Tidak banyak pilihan pada Pemilu Presiden kali ini, hanya dua kandidat pasangan calon. Nomor urut satu dihuni Prabowo-Hatta, nomor dua diisi Jokowi-JK. Mereka berduel, head to head, satu lawan satu. Ini kali pertama dalam sejarah pemilihan langsung Presiden. Dalam situasi seperti ini pemilih akan lebih fokus pada dua calon, sehingga menarik perhatian publik lebih besar.
Terlebih Pilpres kali ini menyuguhkan dua kandidat yang berbeda karakter dan latar belakang. Yang satu mantan militer dan birokrat, olehnya diasumsikan tegas. Yang lain berasal dari masyarakat sipil dan kerap turun lapangan, olehnya dikatakan sederhana dan merakyat. Yang satu disebut punya Grand strategy yang hebat, yang lain kaya akan pengalaman memimpin sipil. Situasi ini semakin menarik perhatian. Hanya ada dua pilihan jika tidak suka hitam anda harus pilih putih, jika tidak ingin putih anda harus pilih hitam.
Kondisi ini pula yang memaksa saya untuk menulis, melengkapi tulisan saya sebelumnya "Pemilu Presiden dan Adab Perang" yang mengkritisi kampanye hitam tidak mendidik dan mengancam demokrasi. Jika dalam tulisan sebelumnya saya tidak tegas memposisikan diri, maka kali ini saya terdorong untuk mempertegas keberpihakkan saya. Keputusan pribadi yang saya ambil akhir bulan lalu. Saya akhirnya memilih, setelah sebelumnya saya selalu takut memperpertanggung-jawabkan di hadapan masyarakat dan Tuhan.
Terus terang Euforia Pilpres memberi dampak yang sangat besar bagi saya. Terlebih setelah beberapa kali debat dan mencermati rekam jejak kedua kandidat.
Saat pilihan yang ada hanya dua, dan pilihan itu tidak hanya menawarkan harapan, namun juga kekhawatiran, maka saya memilih menolak semua kekhawatiran, menjauh dari semua kemungkinan buruk. Saya memilih belajar dari sejarah kelam negeri ini, dari pengekangan, pembodohan, pembungkaman, pembredelan, pemukulan, penculikan, pembunuhan. Saya tidak ingin lagi melihat kekuasaan yang dijalankan oleh intimidasi, ditegakkan oleh moncong senjata, dan dipertahankan oleh timah panas.
Baca Juga: Kursus Ego ala Jokowi
Alangkah indahnya saat Tim Büchi seorang teman dari Swiss berkata pada saya awal tahun lalu, “Tak ada kekuatan militer yang megah di Swiss, masyarakat hidup tentram bukan karena dipaksa oleh militer tapi karena kondisi sosial yang baik, dan saling menghargai.”
Negara yang di Indonesia dikenal dengan produk jam tangan dan merk Swiss Army-nya ternyata juga disegani oleh negara lain bukan karena militer tapi posisi tawar mereka yang kuat dan diplomasi yang apik.
Jika ketegasan dan harga diri bangsa masih diidentikkan dengan kekuatan militer yang super hebat, maka bersiaplah menjadi negara yang gandrung akan perang dan permusuhan. Indonesia sudah punya posisi tawar kuat di mata negara lain dalam hal ekonomi dan pasar, tanpa pendekatan militer kita sudah bisa mengambil keputusan penting dalam diplomasi.
Kita bisa melihat negara yang masih menekankan perhatian besar pada militer seperti Amerika, Israel, Russia, Iran, Korea Utara dan lainnya, mereka tak pernah lepas dari lingkaran peperangan, sebaliknya negara berkembang lain di sebagian Eropa yang jarang terlibat langsung dalam peperangan, dapat berkonsentrasi membangun masyarakatnya tanpa merasa takut akan diserang.
Baca Juga: Jokowi Refleksi Enam Bulan
Dengan berbagai pertimbangan saya akhirnya memilih kandidat yang lebih mengedepankan pembenahan mental bangsa, perubahan pola pikir, politik minim transaksi kepentingan, dan mengutamakan dialog dan diplomasi diatas pendekatan represi militer. Kali ini saya mesti bersepakat dengan Einstein yang menyatakan “Force is always attrack men of low morality”.
Jokowi-JK memang tidak mampu memuaskan semua kriteria yang saya inginkan, namun tidak memilih mereka berarti membiarkan kekhawatiran dan ketakutan saya mewujud dan saya hanya menonton. Sesuatu yang mungkin akan saya sesali seumur hidup.
Baca Juga: Anda Sadar Tidak Pak?
Akhirnya keputusan ini menjadi momen penting dalam hidup saya. Besok tanggal 9 Juli akan jadi kali pertama saya memutuskan memilih pada Pemilu. Bukan hanya itu, prediksi saya pilihan hitam-putih memaksa angka golput akan turun. Semoga apa yang saya pilih dapat saya pertanggungjawabkan dihadapan masyarakat dan Tuhan. Amin
___
Palu, 8 Juli 2014
Foto Ilustrasi: pemilu.tempo.co