Saturday, March 31, 2012

Cara Primitif Masih Efektif...?


Isu kenaikan harga BBM seakan menjadi gendarang perang bagi mahasiswa dan elemen masyarakat lain. Sejak rencana itu beredar, aksi penolakan merebak di beberapa daerah. Makassar, Medan, Palu, Kendari, Balikpapan, Banjarmasin, Ternate hingga Bima dan Mataram, Nusa Tenggara Barat.



Kian hari aksi demonstrasi kian memanas, di Makassar terjadi pemblokiran jalan dan penjarahan, di Palu puluhan mahasiswa terluka, ditangkap dan dipukuli, di Medan beberapa selongsong peluru tajam ditemukan di depan kampus.

Bagaimana dengan ibukota Jakarta. Lalu lintas kendaraan di beberapa ruas jalan di pusat pemerintahan negara ini sempat mati. Massa memblokir jalan Diponegoro, Gatot Subroto, dalam aksi ini bahkan satu unit mobil polisi dibakar massa, dan Kepala Polsek Metro Senen, Komisaris Iman Zebua juga dilarikan ke Rumah Sakit setelah dilempar batu dan dipukul massa.

Beberapa spekulasi pun bermunculan. Sebagian bahkan memperkirakan, aksi ini akan menyerupai reformasi 1998, dimana Presiden Soeharto dipaksa turun oleh demonstrasi besar-besaran.


Cara Primitif

Ada pepatah lama berbunyi: Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Sebenarnya aksi demo yang dilakukan Mahasiswa dan beberapa elemen masyarakat adalah cara paling sederhana dan primitif dalam sejarah mengemukakan pendapat. Ketika berbicara sendiri tak dihiraukan, seseorang akan mengajak massa yang sependapat untuk bersama-sama berbicara. Cara ini sudah dilakukan sejak dahulu, bahkan dalam sejarah nabi-nabi.

Inilah cara terakhir, ketika lobi-lobi elegan, balas pantun yang santun dan musyawarah yang ramah tak lagi mampu menyambung dialog antara pemimpin dan rakyat. Ketika cara terakhir ini juga gagal, bisa dipastikan rasa frustrasi massa akan memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Kita tentu masih ingat bagaimana tragedi Malari 1974, atau Semanggi dan demonstrasi besar-besaran 1998.

Kita bersyukur, demokrasi di negara kita telah lebih dahulu berkembang dibandingkan negara lain seperti Libya, Mesir dan negara Timur Tengah lainnya yang harus memakan ribuan korban jiwa hanya untuk memperjuangkan kebebasan mengemukakan pendapat dan kemerdekaan memilih pemimpin.

Oleh karenanya, pemimpin harus jeli melihat aspirasi yang berkembang di masyarakat. Tak dapat dibantah bahwa aksi demonstrasi massa beberapa hari ini sudah mengarah pada aksi anarkis, namun perlu diingat, ketika rasa frustrasi berbagai persoalan yang tak kunjung selesai di negeri ini memuncak, aksi yang lebih anarkis lagi bisa terjadi.



Bias

Pada hampir semua aksi demonstrasi dinegeri ini, saya melihat selalu muncul beberapa hal yang memunculkan bias, dan melahirkan wacana yang akhirnya lari dari persoalan utama.

Beberapa hari ini saya sempat mengikuti perkembangan opini yang ada di situs berita online, kompas.com. Komentar bertulis “seandainya tidak ada aksi anarkis dan pemblokiran jalan”, saya pun terpancing menanggapi dengan menulis “seandainya tidak ada kenaikan harga BBM dan korupsi”.

Sebagian besar komentar memang mengutuk bahkan menuduh aksi demonstrasi sebagai aksi brutal yang merugikan negara. Sebagian lagi menyatakan mahasiswa turun kejalan dibayar dengan 20 ribu rupiah dan sebungkus nasi. Bahwa terdapat kelompok atau partai politik yang mempelopori dan membiayai aksi tersebut.

Saya jadi terbayang berapa uang yang mesti disediakan partai tersebut untuk membayar ribuan mahasiswa yang turun kejalan di hampir seluruh penjuru tanah air. Dan bagaimana bisa seseorang mau dibayar untuk dipukuli dan ditembaki.

Bagi para demonstran, hal ini tentu melukai perjuangan sederhana mereka agar harga nasi warteg, harga kos-kosan dan ongkos angkot pulang pergi Kampus tidak naik.

Bagi buruh, ini adalah perjuangan agar mereka atau rekan-rekan mereka tidak terkena PHK, agar dengan upah yang sebagian belum memenuhi standar bisa bertahan untuk sebulan. Tak perlu berteriak muluk-muluk untuk kepentingan rakyat miskin, mereka yang nyata-nyata punya penghasilan pun masih terancam dengan kenaikan harga bahan pokok.

Ada hal menarik saat demonstrasi di depan pintu gerbang DPR RI, Jumat 31 maret kemarin. Anggota dewan dari fraksi PDI Perjuangan hanya diberi waktu sekitar 3 menit untuk menjelaskan perkembangan rapat dewan, setelah itu disuruh turun oleh pendemo. “Kita tidak ingin mendengar kalimat bersayap dari para pembohong” teriak salah seorang koordinator aksi lewat pengeras suara. PDI Perjuangan ditengarai mempelopori aksi demo, namun kejadian itu seolah menegaskan independensi demonstran.

Beberapa hari sebelum aksi penolakan, media beramai-ramai mengangkat persoalan antisipasi keamanan yang disiapkan pemerintah. Bagaimana polisi dan TNI disiagakan, bagaimana kemungkinan-kemungkinan anarkis dan cara penanggulangannya.

Presiden sendiri telah melempar rumor bahwa aksi demo akan mengarah pada penurunan paksa dirinya dari kursi kepresidenan. Maka diskusi pun melebar pada asumsi-asumsi dibalik aksi demo, tebak-tebakan siapa dalangnya, dan mereka-reka sejauh mana anarkisme demonstran nantinya.

Hasilnya, persoalan kenaikan BBM dan taraf hidup masyarakat yang belum layak seolah ditinggalkan. Pembahasan lebih mengarah pada terkaan dan perkiraan.

Saat demonstrasi berlangsung, bias malah lebih terasa lagi. Penjarahan yang dilakukan mahasiswa di Makassar, pemblokiran jalan hingga tengah malam bahkan menjelang subuh di Yogyakarta dan di Sumatera Utara, pembakaran mobil di jalan Diponegoro, Salemba, hingga pengrusakan pagar gedung DPR di Senayan.

“Mahasiswa telah menyalahi aturan Undang-undang yang berlaku,” kata Menko Polhukam, Djoko Suyanto. Jelas, itu adalah pelanggaran hukum. Memang dan terbukti.

Persoalan menjadi rumit dan kompleks. Belum lagi penemuan selongsong peluru tajam di Salemba, Bima dan di Universitas HKBP Medan yang bahkan memiliki kode TK PIN 5,56. Ada pula kasus pemukulan wartawan metro tv, dan fotografer majalah Tempo, atau penyitaan paksa hasil liputan wartawan tv one oleh Polisi.

Sederhana

Demonstrasi adalah cara paling sederhana dan primitif dalam mengemukakan pendapat. Tuntutannya juga sederhana: Batalkan kenaikan harga BBM dan adili serta sita harta para koruptor yang memiskinkan rakyat.

Spekulasi, asumsi dan tuduhan yang muncul terkait aksi demolah yang membuat segalanya jadi rumit.

Terkait tuduhan aksi demonstrasi didanai oleh partai, seorang perwakilan mahasiswa yang hadir dalam talkshow TV One menantang: “Kami malah berharap ada yang membiayai kami, silahkan, tapi ingat kami tak akan segan mengantam anda jika bersalah”. Jelas bahwa mahasiswa adalah bola liar yang tak dapat dikendalikan oleh siapapun.
___
Ojan

Foto mahasiswa terluka: dari koleksi Arif Ktpl Green di facebook.com
Faot lain : Koleksi Peribadi di Senayan

Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment