Thursday, March 8, 2012

Dialog Kursi Rotan dan Tembok


Mangge Daru tidak mengucapkan apa-apa saat Erni meletakkan kopi panas dengan hati-hati di dekatnya. Bukan pelit untuk berterimakasih, tapi memang seperti itulah cara berkomunikasi disini, spontan dan minim basa-basi.



Pagi masih terasa dingin, namun langit yang bersih pertanda hari ini akan cerah bahkan panas. Mangge Daru memilih aktifitas santai hari itu, bukan memilih tapi memang tak ada pilihan lain. Rematik yang menyerang kakinya empat tahun lalu kini telah membatasinya untuk beraktifitas lebih selain duduk santai, mengaji, memotong batang jagung untuk pakan sapi kesayangannya atau memanaskan air minum disamping rumahnya.

Kursi rotan tempatnya duduk menghadap kehalaman samping, tempat favorit baginya semenjak diserang rematik. Halaman sempit itu berbataskan tembok pagar setinggi tiga meter. Tempat dimana ia dan Haji Hasan sering bertukar cerita sambil member makan sapi kesayangannya. Haji Hasan tentu lebih aktif berbicara sedang Mangge Daru merspon singkat. Celetukkan Mangge yang khas kadang membuat Haji Hasan terbahak dan membuatnya datang lagi ke esokan harinya. 

Pagi ini Mangge Daru hanya duduk dikursi rotan sambil menghisap rokoknya. Tak ada aktifitas lain, mungkin siang nanti tapi saat ini tidak. Sapi jantan kesayangannya yang terikat dibagian belakang halaman itu tampak masih malas untuk berdiri. Beberapa helai daun jagung masih menyembul dari dalam kotak kayu makanannya. Pada saat tertentu Mangge Daru bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk memandangi sapinya makan. Ia memang sangat gemar memelihara sapi seperti juga umumnya masyarakat di daerah ini.

“Kenapa sapinya Mangge,”
“Sakit perut, kemarin saya lepas di lapangan belakang, mungkin ta salah makan”
“Panggilkan dokter hewan, disuntik saja,”
“Tidak usah, kasih minum gula merah dengan asam saja,”
“Tapi paling bagus disuntik Mangge, cepat sembuhnya,”
Mangge Daru selalu tersenyum jika mengingat potongan percakapannya dengan Haji Hasan. Mereka kerap berselisih paham dalam beberapa hal, sesuatu yang akhirnya menjadikan mereka begitu akrab.

***

Matahari mulai menebar sinarnya dari arah belakang rumah. Mangge Daru belum beranjak dari kursinya. Kopiah hitam yang dikenakannya untuk sembahyang subuh tadi masih menempel dikepalanya, membuatnya tampak seperti tokoh pahlawan dari bukit tinggi Agus Salim. Ia memang senang memakai kopiah jika berada dalam rumah. Seperti itulah tampilan orang seumuran mangge di daerah ini.

“Asalamu alaikum”
“Walaikum Salam,”
“Mau tanya pak, tanah di depan itu milik bapak ya,”
“Iya, kenapa,”
“begini pak, saya rencananya mau cari tanah untuk disewa, untuk bangun kios,”

Haji Hasan sudah memikat hati Mangge Daru sejak pertemuan pertamanya tujuh tahun lalu. Perawakannya yang ramah dan hangat membuat Mangge senang berteman sekaligus bertetangga dengannya. Seperti umumnya pedagang di daerah asalnya Haji Hasan hanya bermodal jiwa dagang dan keberanian berspekulasi datang ke daerah ini. Sedang mangge Daru, seperti umumnya penduduk asli daerah ini membuka diri dan berempati terhadap perantau seperti Haji Hasan.

Walhasil, keakraban mereka makin mesra seiring waktu berjalan, anak sulung Haji Hasan yang kini telah menamatkan pendidikan sarjananya di pulau jawa bahkan memanggil Mangge Daru dengan sebutan papa. Mangge Daru memang banyak berjasa bagi keluarga Haji Hasan ditahun pertama mereka tinggal disini. Mangge sering menjadi jembatan bagi Haji Hasan untuk bersosialisasi dan lebih akrab dengan masyarakat setempat.

***

“Pak, makan dulu,”
“Sedikit lagi, Ojo mana?”
“Belum pulang, tadi malam dia tidak tidur disini.”
“Tidur dimana lagi itu anak, dia jadi bantu Omnya kerja di perumahan?”
“Tidak tahu pak, tapi sekop dan sendok semennya masih ada?”
“Mau jadi apa itu anak, buruh bangunan malas, urus sapi juga malas, so dibilang sekolah bae-bae, te ba dengar,”

Erni tak menanggapi, dia kembali mengurusi beberapa hal di dapur. Ini sudah tahun ke tiga ia tinggal bersama mertuanya, impian memiliki rumah sendiri tampaknya masih jauh bagi Erni. Meski sudah tiga tahun tinggal bersama, Mangge Daru senang dengan keberadaan menantunya itu, sebab Erni bisa menggantikan peran istrinya mengurusi rumah setelah meninggal dua tahun lalu. 

***

Mangge Daru merebahkan kepalanya pada sandaran kursi rotan, hari ini ia harus memesan batang jagung pada Dudi tetangganya yang masih memiliki kebun jagung. Stok pakan sapinya mulai menipis.

“Pakannya bagus dicampur dengan Konga Mangge,”
“Supaya kenapa ?”
“Katanya sapi cepat gemuk,”
“Kalau begitu saya ambil dulu dua kilo,”

Haji Hasan tersenyum. Sejak saat itu Mangge Daru selalu mencampur konga untuk pakan sapinya. Dan Haji Hasan selalu menolak ketika Mangge Daru ingin membayar hutang dua kilo konganya saat itu.
Mangge kadang rindu untuk bercerita kembali dengan Haji Hasan, meski ia tak pernah menunjukkan antusiasnya saat bertemu. Saat ini kesibukkan Haji Hasan meningkat seiring perkembangan usahanya. 

***

“Assalamu alaikum”
“walaikum salam, masuk”
“Pa”
“Eh, Aco, makan dulu”
“sudah pa”
“pegang sedikit, masolora” aco masuk kedapur mencicipi makanan.
“Mana papamu”
“itu di depan ba atur barang masuk, papa perlu bantuan lagi untuk ba kasih masuk barang,”
“oh, iyo nanti kalau ada Ojo saya suruh kesitu, berapa box lagi yang masuk minggu ini?”
“ada dua box pa,”
“Eh.. so turun, biasanya tiga sampai empat box?”
“iyo, kita dapat saingan dari toko besar di daerah pantai,”
“oh… bilang sama papamu, dua kilo konga bisa menghambat orang masuk surga,”
“hehehe, nanti saya bilang, saya pigi dulu pa,”

Mangge Daru kembali duduk di kursi rotannya. Halaman samping mungkin akan jadi tempat untuk menghabiskan sebagian besar waktunya hari ini. Tidak banyak pemandangan yang bisa dilihat dari tempat halaman sempit itu, tak seperti tujuh tahun lalu, dimana ia masih bisa mengikat beberapa sapinya disemak luas tempat bangunan dua tingkat itu kini berdiri. 

Kini halaman samping menjadi satu-satunya tempat yang lapang untuk Mangge dan sapinya bisa bersantai. Halaman yang memang sempit dan berujung tembok pagar setinggi tiga meter. Tembok pembatas rumah Haji Hasan.

___
Palu, 15 Juli 2011
percakapan memakai dialek Palu
Masolora = bisa celaka jika tidak dikerjakan (mencicipi makanan)
Mangge (Paman) berasal dari bahasa Kaili, juga sebutan bagi pria yang lebih tua.
Foto: www.jawaban.com
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment