Menarik mengikuti perkembangan politik Indonesia saat ini. Banyaknya hal baru menjadikan ia menarik. Ruang bagi publik pun diperlebar, masyarakat semakin ingin terlibat, dari usulan nama-nama dalam komposisi kabinet baru nantinya hingga sebatas mendiskusikannya di warung-warung kopi. Untuk usulan nama dalam kabinet, kita bisa lihat situs-situs yang menampung aspirasi publik.
Namun namanya sesuatu yang baru, pasti menuai kontroversi, sebab lumrahnya kita akan merasa risih jika sebuah kebiasaan ditabrakkan dengan perubahan mendadak. Hal ini juga berlaku dengan budaya baru yang coba dibangun oleh presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK. Pernyataan paling anyar yang sedari awal dilontarkan Jokowi menjadi kunci polemik dan dinamika politik menjelang masa transisi. “Koalisi tanpa syarat” meniscayakan pemahaman politik non transaksional yang berarti tak ada jual beli posisi atau bagi-bagi kekuasaan dalam kabinet. Tak hanya itu Jokowi kembali menyatakan, “Ketua Partai tidak boleh jadi menteri.” Praktis hal ini memicu pandangan sinis baik dari kubu lawan maupun kubu pendukung.
Bukan tanpa alasan, transaksi kekuasaan selama ini telah membudaya dalam politik Indonesia. Jokowi yang berasal dari generasi baru politik negeri ini sudah mengambil langka-langkah melawan arus semenjak awal karir politiknya menjadi wali kota Solo periode 2005-2010. Untuk menjalankan konsepnya, Jokowi membentuk Tim Transisi yang bertugas menyiapkan segala sesuatu sebelum pemerintahan baru dilantik tanggal 20 Oktober mendatang.
Polemik tak berhenti sampai disitu, Jokowi bersama tim transisi semakin mengetatkan seleksi menterinya. Rencana kabinet ramping mencuat, jumlah menteri yang sebelumnya 34 menteri dipangkas sesuai kebutuhan. Jumlah ini pun harus diisi oleh orang-orang pilihan yang memenuhi syarat tertentu diantaranya Berani, Bersih, memiliki skill managerial dan integritas yang tinggi.
Beberapa pengamat politik dan kalangan akademisi mendukung langkah yang diambil Jokowi. Pakar komunikasi politik Effendi Ghazali misalnya menyatakan "Jokowi membutuhkan orang yang memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, berkompetensi, bersih dan mau melayani," Lantas seperti apa tanggapan partai pendukung dan partai di luar koalisi Jokowi.?
Baca Juga: Jokowi Refleksi Enam Bulan
Koalisi Berguncang
Langkah ini tentu akan menyulitkan Jokowi dalam menambah dukungan politik di DPR, seperti yang diketahui koalisi Jokowi-JK masih kalah jumlah di parlemen. Suatu hal yang sedikit banyaknya akan menjadi tantangan bagi pemerintahan baru nanti sebab di beberapa level, kebijakan pemerintah akan bergantung pada keputusan dan persetujuan dewan.
Awalnya beberapa partai yang berseberangan ditengarai mulai mendekat pada kubu Jokowi, sebut saja Partai Demokrat dan PPP. Namun kondisi itu berubah saat Jokowi berusaha konsisten dengan politik non transaksi-nya. Partai Demokrat akhirnya memutuskan sikap setelah pertemuan SBY dan Jokowi di Nusa Dua Bali, 27 Agustus lalu berakhir anti klimaks. Tak ada yang tahu pasti apa hasil pertemuan tersebut, namun Partai Demokrat telah meneguhkan posisi sendiri sebagai penyeimbang, berada di luar dua kubu. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Max Sopacua, dalam sebuah talk show di salah satu TV swasta menyatakan tidak mungkin ada politik tanpa transaksi. Menurutnya produk utama dari politik adalah kekuasaan, olehnya mendukung penguasa tanpa mendapat kekuasaan tidaklah masuk akal.
Begitu pun PPP yang memutuskan tetap berada dalam koalisi Merah-Putih. Sekretaris Majelis Pakar PPP Ahmad Yani bahkan menyatakan partainya hanya akan buang-buang waktu bernegosiasi dengan Jokowi jika tak ada peluang untuk masuk kabinet. Namun dalam politik semua kemungkinan bisa terjadi, apalagi jika arah ideologi partai tidak begitu kuat. Beberapa elit partai PPP melakukan manuver untuk mempercepat MUNAS untuk mengganti ketua umum partai Surya Dharma Ali yang saat ini menjadi tersangka korupsi. Selain mengganti ketua umum, jika MUNAS jadi dilakukan tidak menutup kemungkinan akan membahas perubahan arah koalisi, dari sebelumnya partai pertama yang mendukung Prabowo menjadi partai yang bergabung dalam koalisi Jokowi-JK.
Manuver terbaru malah lebih mengejutkan. Hatta Rajasa yang pada Pemilu Juli lalu menjadi calon wakil presiden Prabowo, pada senin malam awal september ini melakukan pertemuan dengan Jokowi di kediaman Surya Paloh Ketua Umum partai NASDEM. Tidak lama berselang koalisi Merah-Putih juga melakukan kunjungan ke kediaman Presiden SBY yang juga sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Tampaknya parlemen (DPR RI) menjadi ajang baru bagi kedua kubu untuk mengumpulkan kekuatan. Langkah Jokowi untuk berpolitik minim transaksi – jika non transaksi sulit dilakukan – membuat partai yang masih nyaman dengan tradisi lama, mau tidak mau harus mengambil sikap berada diluar kekuasaan eksekutif (Kabinet).
Titik Persinggungan
Koalisi tanpa syarat atau politik non transaksi menjadi awal baru tradisi politik di Indonesia sekaligus menjadi titik persinggungan partai politik pendukung yang pada masa kampanye tampak begitu solid. Muhaimin Iskandar ketua umum PKB sempat menolak pernyataan bahwa ketua umum partai tidak bisa masuk kabinet. Namun Jokowi bergeming, tetap kukuh dengan pilihannya, meski bayaran yang akan ia lunasi bisa sangat mahal.
Melakukan perubahan di negara yang sudah nyaman dengan budaya lama memang tidak mudah. Jokowi-JK perlu berhati-hati jika tak ingin jalannya roda pemerintahannya kandas oleh kekuatan kubu lawan diberbagai level, mulai dari pendukung fanatik di masyarakat hingga kekuatan di Parlemen. Belum lagi persoalan APBN yang menyisakan ruang sempit bagi pemerintahan baru untuk berimprovisasi. Rancangan APBN 2015 yang disusun oleh SBY-Boediono berada pada angka Rp 2.019 triliun. Dari jumlah itu, beban subsidi mencapai Rp 433 triliun dan pembayaran bunga utang Rp 154 triliun. Beban subsidi terbesar adalah BBM, BBN dan elpiji, mencapai Rp 246,49 triliun. Sementara itu, subsidi listrik mencapai Rp 72,42 triliun (Sinar Harapan, 28 Agustus 2014). Hasilnya hanya 39 persen APBN yang bisa dimaksimalkan Jokowi-JK untuk menjalankan visi-misinya.
Ruang gerak yang terbatas memang, tapi masyarakat tetap berharap sebuah pemerintahan baru dengan semangat baru dan terobosan baru. Masyarakat sudah jenuh dengan jualan slogan anti korupsi dan segala tetek-bengek yang mengikutinya. Koalisi tanpa syarat tentu bukanlah sebuah perubahan yang bisa mengobati kejenuhan masyarakat, apalagi akar rumput yang masih bingung dengan ketidakpastian rejeki hari ini. Tapi cukuplah itu menjadi awal baru, angin segar menuju pelantikan, masih banyak terobosan yang bisa diharapkan nantinya. Namun kembali lagi, sesuatu yang baru pasti menuai penolakan dari mereka yang telah nyaman dengan budaya lama.
Baca Juga: Anda Sadar Tidak Pak?
Jokowi-JK dan timnya sepertinya belum bisa bermimpi indah. Sekali lagi keberanian dan kepiawaian politik mantan Wali Kota terbaik dunia ini akan diuji.
___
Palu, 2 September 2014
Ilustrasi Gambar: keuangan.kontan.co.id