Setelah memilih dalam Pilpres 5 tahun lalu, secara tidak sadar saya sudah melibatkan diri dalam memantau setiap
perkembangan pembangunan dan jalannya pemerintahan. Hal yang saya tidak pernah
duga sebelumnya. Saya mensyukuri itu karna pada level paling rendah, saya sudah merasa
terlibat dalam pembangunan negeri ini.
Sebelumnya, saya
merasa berada di luar, yang jika ada kemajuan saya tidak merasa kenapa-kenapa, dan
jika ada kemunduran maka saya dengan bersemangat ikut diskusi, membuat prediksi
dan kecurigaan yang kadang menggelikan, tapi tidak bagi saya saat itu. Saya membangun
kritik yang saya juga yakin tidak akan berpengaruh apa-apa. Saya menjadi
orang yang paling pesimis dan antipati terhadap politik.
Tapi saat
saya memilih dengan penuh kesadaran 5 tahun lalu, semua berubah. Jika pilihan
saya bekerja sesuai harapan, maka saya ikut senang, apalagi jika ia melampaui
harapan saya. Untuk pertama kalinya saya menjadi optimis bahwa politik negara
ini akan segera menemukan bentuk terbaiknya. Jika pilihan saya melakukan
kesalahan maka saya bertekad akan berusaha melakukan koreksi dengan cara saya, yakni menulis. Itu tanggung jawab saya sebagai pemilih.
Pada pemilu
5 tahun lalu saya memilih Joko Widodo. Pertanyaannya adakah tulisan yang sudah
saya terbitkan untuk mengkritik kebijakannya. Belum ada. Pertama karna Jokowi
terlalu sibuk membenahi masalah demi masalah di lapangan saat menjalankan visi
misinya. Hasil kerjanya pun melampaui harapan saya.
Baca Juga: APAKAH SAYA AKAN KEMBALI GOLPUT KALI INI
Belum lagi disela kesibukan yang menghasilkan kejutan-kejutan yang mengagumkan itu, si Presiden kurus tak henti-henti diganggu oleh fitnah PKI, Asing, Aseng, hingga ibu kandungnya pun masuk dalam narasi serangan. Jokowi sudah sangat kewalahan dengan tubuh kurusnya terbang kesana kemari memastikan tim di bawahnya bisa bekerja dengan baik dan mencapai target.
Tapi apa pun itu, mengkritik seorang pemimpin tetaplah tugas kita.
Itu utang saya.
Itu utang saya.
Hal yang
perlu saya kritisi dari kepemimpinan Jokowi adalah pemakaian orang-orang lama
dalam struktur kepemimpinannya. Jokowi masih
tersandra masalah yang sudah ada sebelum dia masuk dunia politik. Situasi ini
membuat dia mau tidak mau harus memakai orang-orang lama dengan gaya lama. Sungguh
sangat disayangkan.
Jokowi adalah tipe pemimpin dengan gaya baru yang sangat berbeda dengan gaya lama. Mestinya orang-orang lama tidak perlu lagi masuk dalam lingkaran kekuasaannya. Orang lama dengan gaya lama itu seperti Wiranto, Luhut, dan Puan Maharani.
Jokowi adalah tipe pemimpin dengan gaya baru yang sangat berbeda dengan gaya lama. Mestinya orang-orang lama tidak perlu lagi masuk dalam lingkaran kekuasaannya. Orang lama dengan gaya lama itu seperti Wiranto, Luhut, dan Puan Maharani.
Wiranto
masih belum bersih dari kasus HAM masa lalu, sama dengan Prabowo. Mereka akan
bersih jika pengadilan HAM dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Luhut masih
bagian dari masa lalu yang kental dengan gaya pensiunan militer ORBA yang konglomerat.
Sementara Puan Maharani adalah bagian dari gaya lama yang minim inovasi, minim prestasi,
dan lamban bekerja.
Jokowi
sangat pas dengan squad muka-muka segar yang lincah, berani, dan inovatif
seperti Sri Mulyani, Susi Pujiastuti, Retno Marsudi, Ignasius Jonan, atau Basuki
Hadimuljono. Inilah squad yang sempurna, orang-orang yang mau diajak berlari,
mau diajak potong kompas.
Tapi itulah politik hari ini, Jokowi tampak belum bisa bebas dari cengkraman kepentingan. Sepertinya ia juga membutuhkan orang-orang lama yang punya power itu untuk menstabilkan pemerintahan. Yang bisa menangkis serangan musuh yang juga berasal dari masa lalu.
Tapi itulah politik hari ini, Jokowi tampak belum bisa bebas dari cengkraman kepentingan. Sepertinya ia juga membutuhkan orang-orang lama yang punya power itu untuk menstabilkan pemerintahan. Yang bisa menangkis serangan musuh yang juga berasal dari masa lalu.
Baca Juga: Pemimpin-Pemimpin 4G
Dulu, saat
memilih, salah satu harapan pribadi saya ke Jokowi adalah menuntaskan kasus
pelanggaran HAM dalam tragedy 1998. Ia satui-satunya harapan untuk itu, sebab
ia tidak menjadi bagian dari masa lalu itu. Ia adalah pendatang baru yang masih
bebas melakukan apa saja.
Ini memang simalakama, jika ia berani membongkar kasus tersebut maka bersiaplah
untuk turun di tengah jalan, mirip yang di alami Gus Dur. Setidaknya ada 4 partai besar yang akan terganggu
karena diisi orang bermasalah di masa lalu. Kawan dan lawan bisa bersatu
menjatuhkannya. Tapi itu harus dilakukan.
Jika di periode pertama ia masih ragu karena memikirkan keberlanjutan pembangunan di periode kedua, maka jika ia lolos di periode kedua, langkah itu harus dia mulai. Resiko memang berat, caos bisa saja terjadi, tapi konsolidasi politik selama dua periode dengan partai-partai lain yang bebas masa lalu harusnya bisa meredam itu.
Jika di periode pertama ia masih ragu karena memikirkan keberlanjutan pembangunan di periode kedua, maka jika ia lolos di periode kedua, langkah itu harus dia mulai. Resiko memang berat, caos bisa saja terjadi, tapi konsolidasi politik selama dua periode dengan partai-partai lain yang bebas masa lalu harusnya bisa meredam itu.
Beban sejarah
ini harus dituntaskan, jika tidak itu akan menjadi beban yang makin lama makin
berat bagi generasi selanjutnya. Menyerahkannya pada kepemimpinan Prabowo lebih
tidak mungkin lagi, masa dia memulai pengadilan yang akan mengadili dirinya
sendiri.
Selain membersihkan dosa
masa lalu pendahulunya, saya pikir belum ada hal lain yang
urgen untuk dipersoalkan dari seorang Jokowi. Utang masih di level aman, ancaman
Tenaga Kerja asing masih sangat jauh jika dibandingkan dengan negara lain. Kondisi
perekonomian masih termasuk kuat di Asia Tenggara, di atas Singapura. Infrastruktur
melejit tak terbendung, hasilnya akan kelihatan dalam 5 – 10 tahun kedepan.
Majulah terus
Endonesaahhh….!!!
___Jl. Teluk Tomini, Palu, 7 April 2019
Gambar: dari sini