Tuesday, September 12, 2017

SECANGKIR KEMENANGAN BERNAMA SUN TZU


Saya kenal Sun Tzu lewat salah satu program di stasiun TV antara tahun 2000 sampai 2005. Saya lupa nama programnya, saya lupa stasiun TV-nya. Tapi sepanjang program itu, ada satu adegan yang saya selalu ingat saat mendengar nama Sun Tzu.  Adegannya begini:



Seorang Raja di China meminta Sun Tzu membuktikan kemampuannya menangani pasukan. Tapi syaratnya, pasukan itu adalah perempuan-perempuan cantik. Sun Tzu pun menyanggupi. Raja kemudian memerintahkan beberapa perempaun cantik, termasuk diantaranya selir-selir kesayangan raja.

Sun Tzu kemudian melatih mereka, melakukan beberapa formasi, dan menjelaskan jenis-jenis perintah. Setelah beberapa waktu, Sun Tzu mengumpulkan pasukannya di depan Raja. Sun Tzu kemudian memerintahkan untuk membentuk formasi, tapi para perempuan cantik ini malah tertawa geli. Sun Tzu kemudian berkata: "Instruksi yang tidak jelas dan tidak dipahami oleh pasukan adalah kesalahan Komandan." Ia lalu menjelaskan kembali maksud dari instruksinya.


Sehabis menjelaskan, Sun Tzu kembali memberi perintah, namun pasukan perempuan kembali tertawa geli. Sun Tzu kemudian berkata: "Instruksi yang tidak jelas dan tidak dipahami oleh pasukan adalah kesalahan Komandan." Ia lalu menjelaskan kembali maksud dari instruksinya.


Setelah beberapa kali dijelaskan tapi pasukan perempuan masih juga tertawa, Sun Tzu langsung mencabut pedang dan memenggal kepala beberapa orang perempuan termasuk selir kesayangan raja. Instruksi yang sudah jelas tapi tidak dilakukan adalah kesalahan pasukan yang tidak bisa ditolerir.


Raja terkejut, tidak pernah menyangka selir kesayangannya akan jadi tumbal Sun Tzu. Setelah itu, pasukan perempuan yang tersisa menunjukkan kepatuhan dan kedisiplinan tinggi, mengalahkan prajurit pria. Raja yang butuh seorang komandan yang ahli akhirnya mengangkat Sun Tzu menjadi komandan militernya.


Puluhan tahun setelah menonton acara TV tersebut, saya baru sepakat sepenuhnya bahwa Sun Tzu ternyata memang menarik. Kesimpulan itu saya dapatkan belum lama ini, saat secara tak sengaja meraih salah satu dari barisan buku di atas meja kerja seorang teman. The Art of War karya Samuel B. Griffith yang diterjemahkan secara tidak elegan menjadi “Seni Menipu ala Sun Tzu”.

Tidak jelas dalam buku itu kapan tepatnya Sun Tzu menulis catatan strategi perangnya. Yang jelas Sun Tzu berasal dari generasi yang menurut anak-anak sekarang, primitif dan kolot. Ia dari generasi yang bahkan belum bermimpi mengenal teknologi berbasis listrik. Kapan itu? Tahun 400-320 Sebelum Masehi. Sekali lagi SEBELUM MASEHI. Tapi yang mengejutkan strateginya seperti bukan berasal dari zamannya. Coba perhatikan pernyataan ini:

“Memenangkan seratus pertempuran bukanlah keahlian yang tertinggi. Menaklukkan musuh TANPA pertempuran, itulah keahlian yang tertinggi.”

Dari film-film peperangan kerajaan yang saya tonton, tidak pernah ada usaha untuk melakukan hal tersebut. Perang digambarkan sebagai kenduri pertumpahan darah. Sun Tzu berumur lebih tua dari cerita dalam film-film itu. Mestinya ia lebih beringas, lebih bar-bar, sebab ia hidup dalam masyarakat yang dianggap belum sepenuhnya beradab, jika memakai standar hari ini.

Dalam buku yang baru saja selesai saya baca itu, seorang ahli perang asal Inggris, B. H. Liddell Hart saja mengakui bahwa Sun Tzu jauh lebih jelas visinya dibanding pemikir militer modern seperti Clausewitz. Menurut Hart, Clausewitz bahkan lebih kuno dan ketinggalan zaman dibanding Sun Tzu dalam beberapa hal.

Sun Tzu tidak memandang fisik dan jumlah pasukan sebagai hal yang menentukan. Sun Tzu justeru menitik beratkan strategi pentingnya pada hal-hal yang bukan aspek teknis pertempuran. Menyerang pikiran musuh adalah langkah awal. Musuh harus dibuat bingung. Harus dikelabui agar perhitungan-perhitungannya meleset. Kemudian serang psikologinya. Ciptakan konflik internal, kacaukan rencananya, pisahkan ia dari sekutunya, buat dia dan pasukannya putus asa. Bisa jadi juga sebaliknya, buat dia jumawa dan merasa kuat agar ia lengah.

Untuk menjalankan itu, agen rahasia sangatlah penting, sebab informasi kondisi musuh akan jadi bahan untuk menyusun strategi selanjutnya. Strategi bagi Sun Tzu tidak boleh kaku, harus fleksibel mengikuti perkembangan kondisi musuh. Strategi yang kaku dan monoton menurut Sun Tzu adalah awal dari bencana.


 “Fleksibel seperti air yang menyesuaikan dengan kontur medan yang dilaluinya” kata pemilik buku yang saya baca. Harus diakui Sun Tzu adalah penari handal yang bisa mengikuti gerakan lawannya dan secara perlahan mengarahkan lawannya untuk mengikuti geraknya.

Membaca Sun Tzu saya seperti memiliki kaca mata baru yang bisa dengan jernih melihat pola-pola konflik hari ini. Setidaknya bisa memetakan mana yang gaya bertarungnya masih kuno, mana yang mengambil gaya Sun Tzu.

Dalam program TV tentang Sun Tzu yang saya tonton lebih dari sepuluh tahun tadi, secara jelas dikatakan bahwa “Seni Perang” Sun Tzu telah menjadi materi wajib dalam dunia militer barat.

Seorang penginjil Katolik mengenalkan Sun Tzu ke dunia Barat lewat buku terjemahannya yang dicetak di Paris tahun 1772. Penulis buku yang saya baca, mengatakan Napoleon sang penakluk dari Prancis mungkin sudah membaca Sun Tzu sebelum meraih kemashurannya. 

Negara-negara maju terutama pasca Perang Dunia II sampai saat ini jelas mengambil gaya Sun Tzu dalam mengatur konflik. Perang proxy yang semakin hari semakin trend terutama di Timur Tengah menurut saya adalah bentuk pengembangan dari gaya Sun Tzu.


Tapi dari semua rentetan perang modern yang terjadi, saya belum menemukan informasi adanya komandan perang yang bisa mencapai Keahlian Tertinggi seperti yang diungkapkan Sun Tzu: Menaklukan musuh TANPA pertempuran?

Saya tidak tahu apakah Sun Tzu sendiri pernah melakukan itu. Yang saya ketahui, lebih dari 900 tahun setelah Sun Tzu menulis strateginya, Muhammad membawa 10.000 pasukannya dari Madinah menuju Mekkah kota yang memusuhi dia. pemimpin Mekkah menyerah, Muhammad dan pasukannya menguasai kota tanpa penumpahkan darah setetes pun. Hal ini belum pernah terjadi di dataran Arab yang waktu itu dihuni oleh masyarakat yang kerap menyelesaikan masalah dengan darah.

Pertanyaan besarnya:
Mungkinkah Muhammad yang buta huruf itu pernah membaca Sun Tzu?

Entahlah.
Bagi saya Sun Tzu ibarat secangkir kemenangan yang ada di mejaku saat ini. Selebihnya hanyalah saran.

Ya, saran buat Ista agar sedikit lebih rileks. Sudah waktunya untuk angkat gelas Kopi siang ini. Saya yakin Sun Tzu pun akan menyarankan hal yang sama. Tenanglah, bukumu dalam keadaan sehat wal afiat.
___
Palu, 12 September 2017
Gambar dari sini dan sini
Comments
0 Comments