Perang informasi dan propaganda media menjelang Pemilu Presiden 2014 makin menarik. Sebagian gila. Halaman sosial media tidak pernah lepas dari postingan seputar Prabowo atau Jokowi. Nama-nama ini juga betah nongkrong di etalase headline media cetak dan portal berita online. Tidak ada tempat sembunyi. Pengap. Hingga saya larut di dalamnya.
Ini tulisan kedua saya setelah lama menahan diri untuk tidak latah membahas polemik seputar pemilu. Tulisan pertama saya selesai tiga hari lalu.
Ada hal menarik dari pemilu presiden kali ini, yakni hanya dua kandidat calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung. Kondisi ini mau tidak mau memposisikan pendukung kedua kubu head to head, pusaran pertarungan pun menguat, menyedot orang yang tidak paham politik sekalipun untuk terlibat di dalamnya.
Dalam sejarah peperangan, mesti ada hukum atau aturan yang disepakati. Konferensi Jenewa menjadi momen kesepakatan aturan perang internasional. Jauh sebelum itu, perang Baratayuda dalam epik Mahabharata sudah mempraktekkan aturan perang yang mengikat. Dataran Cina, Arab, dan Yunani pun telah menjalankan aturan perang jauh sebelum PBB mengadakan pertemuan di Jenewa.
Sayang politik perebutan kursi presiden tidak memiliki aturan perang yang jelas. Demokrasi yang telah berjalan 15 tahun ternyata belum juga matang. Memang sulit, saat prajurit yang akan terlibat dalam pertempuran tidak bisa terkontrol, bahkan oleh kandidat itu sendiri. Tim-tim pemenangan menjalankan strategi beragam di medan tempur. Relawan dan pendukung pribadi juga turut meramaikan. Al hasil debat, hujat, hina, dan puji pun sahut menyahut.
Baca Juga: Pemilu Presiden, Kelucuan yang Mengharukan
Islam KTP, keturunan Cina, surat nikah palsu, disorientasi seksual, menjadi peluru-peluru tajam yang menggelikan. Dalam hukum perang internasional, mungkin kampanye seperti ini masuk dalam jenis senjata yang dilarang seperti Cluster Bomb, White Phosporus, atau Agent Orange yang bertanggung jawab atas kematian ratusan ribu warga Vietnam saat melawan Amerika.
Disatu sisi, perdebatan ini menunjukkan perhatian publik terhadap politik dan masa depan negeri ini masih tinggi, di sisi lain kampanye hitam yang massif tanpa memperdulikan kebenaran sumber informasi secara tidak sadar telah melemahkan demokrasi. Ketika batas fakta dan fiksi dalam kampanye kabur, demokrasi terancam. Pesta demokrasi yang harusnya menjadi ajang pendidikan politik bagi masyarakat akan berubah jadi kenduri kematian bagi demokrasi itu sendiri. Di titik ini para punggawa kebijakan harus turun tangan.
Sayang mereka teramat langka ditemui. Banyak dari para alim, petapa, rahib, sufi, dan pemburu kebijakan lain ternyata sudah berada dalam barisan perang. Tak pelak lagi pengikut fanatik tokoh-tokoh kharismatik ini pun larut dalam bendera kubu kandidat yang bertarung. Bermain propaganda, berkicau dan berstatus di media sosial, menyiapkan argumen sebagai peluru-peluru cadangan. Media Sosial dan kolom komentar dalam portal berita menjadi medan tempur yang banyak digemari. Di masyarakat tingkat bawah, warung kopi dan warung gorengan menjadi tempat jual beli argumen.
Satu hal yang menurut saya fair dalam hiruk pikuk pertarungan ini adalah kedua kubu memiliki media televisi yang menjadi corong masing-masing. Jika ingin tahu ketegasan Prabowo dan Hatta Rajasa bukalah TVOne, jika ingin lihat kesederhanaan Jokowi dan Jusuf Kalla pastikan anda di MetroTV. Sederhana.
Saya tidak tahu bagaimana jadinya jika kedua stasiun ini berada dalam satu koalisi, kemungkinan pelanggaran aturan perang akan bertambah. Dan punggawa kebijakan? Kita berharap masih ada stok yang tersisa untuk menetralisir.
Baca Juga: Akhirnya Memilih
Sekali lagi, demokrasi kita tidak lagi berada dimasa transisi, harusnya. Kurun waktu 15 tahun sudah cukup untuk melangkah menuju demokrasi yang lebih matang. Saya merindukan datangnya hari itu, dimana generasi menjelma kontributif, tidak lagi masuk dalam pusaran debat para tetua yang tidak substansi.
____
Palu, 24 Mei 2014
Dimuat di koran harian Palu Ekspres edisi 26 Mei 2014
Foto: koleksi pribadi