Apa kabar
gunung?
Tiba-tiba
saya rindu menulis tentangmu, tentang kita dahulu, dan tentang kita saat ini.
“Apa enaknya
mendaki?” pertanyaan itu masih mengiang di telingaku.
Memang saat
dimana saya dan teman-teman semasa kuliah dahulu gemar menghabiskan waktu di
gunung adalah masa dimana trend pendakian belum se-keren saat ini. Apalagi masa
para pendahulu kami yang hanya mengenal Alpina. Belum terlintas dalam pikiran
mereka nama seperti Eiger, Consina, apalagi Rei melengket diperlengkapan
pendakian.
Masa itu
serba sulit dan kami sedikitnya masih merasakan kesulitan itu. Pertanyaan
negatif kerap muncul dari karib kerabat yang masih asing dengan aktifitas
pendakian. Kadang kita harus berbohong hanya untuk menghindari pertanyaan aneh,
yang memang susah untuk dijawab. Susah, karena pertanyaan itu tidak berdiri
tunggal, ia beranak pinak.
Kenapa harus
mendaki?
Apa yang
kamu dapatkan di gunung?
Apa tidak
ada kegiatan lain?
Nanti
tidurnya dimana?
Bagaimana
dengan kuliahmu?
Dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang jika dirangkum akan berujung pada kalimat “Mendaki itu pekerjaan aneh yang tidak
berfaedah bagi masa depan”. Bagi kami saat itu, sebaiknya menghindari
ketimbang meladeni. Untuk itu kami memilih berbohong.
Di masa itu,
anda harus perpikir berkali-kali kalau berangkat ke gunung sendiri, karena itu
bisa berarti anda benar-benar akan mendaki sendiri, sebab gunung masih sepi
pengunjung, bahkan diakhir pekan. Seorang teman pernah mengalaminya karena
memang dia niatkan mendaki solo. Saya pun pernah mengalaminya, bukan karena
niatan tapi kesalahan koordinasi dengan teman lain.
Tapi menurut
kami itulah masa keemasan pendakian. Kami begitu menaikmatinya. Cerita
persiapan yang seru karena kadang harus sembunyi-sembunyi, perjalanan yang
penuh cerita karena numpang mobil truck atau pick up, numpang bermalam di teras
rumah warga kalau kamalaman di jalan, hingga mencari alasan untuk numpang makan
atau minimal ngopi di rumah yang sama.
Keseruan
berubah hikmad saat pendakian. Canda tawa berangsur hening saat menyusuri jalan
setapak, semakin kedalam semakin hening. Hanya hembusan nafas dan suara langkah.
Tiba dilokasi bermalam suasana begitu intim. Ranting dan daun yang basah serta
tanah yang lembab, batu-batu berlumut, tak banyak suara saat tiba.
Setelah
tenda berdiri dan kopi mulai terseduh, dimulailah sesi dialog dengan alam,
mengantar hari berganti gelap, menyongsong dingin yang menusuk. Begitu nikmat,
begitu hikmad.
Tanjakan
dipagi hari begitu legit untuk dilahap. Bagi kami, inilah sesi pengenalan dan
pengukuran diri. Mengukur sejauh mana ketahanan fisik, sekeras apa keteguhan
mental, sedalam apa kesabaran diri. Dan seperti biasa, dalam proses pengukuran
ini tidak ada suara dari mulut. Yang ada suara langkah, hembusan nafas, dan
sesekali suara sesuatu yang jatuh di belakang.
Bagi kami,
dalam situasi seperti ini - semisal teman yang terpeleset dan jatuh di jalur pendakian - berempati harus pada tempatnya, terlalu cepat
menolong bukanlah tabiat baik, karena masing-masing sedang mengukur dirinya,
tak baik jika kita mengganggu proses pengukurannya. Ini dipahami oleh
masing-masing tanpa harus dijelaskan. Pertolongan akan datang jika kondisi
sudah meminta itu.
Bagaimana
mengetahuinya? Entahlah, jika anda menjalaninya, anda akan tahu situasi mana
kita harus menolong dan situasi mana kita menahan diri. Saat kaki sudah enggan
melangkah, kita harus mengatur kembali ritme nafas kita, bukannya berteriak
meminta pertolongan teman atau meminta seluruh tim untuk berhenti. Yang bisa
dilakukan adalah bersandar di batang pohon, mengeraskan kembali tekad, dengan
keyakinan bahwa fisik akan tunduk pada mental.
Itulah masa-masa
indah, mencumbui gunung begitu mesranya, meresapi kabut begitu dalamnya. Mengukur
diri dengan tepat tanpa gangguan suara cekakak cekikik yang tidak perlu,
menikmati setiap detail keindahan tanpa gangguan jepret sana jepret sini yang
over, menyusuri jalur tanah lembab yang belum banyak disisipi bungkus permen
dan bumbu mi instant, menghirup kopi dalam-dalam tanpa hentakan musik dari
speaker portable.
Tentu kami
tidaklah sependiam itu saat mendaki. Canda tawa sangat diperlukan saat penat
menghampiri. Sampai terbahak-bahak malah, karena memang gunung begitu sepi, kehadiran
kami harus memberi warna, tapi bukan mendominasi.
Tapi saya
juga meyakini bahwa sesuatu punya masa sendiri-sendiri. Masa kami mungkin sudah
berakhir, masa hening penuh hikmad juga mungkin mulai berakhir, tapi ada satu
hal yang perlu dipahami, jauh sebelum kita dan para pendaki terdahulu ada,
gunung sudah berdiri anggun disana. Kita tidak punya hak sedikit pun untuk mengusik
keberadaannya. Kita hanya bisa meminta sedikit waktu untuk berdialog dengannya.
Tetaplah mendaki,
karena bagi pendaki, gunung tampak selalu melambaikan tangan untuk dihampiri.
Beruntunglah
kita semua, karena hari ini sudah jarang ada pertanyaan aneh saat kita mengemas
perlengkapan. Kalau pun masih ada pertanyaan aneh itu, berikanlah jawaban
paling fenomenal dalam dunia pendakian.
Jawaban itu
adalah: "Because it’s there!" milik George
Mallory.
Salam tonjok,
eh salah, tanjak.
___
Sikamali, 17
Juli 2017
kalau rindu ya daki gunung aja biar ga rindu lagi susah amat wkwkwkwk
ReplyDeleteParade official shop (voucher 17 ribu)
https://shopee.co.id/pc_event/?smtt=201.3498&url=https%3A%2F%2Fshopee.co.id%2Fevents3%2Fcode%2F271389969%2F%3Fsmtt%3D201.3498