Wednesday, September 6, 2017

PERINGATAN DINI IQ 200 SEKOLAM




Ada yang menarik dari pernyataan Rocky Gerung, Dosen Filsafat Universitas Indonesia, dalam forum Indonesian Lawyers Club (ILC) 29 Agustus 2017. Malam itu saya bersama dua orang teman asyik nongkrong di warung kopi 212 Palu Barat.

Sebenarnya yang menarik dalam forum itu adalah sosok Jonru Ginting. Sosok yang terkenal hidup dari pernyataan-pernyataan kontroversinya di media sosial. Yang pernah berharap ribuan followernya bisa menghadiri pelatihan penulisan yang ia buat, namun yang datang hanya belasan orang.

Saya dan teman nongkrong hanya senyum-senyum saat Jonru dan pembicara lain saling serang. Namun saat Rocky Gerung berbicara kami mengangkat gelas kopi untuk pindah ke meja kosong depan TV layar lebar di cafĂ© itu. “Ini malam yang mendebarkan untuk soal yang agak absurd” pernyataan pembuka ini langsung menarik perhatian.


Rocky Gerung berbicara sekitar 10 menit saat itu, dan mengeluarkan istilah “IQ 200 sekolam” yang sekarang jadi trend baru hujat-menghujat. Setelah 10 menit selesai teman sepengopian langsung menanggapi negatif pernyataannya. Praktis pembahasan ILC setelah itu tak lagi penting. Kami lebih tertarik membahas pernyataan Rocky Gerung.

Sekilas memang pernyataan dosen filsafat ini seperti kontra-produktif dengan semangat memerangi hoax. Tapi saya melihat ada hal penting dibalik pernyataannya. Ada early warning, bahwa masyarakat kita berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Kesadaran literasi yang rendah menjadikan orang dengan mudah menyimpulkan sesuatu tanpa cross-check terlebih dahulu. Kondisi ini diperparah sikap pemerintah yang secara tidak langsung melakukan indoktrinasi. Pernyataan seperti “Pancasila Harga Mati” akan menjadi indoktrinasi jika diskusi ideologi selain pancasila ditutup rapat.

Saya sepakat dengan Rocky Gerung bahwa indoktrinasi justeru akan melahirkan banyak hoax. Bahwa doktrin akan berubah menjadi dogma jika pemikiran kritis di sumbat. Hasilnya, masyarakat tidak lagi mendahulukan analisa, sebab kebenaran sudah diwakili oleh slogan, tokoh, dan kelompok. Masyarakat jadi sensistif dan cepat tersinggung, menerima kritik yang mengarah ke kelompoknya.

Situasi ini dengan mudah kita dapatkan di media sosial. Orang-orang dengan gampangnya melayangkan hujatan, fitnah, dan kesimpulan-kesimpulan yang membuat haru mereka yang melek literasi. Pihak yang mendapat serangan juga akan membalas dengan cara yang sama, dengan logika dan argument yang dangkal. Orang begitu mudah terpesona, secara bersamaan juga begitu mudah tersinggung.

Inilah Early Warning yang ingin disampaikan Rocky Gerung saat menyatakan:
“Kita tidak dirangsang untuk mempertanyakan doktrin, yang terjadi adalah paradox. Ingin literasi tapi indoktrinasi yang dilakukan. Itu yang terjadi di masyarakat kita sehingga kita lebih cepat bereaksi dengan kemarahan daripada dengan akal.”

Saya jadi teringat pernyataan Kemal Attaturk, seorang teman yang sekarang meniti karir animasinya di Malaysia. “Dalam setiap ideologi dan keyakinan itu akan tercipta polarisasi. Ada kutub fanatis ekstrim ada kutub yang anti, kedua-duanya berbahaya,” begitu Kemal menjelaskan saat saya dan teman bersilaturrahmi ke rumahnya di awal bulan Syawal kemarin.

Saat Rocky Gerung menyatakan:
“Masa ini harus kita lewati dan perbanyak produksi hoax yang lebih bagus agar supaya ada control…”

Saya memaknai bahwa hoax yang dia maksud adalah metafor, humor, parodi, dan satire. “Hoax” seperti ini sering dibuat oleh Gus Dur, Gus Mus, dan banyak budayawan untuk memancing masyarakat untuk berpikir, agar tidak terlalu tegang dan serius menanggapi sesuatu. “Hoax” serupa juga menjelma dalam tulisan-tulisan nyeleneh dalam mojok.co dan beberapa blogger lain yang berusaha mengajak masyarakat untuk mengedepankan logika dan nalar ketimbang emosi, dan bisa sedikit santai menghadapi hidup.



Cerita Alan Sokal seorang professor Fisika di New York University dan University College London yang dikemukakan oleh Rocky Gerung di forum ILC saat itu benar-benar informasi menarik bagi saya. Artinya Alan Sokal menjadikan hoax sebagai eksperimen untuk menguji seberapa tinggi tingkat literasi para professor di jurnal Social Text. Hoax dijadikan humor untuk menyadarkan orang akan pentingnya literasi. Dan para professor itu termakan hoax yang diciptakan olen Alan Sokal.

“Tidak bisa seperti itu. Hoax tetaplah hoax dan itu mesti dilawan.” Kata teman sepengopian saya. Saya juga menyetujui itu, tinggal bagaimana cara melawan itu. Jika hoax diperangi dengan indoktrinasi, maka yang terjadi hoax akan dibalas juga dengan hoax. Kebencian akan berbalas kebencian.

Terlepas dari dugaan keberpihakan Rocky Gerung kepada kubu politik tertentu, setidaknya dosen filsafat ini telah memberi early warning bagi bangsa ini. Membenci secara membabi buta sama bahayanya dengan mendukung secara membabi buta.

Penutup pernyataan Rocky Gerung menurut saya sangat tepat:
“Solusinya gampang, naikan IQ anda dan hoax akan turun. Terimakasih”
___
Palu, 6 September 2017
Gambar dari sini
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment