Monday, November 27, 2017

KEMESRAAN DAN ANGGARAN FANTASTIS DKI 2018


“Rancangan APBD DKI Jakarta 2018 belakangan ramai diperbincangkan,” kata seorang teman.

“Itu karena mereka melihat perbandingan anggaran diperiode Ahok sangat berbeda,” kataku. Lantas bagaimana perbedaan Ahok dan Anies dalam merancang anggaran. Saya akan ceritakan sedikit dalam tulisan ini.

Di zaman Ahok, penyisiran anggaran tidak dilakukan oleh DPRD tapi justru oleh Ahok. KUA-PPAS yang akan jadi bakal Rancangan APBD 2016 diteliti kembali oleh Ahok dan timnya. Saat itu Ahok curiga karena draft KUA-PPAS yang diserahkan ke DPRD untuk dibahas menggunakan format excel, padahal dia sudah menerapkan pemakaian e-musrenbang, e-planning, dan e- budgeting. Artinya semua bisa dipantau.


Mengendus ada yang tidak beres, Ahok melaksanakan rapat marathon 13 jam setiap hari selama 2 minggu untuk memeriksa kembali KUA-PPAS. Tidak tanggung-tanggung, rapat dimulai jam 9 pagi sampai jam 12 malam, waktu istirahat hanya untuk makan dan shalat.

Bagaimana hasilnya? Ahok menemukan banyaknya pemborosan anggaran dan berhasil memangkas 6,4 triliun. Enam koma Empat triliun itu lebih besar dari mega korupsi E-KTP.

Ini bukan kali pertama Ahok menemukan anggaran siluman. Pada APBD Perubahan tahun 2014, Ahok telah menemukan anggaran siluman untuk pengadaan UPS. Dan anehnya, anggaran UPS kembali masuk dalam Anggaran 2015. Tindakan Ahok ini memicu perseteruannya dengan DPRD DKI. Ahok bahkan sempat pasrah dan terpaksa survive menjalankan programnya karena DPRD DKI mempersulit anggaran.

Akibat aksinya, beberapa anggota DPRD DKI terjerat kasus korupsi UPS, tidak hanya itu beberapa pejabat Pemprov dan perusahaan juga dijerat. Sebagian diantaranya sudah divonis penjara.

Bagaimana dengan penyusunan anggaran Anies-Sandi saat ini?

Dari perkembangan terakhir, proses perancangan anggaran saat ini terkesan kalem, sopan, dan mesra. Tapi justeru ke-kalem-an ini mengundang kehebohan. Dibalik kalem dan mesranya Gubernur dan teman-teman DPRDnya, ternyata ada peningkatan drastis beberapa pos anggaran.


Salah satu anggaran yang menyedot perhatian adalah anggaran Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Rencana anggarannya meningkat sepuluh kali lipat, dari 2,3 miliar menjadi 28 miliar. Tidak hanya itu, rencananya jumlah anggota tim juga akan diperbanyak dari sebelumnya 13 orang menjadi 74 orang.

Di masa Ahok, tim TGUPP ini hanya berjumlah 9 orang, di masa Plt Gubernur Sumarsono meningkat jadi 15 orang, dan di masa Djarot kembali turun menjadi 13 orang.


Saat ditanya wartawan, Anies mengatakan, angka 74 itu muncul untuk memastikan bahwa semua orang yang membantunya dibiayai oleh APBD. Anies malah menuduh tim TGUPP sebelumnya dibiayai oleh swasta. Menurut Anies apa yang ia lakukan justru meneliti anggaran lebih detil dari sebelumnya.

Sayang sekali, Anies melakukan pembelaan dengan cara menyerang gubernur sebelumnya. Padahal kan dialog ilmiahnya bukan seperti itu. Ah, tak perlulah mengajari Anies bagaimana berargumen yang ilmiah, dia kan akademisi, mantan Rektor lagi.

Tapi kan tidak lucu kalau pernyataan tersebut dianggap fitnah dan dituntut balik. Tenang bro, lawan politik Anies tahu, menyerang orang dengan hal-hal yang tidak substansi hanya akan membuang-buang energi yang tidak penting.

Begini, di masa Ahok, ada dua tim yang membantu gubernur: TGUPP dan Staf Pribadi Gubernur. Kedua tim ini disamakan oleh Anies, tapi dua hal berbeda bagi Ahok. Jika TGUPP di masa Ahok diisi oleh pejabat senior dari instansi dan dibiayai oleh APBD di bawah Biro Administrasi Sekretariat Daerah, maka staf pribadi Ahok diisi oleh orang-orang diluar dari instansi. Staf pribadi gubernur ini dibiayai oleh dana operasional Ahok saat itu.

Saya tidak ingin mengikuti spekulasi bahwa jumlah tim yang bengkak ini adalah upaya Anies untuk menampung tim kampanye pada Pilkada lalu. Saya hanya berharap semoga saja kenaikan jumlah pembantu gubernur ini bukan karena gubernurnya tidak bisa bekerja, tapi justru karena ia ingin kerja (dengan banyak pembantu tentunya). Mudah-mudahan hasil kerjanya juga bisa 10 kali lebih baik dari Ahok.

Berbeda dari Anies, wakilnya Sandiaga justru mengaku belum memeriksa secara detil rancangan anggaran untuk pemprov DKI. Sandi mengakui hal itu saat ditanya wartawan tentang anggaran pembasmian kecoa dan tikus di rumah dinas dan balai kota yang mencapai 260 juta. Sandiaga berterimakasih kepada wartawan telah diingatkan.

Selain kontroversi TGUPP, dalam anggaran DKI 2018 juga ada anggaran pengadaan lahan 798,1 miliar. Alhamdulillah, akhirnya lahan rumah DP 0 sudah dianggarkan, meskipun bentuknya rumah susun, bukan rumah tapak seperti yang dijanjikan saat debat kandidat.

Tentu semua anggaran ini tidak hanya untuk Gubernur dan timnya saja, sebagian juga mesti dibagi-bagikan kepada teman-teman Pak Anies di Sekretariat DPRD. Menurut informasi, anggaran yang diajukan untuk dewan sebesar 226,1 miliar, namun saat rapat paripurna, anggaran melonjak menjadi 346,5 miliar. Yah, lumayanlah bagi-bagi rejeki tuhan.

Sekedar pembanding, tahun 2016, anggaran Sekretariat DPRD disahkan sebesar 115 miliar. Sedangkan, tahun 2017 Pemprov DKI Jakarta sepakat mengucurkan 129,3 miliar. Anggaran ini lebih rendah dari perencanaan awal.

Pos anggaran lain di Sekretariat DPRD yang mengalami kenaikan adalah 620 juta untuk renovasi kolam, 542,8 juta guna pemeliharaan kendaraan, dan 571 juta untuk pengelolaan website. Ada juga anggaran untuk membujuk pimpinan dan anggota DPRD untuk rajin hadir saat rapat sebesar Rp 16 miliar yang baru muncul saat pembahasan dengan DPRD.

Selain itu ada juga anggaran jalan-jalan bagi anggota dewan sebesar 107,7 miliar. Menurut Prabowo Soenirman, dari Fraksi Gerindra DPRD DKI, anggota Dewan bisa melakukan kunjungan kerja ke luar kota setiap pekan.


Ya, hubungan Gubernur dan DPRD DKI saat ini memang lagi mesra-mesranya, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang penuh gejolak dan pemangkasan anggaran sana sini. Seperti yang selalu diucapkan pak Anies, menyelesaikan masalah dengan adem, lebih sopan, dan lebih beradab. Begitu kan lebih asyik.

“Tapi kan kenaikan anggaran berkali-kali lipat itu harus dirasionalkan,” ujar teman saya

“Tidak perlulah, jangan memperkeruh suasana, nanti anda dituduh susah move on,” kata saya

“Defisit penganggaran tahun depan masih belum ada solusi, Pemprov DKI harusnya mempertimbangkan efisiensi penggunaan anggaran. Target penerimaan pajak belum tercapai, tapi kok penyertaan modal untuk BUMD malah dipotong” protesnya.

“Sudahlah bro, pahami saja, They Want Their Money Back.”
___
Palu, 27 November 2017
Gambar dari: sini dan sini
Comments
0 Comments