Sebelumnya saya
berusaha menahan diri untuk menulis tema politik dalam blog ini menjelang pemilu. Segala kegilaan
yang hiruk pikuk makin hari makin menguras kewarasan. Terlibat dalam kegilaan
itu hanya akan menambah kacau struktur berpikir kita. Semua hal bisa dibolak
balik dengan retorika pengecoh hingga sesuatu yang jelas menjadi samar.
Menghindar dari
hiruk pikuk ini juga tidak semudah dibayangkan. Bolak balik logika hadir di setiap
ruang sosial, membuat kita kadang gemas untuk berkomentar. Keinginan untuk
tidak terpecahlah yang masih menguatkan tekad saya untuk menahan diri. Tak ingin
berhadap-hadapan dengan teman-teman, yang saya tahu betul, mereka dasarnya orang baik, sebelum narasi-narasi ini membuat mereka agresif.
Lalu tibalah
hari ini saya memutuskan untuk kembali menulis. Waktu pemilihan tinggal 10 hari
lagi, yakni 17 April 2019. Ini kali pertama dalam sejarah negeri ini untuk memilih
eksekutif dan legislative secara bersamaan. Meski begitu tak terdengar gaung
pemilu legislatif, yang mendominasi justru pemilu eksekutif yakni presiden.
Sama seperti
5 tahun sebelumnya, sangat kurang tema visi misi yang dimunculkan dalam diskusi
mulai dari elit politik hingga diskusi akar rumput. Yang ada malah mengumbar
kekurangan lawan. Pasangan petahana ingin menunjukkan hasil kerjanya, pasangan
yang lain mengusung isu agama yang menjurus ke tuduhan bahwa petahana anti
agama. Maka ramailah isu agama digulirkan. Hal ini bukan tanpa sebab, tapi
strategi ini sudah terbukti berhasil di Pilkada DKI Jakarta. Kesuksesan ini
ingin diulang kembali dalam pilpres kali ini.
Terpancing dengan
isu agama yang dimainkan lawan, Petahana pun mengikuti tabuhan genderang yang
dimainkan oposisi. Maka digulirkanlah pula isu agama yang menangkis serangan
oposisi. Sayangnya oposisi tidak siap dengan serangan balik. Mulai dari latar
belakang keagamaan keluarga capres dan cawapres hingga tantangan mengaji. Oposisi
kewalahan, hingga timnya meminta kepada semua pihak untuk berhenti menggunakan
isu agama.
Baca Juga: TEMAN DAN MUSUH DARI MASA LALU
Hoax bermunculan,
bukan hampir, tapi memang tiap hari di media-media social. Dan harus diakui
produksi hoax termassif ada pada kubu oposisi. Lantas muncullah inisiatif golput
sebagai alternatif pilihan bagi warga yang bosan dengan segala kegilaan ini.
Pilpres 2014
adalah saat pertama kali saya terlibat dalam pemilu.
Apakah kali
ini saya akan kembali golput?
Tergantung…
Jika calon
yang ada tidak menampilkan perbedaan mencolok, misalnya visi misi, rekam jejak,
dan karakternya sama saja, maka kemungkinan saya masih tetap akan golput. Dikondisi
ini siapa pun yang menang keadaan akan sama. Itulah kenapa sebelum 2014 saya
tidak pernah memilih.
Tahun kemarin
alasan utama saya memilih karena saya melihat ada perbedaan yang mencolok dari
kedua calon dan itu bagi saya situasi genting. Jika saya tidak memilih bisa
jadi saya akan menyesal seumur hidup, sebab hasilnya akan menentukan kemana
arah negara ini nantinya.
Dalam pertarungan
kali ini situasi itu malah tambah mengkhawatirkan. Narasi-narasi yang dibangun menjelang
kampanye sangat tidak sehat, hoax dan fitnah keji sudah melewati batas, politik
identitas mengancam kehidupan berbangsa, ditambah lagi komposisi elit dan
kelompok yang mengisi kedua kubu.
Baca Juga: PILPRES DAN ADAB PERANG
Jujur ini
sangat mengkhawatirkan, seorang SBY pun mengungkapkan kekhawatirannya dalam
sebuah surat yang ia tulis dari rumah sakit di Singapura. Saya membayangkan
kekacauan apa yang bisa terjadi jika kepentingan kekuasaan lebih diutamakan
ketimbang kepentingan berbangsa. Semua kekhawatiran ini cukup untuk jadi alasan
melangkahkan kaki ke TPS.
Siapa pun
pemenangnya, narasi ini harus diakhiri.
Pilpres 2014
lalu saya memilih Joko Widodo, dan kemungkinan pilpres kali ini saya akan
kembali memilihnya. Mencari pemimpin sempurna yang bisa memuaskan semua
keinginan bukan hanya sulit namun tidak mungkin. Bahkan jika seorang nabi
diturunkan ke negeri ini pun tidak akan sanggup memuaskan semua keinginan
rakyatnya. Tapi setidak-tidaknya kita memilih yang terbaik dari pilihan yang
ada. Jika hal terburuk tetap terjadi setidaknya Tuhan tahu saya sudah berusaha
mencegahnya.
Memilih 01
atau 02 bagi saya tidak masalah, itu hanya cara kita untuk mengungkapkan niat
baik buat negeri ini.
Baca Juga: AKHIRNYA MEMILIH
Tentu golput yang saya maksud adalah kelompok yang tidak memilih sama sekali (Golongan Putih), bukan Golput definisi Rocky Gerung yang menyatakan Golput hanya ditujukan untuk petahana bukan untuk oposisi.
Tidak memilih sama sekali atau menunggu hadirnya pemimpin sempurna diakhir zaman menurut saya hanyalah kata lain dari ketakutan mengemban tanggung jawab peradaban. Bahwa kita dan para pemimpin saat inilah yang menarik gerbong dan menggerakkan peradaban hingga generasi selanjutnya hadir untuk melanjutkan.
Tidak memilih sama sekali atau menunggu hadirnya pemimpin sempurna diakhir zaman menurut saya hanyalah kata lain dari ketakutan mengemban tanggung jawab peradaban. Bahwa kita dan para pemimpin saat inilah yang menarik gerbong dan menggerakkan peradaban hingga generasi selanjutnya hadir untuk melanjutkan.
Saya pribadi akan sangat bangga mengatahui bahwa sejarah mencatat peradaban negeri ini mulai bergerak kearah yang lebih baik hingga nanti tahun 2030, sebagai mana Standard Chatered memprediksi Indonesia menjadi kekuatan ekonomi ke empat dunia. Dan saya merasa terlibat di dalamnya.
___
7 April 2019
Jl. Teluk Tomini, Palu
Gambar: Koleksi Pribadi