Monday, May 14, 2012

Haha.. Presiden menyelam, Para menteri mendaki


Pemanasan Global ternyata bagi sebagian Negara bukan hanya isapan jempol belaka. Pemanasan Global atau bahasa trend-nya Global Warming, mengakibatkan peningkatan suhu bumi dan merubah siklus alami musim yang dikenal dengan Perubahan Iklim. 

Suhu bumi yang meningkat mengakibatkan pencairan gunung es di kedua kutub bumi, Artik dan Antartika. Terus, perubahan iklim mengakibatkan siklus musim tidak menentu, hingga terjadinya anomali cuaca.

Lantas Negara mana yang begitu serius menanggapi isu ini..?


Pada Sabtu siang pertengahan Oktober 2009 silam, Presiden Republik Maladewa, Mohammed Nasheed bersama 13 menterinya mencoba duduk dan menghadapi meja rapat kabinet, kali ini seluruh peserta rapat tidak menggunakan jas dan dasi, melainkan mengenakan scuba diving. Ha... Apa Nakuya...???

Sebenarnya, hampir semua Negara kini telah kawatir dengan iklim yang terus berubah dan tak bisa diprediksi lagi. Namun, terdapat dua Negara yang mengekspresikan kekhawatirannya dengan tindakan yang unik. Negara itu adalah Republik Maladewa dan Nepal.


Republik Maladewa merupakan Negara kepulauan yang terletak di arah selatan barat daya India. Maladewa memiliki populasi penduduk dan luas wilayah terkecil di kawasan Asia. Dengan tinggi rata-rata dataran tanah1,5 meter dari permukaan laut (mdpl). Puncak tanah tertinggi di negeri ini hanya 2,3 mdpl. 

Dengan kondisi seperti itu Maladewa menjadi Negara yang paling terancam tenggelam jika gunung es terus mencair oleh suhu bumi terus meningkat. 

Dalam rapat yang berlangsung setengah jam itu, peserta hanya berkomunikasi dengan papan tulis dan isyarat tangan. 



Hal unik lain datang dari dataran tanah tertinggi di bumi, yakni pegunungan Himalaya, tempat puncak beku everest bersemayam. Perdana Menteri Nepal Madhav Kumar pada awal Desember 2009 memboyong “pembantu – pembantu”nya ke lereng Gunung Everest untuk rapat Kabinet.

Sebagai wialayah yang dikenal sebagai puncak gunung tertinggi di dunia, tak heran jika para menteri yang berjuang melawan hawa dingin itu dilengkapi dengan tabung oksigen. Mengenakan penutup kepala tradisional Tibet dan ikat kepala bertulis “Selamatkan Himalaya” anggota kabinet duduk mengelilingi meja.



Upacara keagamaan Sherpa pun dilakukan, sebelum menyetujui draft pidato yang akan dibacakan PM Madhav dalam forum pertemuan internasional perubahan iklim di Kopenhagen, Belanda.

Baik Maladewa ataupun Nepal memiliki tujuan yang sama dalam aksi uniknya, yakni mengirim pesan kepada dunia tentang ancaman perubahan iklim terhadap tanah, air dan masyaratanya.



Rapat unik di bawah permukaan laut Maldevist dilakukan sebagai bagian protes dan menyuarakan pencegahan perubahan iklim. Presiden Mohamed Nasheed dan kabinetnya menandatangani satu dokumen yang meminta pengurangan emisi karbon. Para pejabat dari negara pulau yang rendah ini mengatakan rapat itu tujuannya mengirim pesan serius.

Pun ancaman yang dirasakan negeri Nepal yang terletak di kawasan pegunungan Himalaya, juga tak kalah mengerikan. Para ilmuwan mengatakan gletser di Himalaya mencair dalam jumlah yang mengkhawatirkan dan membentuk danau-danau gletser yang sewaktu-waktu dapat jebol dan menyapu pemukiman warga Nepal.
Jika suhu bumi tak dikendalikan, Gletser akan terus mencair dalam waktu beberapa puluh tahun ke depan dan akan mengakibatkan kekeringan panjang di seluruh wilayah Asia, dimana 1,3 miliar jiwa bergantung pada sungai-sungai yang alirannya berasal dari Himalaya.

Kedua pesan dari dua Negara ini dikirim khusus pada pertemuan Konferensi Perubahan Iklim PBB di Copenhagen, Belanda bulan Desember 2009. Para pemipin dunia akan hadir dalam pertemuan tahunan para pihak (COP) yang bertujuan membuat satu kesepakatan baru terkait nasib lingkungan dan masa depan bumi.


Secara terpisah, Appa Sherpa, pemegang rekor 19 kali pendakian puncak tertinggi Everest (8.850 mdpl) bersama kelompok pendaki Gunung Everest menyatakan akan bertandang ke Belanda untuk mengawal jalannya COP ke 15 di Copenhagen. Demi kelestarian gunung yang mereka cintai, Appa dan kawan-kawan akan mengajukan tuntutan agar negara maju bersedia mengurangi emisinya.


Hasil pertemuan COP 15 memang mengecewakan sejumlah pihak. Kesepakatan pencegahan perubahan iklim yang disusun  lebih dari 120 negara, termasuk AS, Inggris, China, Indonesia, Banglades, dan Lesotho,  akhirnya diputuskan tidak mengikat secara hukum, artinya tidak harus dipatuhi.

”Ini sebuah negosiasi yang belum pernah saya alami sebelumnya, lebih dari 120 kepala pemerintahan berkumpul. Bahkan terlibat langsung menyusun hingga lewat tengah malam. Saya tak tahu lagi apakah kejadian seperti ini akan berulang di lain kesempatan,” kata Sekretaris Eksekutif Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB Yvo de Boer.

Kebuntuan perundingan perubahan iklim sudah terjadi dari COP sebelumnya. Tanggal 1 Juni 2010, 
Yvo de Boer akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya. Pertemuan tahun berikutnya pun belum menghasilkan hasil yang diharapkan. Dan sekali lagi drama itu masih berlanjut.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment