Monday, October 22, 2012

Kebijakan "mengunci" Hutan


“Menanam satu pohon berarti menunda kiamat”, guyonan ini pernah dilontarkan oleh salah seorang aktifis mahasiswa pecinta alam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama Palu, dalam sebuah perbincangan santai di Sekertariat mereka pada medio awal 2010 lalu.

“Meski Tuhan telah menetapkan kiamat akan datang esok hari, tetaplah menanam pohon hari ini”. Ucap pria yang akrab disapa Nejo itu disambut argumentasi ringan dari teman-temannya. Tak ada istilah REDD yang terucap kala itu, namun kalimat itu menjadi relevan menggambarkan tujuan REDD.

Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) merupakan inisiatif  global yang bertujuan mengurangi tingkat emisi berbahaya di atmosfir bumi. Melalui UNFCC, sebuah kerangka kerja PBB untuk menurunkan emisi bumi, skema REDD muncul pada pertemuan (COP) ke-13 di Bali tahun 2007 silam.

“Saat ini belum ada yang ahli soal REDD, sebab perundingan belum berakhir”, ucap Marcus Colchester di sela Workshop REDD yang dilaksanakan Yayasan Merah Putih (YMP) Palu bulan Juni 2010 lalu. Namun secara sederhana REDD dapat dipahami sebagai solusi pengurangan emisi bumi dengan cara menghentikan pengundulan dan memperbaiki fungsi hutan.

Dengan begitu hutan dapat berfungsi maksimal menyerap karbon berbahaya dari aktifitas mahluk hidup utamanya manusia. REDD muncul dari kesadaran bersama beberapa Negara atas kerusakan lingkungan global. Negara maju menghasilkan emisi dari aktifitas industrinya, sedangkan Negara berkembang menghasilkan emisi dari pembakaran dan penggundulan hutan.

Skema REDD kemudian ditawarkan kepada Negara berkembang untuk menebus kesalahannya merusak hutan. Sementara Negara maju akan menyediakan sejumlah dana untuk membiayai program ini juga sebagai pertangungjawaban atas emisi yang mereka hasilkan. Tak kurang dari 30 miliar dolar AS atau sekitar 300 triliun rupiah telah disiapkan oleh Negara maju untuk program mitigasi dan adaptasi tersebut. Jumlah ini akan bertambah menjadi 100 miliar dolar AS pertahun pada tahun 2020. 

Namun yang mengejutkan, keraguan dan penolakan justru datang dari beberapa aktifis dan organisasi lingkungan. Kenapa mereka menolak program yang tujuannya melestarikan lingkungan ?

Umumnya aktifis lingkungan menilai pemerintah masih latah berbicara terkait lingkungan. Masih banyak hal yang mesti diperhitungkan sebelum masuk pada implementasi REDD, proteksi hutan pastinya akan berdampak pada kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang sangat bergantung pada sumberdaya hutan.

Jika tidak dirundingkan bersama, kebijakan ini akan menuntut “penguncian” hutan dari segala macam aktifitas. Lalu bagaimana posisi masyarakat adat yang hidupnya bergantung pada hutan, atau aktifitas penelitian dan pendakian oleh pegiat alam bebas.

Jumlah dana yang besar dicurigai menjadi pemicu perubahan mendadak kebijakan pemerintah terkit lingkungan. “Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah siapa yang akan diuntungkan dari skema REDD ini” ungkap Rahmat Hidayat, Alumni Green Student Movement (GSM) Walhi Institute.

Disarikan dari Majalah SILO Yayasan Merah Putih, Palu.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment