Kita tentu ingat panasnya persaingan Pilpres 2014 lalu, dimana isu Ras dan Pribumi juga mengemuka. Jokowi diserang dengan isu Ras bukan pribumi. Bahwa ia berasal dari keluarga Tionghoa, gambar meme-nya pun masih banyak tersisa di internet.
Pertarungan Pilkada DKI yang dimenangkan Anies-Sandi beberapa bulan lalu juga kental dengan isu SARA. Maklum, Anies bertarung dengan Ahok, seorang keturunan Tionghoa non Muslim. Hasilnya, Anies memetik kemenangan "manies" setelah Ahok babak belur dihantam isu SARA.
Senjata ini sepertinya masih menjadi andalan dalam pertarungan politik kedepan, khususnya Pilpres 2019 nanti.
Baca Juga: DAN HARI ITU PUN DATANG JUA
Sebenarnya Anies mengeluarkan pernyataan yang kontradiksi dalam pidatonya. Dalam pidato itu Anies mengatakan Jakarta sebagai Melting Pot, artinya kota ini menjadi tempat berbaurnya berbagai etnis. “Seperti Amerika” kata Anies, bahwa semua etnis dari seluruh dunia berkumpul dan hidup rukun di sana. Tapi disisi lain Anies menyatakan bahwa sudah saatnya “Pribumi” menjadi raja di tanah sendiri.
Apakah Anies ingin Jakarta hidup rukun dengan berbagai etnis, atau ingin adanya pengelompokan etnis yang dapat memicu konflik? Hanya Anies yang tahu maksud pernyataanya.
Baca Juga: Daftar Janji Kampanye Anies-Sandi
Tapi kita juga perlu tahu, apakah konteks makna pribumi yang disampaikan Anies dalam pidatonya. Jika yang dimaksud adalah “Penduduk Asli Indonesia”, pertanyaannya kemudian siapakah penduduk asli Indonesia itu.
Penelitian tahun 2017 ini membuktikan bahwa dari jejak DNA, semua penduduk Indonesia saat ini adalah imigran. Ada percampuran India, China, Eropa, bahkan dari sejarah imigrasi penduduk, di Indonesia telah bertemu gelombang imigrasi dari Afrika, Yunan, Vietnam, dan Taiwan. Jadi penduduk Indonesia asli telah punah.
Jika yang Anies maksud adalah penduduk suku asli yang mendiami nusantara saat ini, isunya juga akan blunder. Kenapa? Karena Anies sendiri adalah keturunan Arab yang tentu bukan “Pribumi” suku asli saat ini. Dalam situasi seperti ini tak heran kalau banyak orang menganggap Anies memainkan isu “Pribumi” hanya untuk dijadikan senjata politik bernama Politik Identitas. Politik yang mengklaim dirinya mewakili kelompok tertentu, umumnya kelompok mayoritas. Saya lebih suka menyebutnya Seakan-akan dan seolah-olah.
Dalam demokrasi tentu ini tidak salah. Tapi kalau dampaknya bisa mempertajam perbedaan dan memecah masyarakat dalam kelompok-kelompok, dan identitas-identitas tertentu, maka hal ini tidak saja berbahaya bagi demokrasi tapi juga bagi Negeri ini.
Kalau kita mencermati lebih detil lagi, kata “Pribumi” yang dibangga-banggakan oleh Anies, sebenarnya berasal dari kata “Inlander” yakni sebutan Belanda kepada jongos atau pekerja Indonesia dengan strata kedudukan paling rendah di zaman VOC. Dengan kata lain, “Pribumi” adalah istilah penghinaan oleh Belanda kepada rakyat Indonesia saat itu.
Inilah mungkin sebabnya, kenapa pemerintah sejak era Presiden BJ. Habibie telah melarang penggunaan istilah ini. Pelarangan ini pun dipertegas lagi dalam UU No. 40 tahun 2008.
Tokoh politik seperti Amien Rais yang juga pendukung Anies Baswedan saja pernah mengatakan dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa bahwa mental inlander harus dibasmi, karena mental inilah yang merusak negara.
Baca Juga: AHOK YANG TETAP DIBENCI
Nah, sekarang pertanyaanya: Pribumi mana yang anda maksud Pak Anies?
___
Palu, 20 Oktober 2017
Gambar dari sini dan sini