Pemanasan Global ternyata bagi sebagian Negara bukan hanya isapan jempol belaka. Pemanasan Global atau bahasa trend-nya Global Warming, mengakibatkan peningkatan suhu bumi dan merubah siklus alami musim yang dikenal dengan Perubahan Iklim.
Suhu
bumi yang meningkat mengakibatkan pencairan gunung es di kedua kutub
bumi, Artik dan Antartika. Terus, perubahan iklim mengakibatkan siklus
musim tidak menentu, hingga terjadinya anomali cuaca.
Lantas Negara mana yang begitu serius menanggapi isu ini..?
Pada
Sabtu siang pertengahan Oktober 2009 silam, Presiden Republik Maladewa,
Mohammed Nasheed bersama 13 menterinya mencoba duduk dan menghadapi
meja rapat kabinet, kali ini seluruh peserta rapat tidak menggunakan jas
dan dasi, melainkan mengenakan scuba diving. Ha... Apa Nakuya...???
Sebenarnya,
hampir semua Negara kini telah kawatir dengan iklim yang terus berubah
dan tak bisa diprediksi lagi. Namun, terdapat dua Negara yang
mengekspresikan kekhawatirannya dengan tindakan yang unik. Negara itu
adalah Republik Maladewa dan Nepal.
Republik
Maladewa merupakan Negara kepulauan yang terletak di arah selatan barat
daya India. Maladewa memiliki populasi penduduk dan luas wilayah
terkecil di kawasan Asia. Dengan tinggi rata-rata dataran tanah1,5 meter
dari permukaan laut (mdpl). Puncak tanah tertinggi di negeri ini hanya
2,3 mdpl.
Dengan
kondisi seperti itu Maladewa menjadi Negara yang paling terancam
tenggelam jika gunung es terus mencair oleh suhu bumi terus meningkat.
Dalam rapat yang berlangsung setengah jam itu, peserta hanya berkomunikasi dengan papan tulis dan isyarat tangan.
Hal
unik lain datang dari dataran tanah tertinggi di bumi, yakni pegunungan
Himalaya, tempat puncak beku everest bersemayam. Perdana Menteri Nepal
Madhav Kumar pada awal Desember 2009 memboyong “pembantu – pembantu”nya
ke lereng Gunung Everest untuk rapat Kabinet.
Sebagai
wialayah yang dikenal sebagai puncak gunung tertinggi di dunia, tak
heran jika para menteri yang berjuang melawan hawa dingin itu dilengkapi
dengan tabung oksigen. Mengenakan penutup kepala tradisional Tibet dan
ikat kepala bertulis “Selamatkan Himalaya” anggota kabinet duduk
mengelilingi meja.
Upacara
keagamaan Sherpa pun dilakukan, sebelum menyetujui draft pidato yang
akan dibacakan PM Madhav dalam forum pertemuan internasional perubahan
iklim di Kopenhagen, Belanda.
Baik
Maladewa ataupun Nepal memiliki tujuan yang sama dalam aksi uniknya,
yakni mengirim pesan kepada dunia tentang ancaman perubahan iklim
terhadap tanah, air dan masyaratanya.
Rapat
unik di bawah permukaan laut Maldevist dilakukan sebagai bagian protes
dan menyuarakan pencegahan perubahan iklim. Presiden Mohamed Nasheed dan
kabinetnya menandatangani satu dokumen yang meminta pengurangan emisi
karbon. Para pejabat dari negara pulau yang rendah ini mengatakan rapat
itu tujuannya mengirim pesan serius.
Pun
ancaman yang dirasakan negeri Nepal yang terletak di kawasan pegunungan
Himalaya, juga tak kalah mengerikan. Para ilmuwan mengatakan gletser di
Himalaya mencair dalam jumlah yang mengkhawatirkan dan membentuk
danau-danau gletser yang sewaktu-waktu dapat jebol dan menyapu pemukiman
warga Nepal.
Jika
suhu bumi tak dikendalikan, Gletser akan terus mencair dalam waktu
beberapa puluh tahun ke depan dan akan mengakibatkan kekeringan panjang
di seluruh wilayah Asia, dimana 1,3 miliar jiwa bergantung pada
sungai-sungai yang alirannya berasal dari Himalaya.
Kedua
pesan dari dua Negara ini dikirim khusus pada pertemuan Konferensi
Perubahan Iklim PBB di Copenhagen, Belanda bulan Desember 2009. Para
pemipin dunia akan hadir dalam pertemuan tahunan para pihak (COP) yang
bertujuan membuat satu kesepakatan baru terkait nasib lingkungan dan
masa depan bumi.
Secara terpisah, Appa Sherpa, pemegang rekor 19 kali pendakian puncak tertinggi Everest (8.850 mdpl) bersama kelompok pendaki Gunung Everest menyatakan akan bertandang ke Belanda untuk mengawal jalannya COP ke 15 di Copenhagen. Demi kelestarian gunung yang mereka cintai, Appa dan kawan-kawan akan mengajukan tuntutan agar negara maju bersedia mengurangi emisinya.
”Ini sebuah negosiasi yang belum pernah saya alami sebelumnya,
lebih dari 120 kepala pemerintahan berkumpul. Bahkan terlibat langsung
menyusun hingga lewat tengah malam. Saya tak tahu lagi apakah kejadian
seperti ini akan berulang di lain kesempatan,” kata Sekretaris Eksekutif
Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB Yvo de Boer.
Secara terpisah, Appa Sherpa, pemegang rekor 19 kali pendakian puncak tertinggi Everest (8.850 mdpl) bersama kelompok pendaki Gunung Everest menyatakan akan bertandang ke Belanda untuk mengawal jalannya COP ke 15 di Copenhagen. Demi kelestarian gunung yang mereka cintai, Appa dan kawan-kawan akan mengajukan tuntutan agar negara maju bersedia mengurangi emisinya.
Hasil pertemuan COP 15 memang mengecewakan sejumlah pihak. Kesepakatan pencegahan perubahan iklim yang disusun
lebih dari 120 negara, termasuk AS, Inggris, China, Indonesia,
Banglades, dan Lesotho, akhirnya diputuskan tidak mengikat secara
hukum, artinya tidak harus dipatuhi.
Kebuntuan perundingan perubahan iklim sudah terjadi dari COP sebelumnya. Tanggal 1 Juni 2010, Yvo de Boer akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya. Pertemuan tahun berikutnya pun belum menghasilkan hasil yang diharapkan. Dan sekali lagi drama itu masih berlanjut.