Sunday, April 7, 2019

APAKAH SAYA KEMBALI GOLPUT KALI INI



Sebelumnya saya berusaha menahan diri untuk menulis tema politik dalam blog ini menjelang pemilu. Segala kegilaan yang hiruk pikuk makin hari makin menguras kewarasan. Terlibat dalam kegilaan itu hanya akan menambah kacau struktur berpikir kita. Semua hal bisa dibolak balik dengan retorika pengecoh hingga sesuatu yang jelas menjadi samar.


Menghindar dari hiruk pikuk ini juga tidak semudah dibayangkan. Bolak balik logika hadir di setiap ruang sosial, membuat kita kadang gemas untuk berkomentar. Keinginan untuk tidak terpecahlah yang masih menguatkan tekad saya untuk menahan diri. Tak ingin berhadap-hadapan dengan teman-teman, yang saya tahu betul, mereka dasarnya orang baik, sebelum narasi-narasi ini membuat mereka agresif.

Lalu tibalah hari ini saya memutuskan untuk kembali menulis. Waktu pemilihan tinggal 10 hari lagi, yakni 17 April 2019. Ini kali pertama dalam sejarah negeri ini untuk memilih eksekutif dan legislative secara bersamaan. Meski begitu tak terdengar gaung pemilu legislatif, yang mendominasi justru pemilu eksekutif yakni presiden.

Sama seperti 5 tahun sebelumnya, sangat kurang tema visi misi yang dimunculkan dalam diskusi mulai dari elit politik hingga diskusi akar rumput. Yang ada malah mengumbar kekurangan lawan. Pasangan petahana ingin menunjukkan hasil kerjanya, pasangan yang lain mengusung isu agama yang menjurus ke tuduhan bahwa petahana anti agama. Maka ramailah isu agama digulirkan. Hal ini bukan tanpa sebab, tapi strategi ini sudah terbukti berhasil di Pilkada DKI Jakarta. Kesuksesan ini ingin diulang kembali dalam pilpres kali ini.

Terpancing dengan isu agama yang dimainkan lawan, Petahana pun mengikuti tabuhan genderang yang dimainkan oposisi. Maka digulirkanlah pula isu agama yang menangkis serangan oposisi. Sayangnya oposisi tidak siap dengan serangan balik. Mulai dari latar belakang keagamaan keluarga capres dan cawapres hingga tantangan mengaji. Oposisi kewalahan, hingga timnya meminta kepada semua pihak untuk berhenti menggunakan isu agama.


Hoax bermunculan, bukan hampir, tapi memang tiap hari di media-media social. Dan harus diakui produksi hoax termassif ada pada kubu oposisi. Lantas muncullah inisiatif golput sebagai alternatif pilihan bagi warga yang bosan dengan segala kegilaan ini.

Pilpres 2014 adalah saat pertama kali saya terlibat dalam pemilu.
Apakah kali ini saya akan kembali golput?
Tergantung…

Jika calon yang ada tidak menampilkan perbedaan mencolok, misalnya visi misi, rekam jejak, dan karakternya sama saja, maka kemungkinan saya masih tetap akan golput. Dikondisi ini siapa pun yang menang keadaan akan sama. Itulah kenapa sebelum 2014 saya tidak pernah memilih.

Tahun kemarin alasan utama saya memilih karena saya melihat ada perbedaan yang mencolok dari kedua calon dan itu bagi saya situasi genting.  Jika saya tidak memilih bisa jadi saya akan menyesal seumur hidup, sebab hasilnya akan menentukan kemana arah negara ini nantinya.

Dalam pertarungan kali ini situasi itu malah tambah mengkhawatirkan. Narasi-narasi yang dibangun menjelang kampanye sangat tidak sehat, hoax dan fitnah keji sudah melewati batas, politik identitas mengancam kehidupan berbangsa, ditambah lagi komposisi elit dan kelompok yang mengisi kedua kubu.


Jujur ini sangat mengkhawatirkan, seorang SBY pun mengungkapkan kekhawatirannya dalam sebuah surat yang ia tulis dari rumah sakit di Singapura. Saya membayangkan kekacauan apa yang bisa terjadi jika kepentingan kekuasaan lebih diutamakan ketimbang kepentingan berbangsa. Semua kekhawatiran ini cukup untuk jadi alasan melangkahkan kaki ke TPS.

Siapa pun pemenangnya, narasi ini harus diakhiri.

Pilpres 2014 lalu saya memilih Joko Widodo, dan kemungkinan pilpres kali ini saya akan kembali memilihnya. Mencari pemimpin sempurna yang bisa memuaskan semua keinginan bukan hanya sulit namun tidak mungkin. Bahkan jika seorang nabi diturunkan ke negeri ini pun tidak akan sanggup memuaskan semua keinginan rakyatnya. Tapi setidak-tidaknya kita memilih yang terbaik dari pilihan yang ada. Jika hal terburuk tetap terjadi setidaknya Tuhan tahu saya sudah berusaha mencegahnya.

Memilih 01 atau 02 bagi saya tidak masalah, itu hanya cara kita untuk mengungkapkan niat baik buat negeri ini.

Baca Juga: AKHIRNYA MEMILIH

Tentu golput yang saya maksud adalah kelompok yang tidak memilih sama sekali (Golongan Putih), bukan Golput definisi Rocky Gerung yang menyatakan Golput hanya ditujukan untuk petahana bukan untuk oposisi.

Tidak memilih sama sekali atau menunggu hadirnya pemimpin sempurna diakhir zaman menurut saya hanyalah kata lain dari ketakutan mengemban tanggung jawab peradaban. Bahwa kita dan para pemimpin saat inilah yang menarik gerbong dan menggerakkan peradaban hingga generasi selanjutnya hadir untuk melanjutkan.

Saya pribadi akan sangat bangga mengatahui bahwa sejarah mencatat peradaban negeri ini mulai bergerak kearah yang lebih baik hingga nanti tahun 2030, sebagai mana Standard Chatered memprediksi Indonesia menjadi kekuatan ekonomi ke empat dunia. Dan saya merasa terlibat di dalamnya.
___
7 April 2019
Jl. Teluk Tomini, Palu
Gambar: Koleksi Pribadi

Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment