Menjelang akhir Maret lalu kertas posisi hasil pemantauan Kelompok Kerja
(Pokja) Pantau REDD Sulawesi Tengah telah diserahkan ke UNREDD Indonesia di
Jakarta. Dalam berkas tersebut, gugus kerja yang dibentuk hampir bersamaan
dengan peluncuran REDD+ di Sulteng Oktober 2010 ini mengungkap beragam temuan
fakta, kondisi, dan tanggapan masyarakat terhadap rencana program REDD.
Terdapat satu
Anomali dalam fakta yang diungkap oleh Pokja Pantau. Masyarakat Dampelas –
Tinombo menolak konsep FPIC. Penolakan ini berdasarkan pengalaman traumatik
mereka terhadap penetapan sepihak Kawasan Pemangkuan Hutan (KPH) oleh Menteri
Kehutanan tahun 2009. Masyarakat mengklaim KPH merupakan bagian dari persiapan
program REDD. Tentu hal ini menjadi tamparan keras bagi semua pihak yang
terlibat dalam pilot projek REDD di wilayah ini.
Konsep FPIC sebenarnya dibangun untuk menjamin hak seseorang atau
sekelompok orang atas perogram yang akan dilaksanakan. Dalam bahasa Indonesia
konsep ini kemudian di sebut Persetujuan dengan informasi awal dan tanpa
paksaan (PADIATAPA).
Dengan pengertian tersebut, jelas menjadi sebuah keanehan, disaat
organisasi pemerhati lingkungan dan Hak Asasi Manusia nasional maupun
internasional berjuang memasukkan konsep ini dalam skema Safeguard, masyarakat Dampelas – Tinombo malah menolak.
Mari kita telisik lebih jauh. Dalam kertas posisi, Pokja Pantau banyak
mengungkap kerumitan, kejanggalan bahkan ke-lucu-an sistem kelolah tanah dan
wilayah hutan di Sulteng. Bagaimana tumpang tindih izin usaha tertumpuk pada
satu wilayah, dikeluarkan oleh kepala daerah yang sama dalam periode yang sama.
Bagaimana Taman Nasional Lore Lindu membatasi ruang gerak masyarakat. Atau keberadaan
Suaka Marga Satwa Pati-Pati di Desa Toiba, Kecamatan Bualemo, Banggai yang
ditetapkan sepihak oleh pemerintah Daerah maupun Nasional.
Penetapan wilayah kelolah tersebut tak satu pun melewati proses FPIC. Lantas
mengapa masyarakat justeru menyalahkan FPIC.
Terdapat kekhawatiran bahwa beberapa pihak yang terlibat pilot projek belum
memahami penuh prinsip REDD dan FPIC. Proses sosialisasi, dan pengambilan
keputusan tidak bisa dilaksanakan dalam waktu 1 atau 2 hari. Masyarakat perlu
memahami betul esensi dari program dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan
mereka.
Munculnya opsi lain selain FPIC atau PADIATAPA semakin memperrumit keadaan.
Meninggalkan prinsip FPIC dalam ketidakpahaman dan mengganti dengan tools yang
lain menjadi wacana mengkhawatirkan dalam pelaksanaan REDD.
Saya teringat pernyataan Marcus Colchester, saat wawancara dengan Yayasan
merah Putih 2010 silam. Meski bukan satu-satunya tools pengaman dan harus
ditunjang oleh Safeguard, namun menurut
Direktur Forest Peoples Programme
(FPP) ini penerapan FPIC sangatlah penting dalam meminimalisir pelanggaran HAM
saat pelaksanaan program.
Di tempat asalnya, dunia kesehatan, menurut Marcus, FPIC telah teruji dan
efektif untuk menjamin hak pasien. Sebelum dokter melakukan operasi penanganan
kesehatan, pasien mesti diinformasikan cara penanganan, dampak dan waktu operasi.
Selanjutnya pasien berhak untuk setuju atau menolak.
Dengan pemahaman ini, semua pihak mesti memahami bahwa FPIC bukanlah konsep
baru dan bisa secara elastis dimodifikasi sedemikian rupa. Ia adalah konsep
baku yang memiliki indikator hasil yang jelas dan mesti dicapai.
Persetujuan masyarakat, berdasarkan informasi penuh yang mereka dapatkan
menjadi kunci utama pelaksanaan program, tanpa hal itu – dalam konsep FPIC –
program tidak bisa dilaksanakan.
“Masyarakat jadi bertanya-tanya. Karena sebelumnya tidak ada
informasi, tau-tau sudah ada patok-patok tata batas. Kalu kondisinya seperti
itu, masyarakat bisa jadi resah. Mereka khawatir, pasti lahannya bisa diambil
menjadi kawasan,” (Media Alkhairat 28
Maret 2012)
Pernyataan Rusdin, tokoh
masyarakat Dampelas, diatas menjadi bukti,
secara prinsip masyarakat menolak penetapan dengan “cara-cara lama” bukan FPIC.
Sepertinya dalam hal ini Pokja REDD mesti berlaku lebih arif dan tidak lagi
melakukan kebiasaan mendiskon waktu.
Gambar: http://www.forestfinance.org