini diperparah sikap
pemerintah yang secara tidak langsung melakukan indoktrinasi. Pernyataan seperti
“Pancasila Harga Mati” akan menjadi indoktrinasi jika diskusi ideologi selain
pancasila ditutup rapat.
Saya sepakat
dengan Rocky Gerung bahwa indoktrinasi justeru akan melahirkan banyak hoax.
Bahwa doktrin akan berubah menjadi dogma jika pemikiran kritis di sumbat.
Hasilnya, masyarakat tidak lagi mendahulukan analisa, sebab kebenaran sudah
diwakili oleh slogan, tokoh, dan kelompok. Masyarakat jadi sensistif dan cepat
tersinggung, menerima kritik yang mengarah ke kelompoknya.
Situasi ini
dengan mudah kita dapatkan di media sosial. Orang-orang dengan gampangnya
melayangkan hujatan, fitnah, dan kesimpulan-kesimpulan yang membuat haru mereka
yang melek literasi. Pihak yang mendapat serangan juga akan membalas dengan
cara yang sama, dengan logika dan argument yang dangkal. Orang begitu mudah
terpesona, secara bersamaan juga begitu mudah tersinggung.
Inilah Early Warning yang ingin disampaikan
Rocky Gerung saat menyatakan:
“Kita tidak dirangsang untuk mempertanyakan
doktrin, yang terjadi adalah paradox. Ingin literasi tapi indoktrinasi yang
dilakukan. Itu yang terjadi di masyarakat kita sehingga kita lebih cepat
bereaksi dengan kemarahan daripada dengan akal.”
Saya jadi
teringat pernyataan Kemal Attaturk, seorang teman yang sekarang meniti karir animasinya
di Malaysia. “Dalam setiap ideologi dan keyakinan itu akan tercipta polarisasi.
Ada kutub fanatis ekstrim ada kutub yang anti, kedua-duanya berbahaya,” begitu
Kemal menjelaskan saat saya dan teman bersilaturrahmi ke rumahnya di awal bulan
Syawal kemarin.
Saat Rocky
Gerung menyatakan:
“Masa ini harus kita lewati dan perbanyak produksi
hoax yang lebih bagus agar supaya ada control…”
Saya
memaknai bahwa hoax yang dia maksud adalah metafor, humor, parodi, dan satire. “Hoax”
seperti ini sering dibuat oleh Gus Dur, Gus Mus, dan banyak budayawan untuk
memancing masyarakat untuk berpikir, agar tidak terlalu tegang dan serius
menanggapi sesuatu. “Hoax” serupa juga menjelma dalam tulisan-tulisan nyeleneh
dalam mojok.co dan beberapa blogger lain yang berusaha mengajak masyarakat
untuk mengedepankan logika dan nalar ketimbang emosi, dan bisa sedikit santai
menghadapi hidup.
Baca Juga: BAPER BAPER ROHINGYA
Cerita Alan
Sokal seorang professor Fisika di New York University dan University College
London yang dikemukakan oleh Rocky Gerung di forum ILC saat itu benar-benar
informasi menarik bagi saya. Artinya Alan Sokal menjadikan hoax sebagai eksperimen
untuk menguji seberapa tinggi tingkat literasi para professor di jurnal Social Text. Hoax dijadikan humor untuk
menyadarkan orang akan pentingnya literasi. Dan para professor itu termakan
hoax yang diciptakan olen Alan Sokal.
“Tidak bisa
seperti itu. Hoax tetaplah hoax dan itu mesti dilawan.” Kata teman sepengopian saya.
Saya juga menyetujui itu, tinggal bagaimana cara melawan itu. Jika hoax
diperangi dengan indoktrinasi, maka yang terjadi hoax akan dibalas juga dengan
hoax. Kebencian akan berbalas kebencian.
Terlepas dari
dugaan keberpihakan Rocky Gerung kepada kubu politik tertentu, setidaknya dosen
filsafat ini telah memberi early warning bagi bangsa ini. Membenci secara
membabi buta sama bahayanya dengan mendukung secara membabi buta.
Penutup
pernyataan Rocky Gerung menurut saya sangat tepat:
“Solusinya gampang, naikan IQ anda dan hoax
akan turun. Terimakasih”
___
Palu, 6
September 2017
Gambar dari sini