Friday, October 26, 2012

Ironi Darah, Daging, dan Adab

Idul Adha, atau hari raya Qurban, atau hari raya Haji, atau juga Lebaran Ketupat, adalah hari raya dimana umat muslim mengenang kembali perjuangan Nabi Ibrahim. Dalam kisahnya, seorang yang dijuluki bapak agama samawi inilah yang membangun Ka’bah, titik sentral rotasi manusia saat ber-haji, titik dimana seluruh umat Islam menghadapkan wajahnya saat sembahyang.



Ibrahim juga dikenal sebagai salah satu nabi yang mendapat ujian luar biasa berat dari Tuhannya. Ia dikaruniai anak bernama Ismail, setelah berdoa dan memohon selama ratusan tahun. Diusia remaja, Ibrahim mendapat perintah menyembelih Ismail sebagai ujian ketaatannya kepata Tuhan. Inilah simbol dan semangat Qurban hingga hari ini.

Namun saya tidak ingin mengulangi kisah Ibrahim dan bagaimana ia menyembelih Ismail, saya tidak ingin menulis kembali apa yang telah disampaikan khatib dalam khotbahnya dihampir seluruh masjid pagi ini. Saya ingin bercerita tentang prosesi, adat, dan kebiasaan yang unik bahkan ironis saat penyembelihan hewan dibeberapa daerah. Ini tidak ada hubungannya dengan hari raya Qurban, kebetulan saja pengalaman itu saya temui diwaktu yang bersamaan.

Pengalaman pagi ini mengingatkanku pada kritikan yang muncul beberapa waktu lalu bahwa tata cara penyembelihan hewan di Indonesia tidak manusiawi atau kejam. Ya, pagi ini saya mendapatkan pengalaman unik sekaligus bergidik.

Saat tuduhan penyembelihan di Indonesia kejam, saya merasa tuduhan itu berlebihan sebab di daerah saya di Palu, Sulawesi Tengah, hewan diperlakukan dengan baik. Sebelum disembelih hewan harus dalam keadaan kenyang. Kepala, kaki dan beberapa bagian tubuhnya dibasuh dengan air, dibaringkan dengan kaki terikat, disembelih dengan parang yang sangat tajam dengan catatan sekali sembelih, setelah parang diangkat, tidak boleh disembelih lagi. Hewan kemudian dibiarkan beberapa saat, setelah lemas, ikatan kaki dibuka, kemudian dibiarkan lagi. Setelah dipastikan sudah benar-benar tak bernyawa, kemudian dilakukan proses selanjutnya. Memang tidak semua prosesi penyembelihan di daerah saya sama. Tapi umumnya, umat Islam di sana menyembelih hewan seperti itu, karena memang seperti itu adab yang diajarkan.

Tahun 2009 silam saya berkesempatan untuk melihat prosesi penyembelihan hewan di Palanhgkaraya, Kalimantan Tengah, juga kebetulan saat hari raya Qurban. Prosesinya hampir sama dengan daerah saya, uniknya mereka agak kerepotan mengikat dan merebahkan Sapi. Di halaman Masjid yang tidak terlalu luas, puluhan orang mengerubuni seekor sapi dengan tali temali yang rumit, beberapa ekor sapi malah sempat mengamuk dan terlepas sebelum dapat dibaringkan dan berakhir dengan Mandau.

Idul Adha tahun 2011 saya lalui di Ciputat, Tangerang. Sayangnya saya melewatkan prosesi penyembelihan Qurbannya.

Hari ini saya berada di daerah Geger Kalong, Bandung. Pagi tadi, setelah melaksanakan sholat Id dengan khotib yang menggebu-gebu, tersedu-sedu, hingga tersenyam-senyum, saya tak melewatkan kesempatan melihat prosesi penyembelihan hewan Qurban. Memang saya melewatkan prosesi pengikatan, sayang, tapi tampaknya orang-orang disini cukup terlatih, mereka hanya menggunakan seutas tali kemudian merebahkan seekor sapi dewasa diruangan sempit seukuran 2 kali 5 meter. Saya hampir tidak bisa berpikir mereka bisa melakukannya, atau mungkin sapinya yang sudah jinak. Di daerah saya juga menggunakan seutas tali, tapi dengan ruangan sesempit itu, sulit jika sapinya biasa bekerja membajak dan terbiasa merumput sendiri.

Ketika saya datang penyembelihan sementara berlangsung. Juru sembelih menggunakan Parang, atau mungkin lebih tepatnya pisau panjang yang pastinya tajam, sebab dimana-mana, penyembelihan tampaknya menjadi ajang mengeluarkan “senjata” masing-masing yang paling tajam. Tidak seperti di daerah saya atau di Palangkaraya, disini alat sembelih dipegang terbalik, besinya berada dibawah, seperti hendak menghujam tanah.

Setelah tenggorokan dan saluran-saluran yang ada dileher sapi bagian bawah terputus, juru sembelih kemudian berdiri. Penonton, termasuk saya, anak-anak, orang tua, laki, perempuan, terpukau. Sebagian merekam dengan kamera handphone-nya, sebagian menutup mulut, sebagian tersenyum, sebagian berbincang, sebagian anak malah bermain girang ditangga masjid menyaksikan dari atas.
Seekor sapi memang akan memakan waktu 10 bahkan sampai 15 menit setelah disembelih untuk benar-benar, mati rasa, mati saraf, dan mati raga. Lima menit saya berada dilingkaran itu, menunggu proses selanjutnya, juga menunggu kemungkinan mendapatkan jatah daging. Tiba-tiba seorang yang lebih tua maju, perbincangan singkat dalam bahasa Sunda terjadi dengan juru sembelih yang lebih muda, ia mengeluarkan pisau pendek, memegang kepala sapi dan menyayat leher bagian belakang sapi. Dari isyarat perbincangan singkat itu, tampaknya hal itu perlu dilakukan agar kepala sapi tidak berontak atau bergerak lagi.

Saya terkejut, saya bahkan tak bisa membuat mata saya tetap disana. Bagaimana bisa, bagaimana mungkin, sapi itu masih hidup, masih bergerak, masih berontak. Urat sarafnya masih bekerja, belum mati rasa, belum mati raga. Bukankah ini sama dengan menyembelih 2 kali.
Pandangan saya arahkan ke sekeliling, mencoba mencari penjelas. Para penonton, para sesepuh, para ahli dan juru sembelih tampak tidak risih dengan ini. Sebagian malah melanjutkan perbincangan. Apa iya ini sudah biasa terjadi, apa iya setelah urat leher bagian bawah terputus masih perlu memutuskan urat leher bagian atas.

1 menit lebih orang tua itu disana, kemudian ia berdiri. Tampaknya ia mendapatkan kesulitan, mungkin untuk memisahkan kepala sapi atau sekedar memutus urat lain. Beberapa perbincangan lagi terjadi, dan mungkin ia akan melanjutkannya lagi.

***

Ini memang tidak berkaitan dengan hari raya Qurban, ini tentang prosesi penyembelihan secara umum. Kalaupun dikaitkan dengan perjuangan Ibrahim, bukankah hewan qurban harus diperlakukan sebaik mungkin, sebagaimana Ibrahim memperlakukan Ismail anaknya sebelum disembelih. Sebelum pedangnya menyentuh leher Ismail dan akhirnya diggantikannya dengan Domba oleh Tuhannya.

Entahlah, saya keluar dari kerumunan, tak ingin menlihat kelanjutannya. Saya berjalan menuju kamar kos yang hanya berjarak seratusan meter dari Masjid. Pupus harapan makan daging hari ini.


___
Geger Kalong, 26 Oktober 2012
Selamat Hari Raya Idul Adha
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment