Saturday, March 31, 2012

Harus Ada Yang Melakukan



Roda kecil gerobak daganganku terseok melewati kaki-kaki letih yang sedari siang tadi berdiri di sini. Beberapa hari ini aku dan teman-teman seprofesiku meraup keuntungan berlipat di tempat ini. Kemarin menjelang magrib aku mendorong pulang gerobakku, namun hari ini tampaknya pembeli masih membutuhkanku hingga hari benar-benar gelap.


Kurapatkan gerobak pada trotoar pembatas tol, pagar besi penghalangnya kini telah membungkuk ke tanah, beberapa orang duduk diatasnya.

“Gak ada lagi yang dingin bang?” seorang pemuda bertanya sambil memilah botol air minum dalam kotak daganganku.
 “Tinggal yang itu mas, esnya udah mencair” sahutku
“Berapaan bang?”
“empat ribu”
“waduh, uang saya cuma segini bang.” Empat keping uang limaratusan menyembul dari kantong kiri celana jeansnya, satu keping lagi dari kantong kanan.
“ya udah”

Ia kemudian duduk diatas pagar pembatas tol yang sudah membungkuk ketanah. Tampaknya kelelahan. Kami para pedagang memang sengaja menaikkan harga minuman jika kondisinya terbatas seperti ini, dan mereka pun tak punya pilihan lain selain membelinya.

“Emang gak disediain minum?” 

“Tadi siang sih ada, tapi dah habis diserbu sama anak-anak”

“Trus makannya gimana?”

“Tadi pagi di kampus sebelum kesini”

“Sampe sekarang belum makan?”

“Tadi siang makan roti, untung ada persiapan dalam tas”

"Saya dengar dana untuk ini besar juga yang mas?" aku memberanikan diri

"Dana..? wah bagus tuh kalo ada yang bisa mendanai, kebetulan kita lagi cari donatur nih, hehehe..."

"Jadi gak ada dananya mas?"

"Kalo dananya ada ngapain juga saya ngantongi uang koinan bang, salut deh buat yang bisa danai ribuan orang begini, lima jempol buat dia"

Dari perawakan dan caranya berbicara, pemuda ini mengingatkanku pada keponakanku, si Enong anak dari adik perempuanku. 

Aku menoleh kearah kerumunan orang dengan baju berbagai warna. Suasana semakin ramai saja disini. Warna bendera dan baju yang beragam menambah semarak kerumunan-kerumunan yang terus bernyanyi bergantian dari tadi.

“Rencananya sampai jam berapa disini?” aku mencoba mengakrabi
“Belum pasti, kita maunya masuk kedalam”

“Apa gak takut dipukul atau kena tembak?”

“Ya takutlah bang, semua orang gak mau dipukul, apalagi ditembak”

“Trus?” 

“Ya kalo gak ada yang mau, trus siapa yang akan melakukannya?”

“Ditelevisi beritanya heboh mas, banyak yang bilang ini sudah melewati batas, tadi siang waktu khutbah jum’at khotibnya malah bilang ini sudah diluar ajaran agama”

“Hmm” ia tersenyum sendiri. Aku mulai menyadari terlalu banyak berbicara. Sebenarnya aku hanya ingin berbicara dengannya, berusaha mencari topik sekenanya.

“Harus ada yang melakukannya bang” ucapnya

Aku mengangguk perlahan meski tidak sepenuhnya mengerti maksud dari perkataanya. Kami duduk menghadap kerumunan yang terus bergemuruh. Semburan wanra jingga jatuh pada gerbang kokoh itu, malam tampaknya sudah tak sabar ingin menyapa.

“Sebaiknya abang pulang, sudah malam, kejadiannya bisa berubah kalau sudah malam begini” ia menoleh kearahku. Sekali lagi senyumnya itu persis kepunyaan si Enong keponakanku. Aku ingin mengatakan itu padanya, tapi saat ini informasi itu mungkin tak penting baginya.

Pagar pembatas tol yang telah membungkuk ketanah bergoyang saat ia turun. Botol ditangannya hampir kosong. Pipi kirinya kini terpoles semburan jingga, sama seperti gerbang kokoh di belakangnya.

“Sebaiknya mas pulang juga, sambung besok lagi” ucapku tulus, seakan berbicara pada si Enong.
Ia diam, sebatang rokok kemudian disulutnya.

“Bilang sama khotibnya, seorang Ibrahim saja pernah melakukan ini”

Kemudian menjauh dan bergabung dalam kerumunan massa. Aku rak mengerti, tapi aku memang harus beranjak dari sini, setidaknya mengambil jarak. Apa yang pemuda itu katakan ada benarnya, segala sesuatu bisa berubah saat malam seperti ini, terlebih pada malam sebelumnya, kerusuhan terjadi di jalan Diponegoro, tak jauh dari Salemba.
*

“Darrr...darrr...darrr...”

Suara petasan mengagetkanku yang asyik duduk dibawah jembatan penyeberangan. Puluhan letusan keras bersahutan, percikan berragam warna memencar di tanah, di aspal, di udara, di tengah kerumunan massa, di belakang mereka, di jaket mereka. Massa berhamburan keluar gerbang yang sebelumnya sudah berhasil mereka kuasai. Semburan air mengguyur mereka yang berdesakan keluar gerbang. 

Dari jauh tiga orang pemuda, tampak diseret oleh temannya, menjauh dari barisan petugas dengan tameng lengkap. Aku dan gerobakku kini telah jauh, ku dorong terus hingga sampai pada persimpangan, di bawah jembatan layang. Tiga orang pemuda tadi digotong ke ambulance yang sudah menunggu sedari siang.

Kubuka kotak air minum daganganku, lima botol air mineral tersisa. Mengapung dalam cairan es tadi pagi. Entah kenapa aku teringat pemuda tadi. Semoga ia bukan salah satu dari tiga orang yang digotong kedalam ambulance.

Barisan petugas bertameng dan tiga unit mobil semakin mendesak massa. Mereka terpencar mundur. Kuberikan dua botol untuk mereka. 

“Harus ada yang melakukannya”

Aku terdiam, mengamati kepulan asap putih di aspal dan beberapa pemuda yang berlarian. 

Hari ini aku merasa berbicara dengan si Enong, keponakanku yang meninggal tahun lalu, aku cukup senang. Semoga pemuda itu selamat.

Ciputat, 31 Maret 2012
foto: kumisjaim.web.id

2 comments:

  1. wow... keren Ojan..
    aku suka dari awal sampai ending menyentuh sekali

    ReplyDelete
    Replies
    1. thanks "pecinta puisi"
      aku hanya mencoba menyelami aksi mahasiswa dari kacamata yg berbeda...!!!

      thanks dah mampir...

      Delete