Sisa terik siang masih terasa, aku duduk di atas motor, berteduh di bawah pohon Beringin di halaman ini. Sudah tujuh menit semenjak ia berpamitan, tak selama ini sebelumnya. Lelakiku, seorang berdada bidang dengan pundak dan lengan yang kokoh. Semakin lama, aku semakin tak sanggup berpisah jauh darinya, setiap hari bahkan setiap malam aku ingin berada di dekatnya.
Sore ini kami harus menemui teman-teman yang telah menunggu di pinggir pantai Talise, teluk Palu. Dedi dan Icha, Adi dan Nia, Imank dan Mita serta Aku dan Lelakiku tentunya. Untuk ukuran kota kecilku, Pantai Talise memang tempat yang tepat untuk nongkrong sore apalagi malam hari. Aku sudah tak sabar berkumpul dan bercanda dengan teman-teman.
Nah itu dia datang, tampaknya cuma ia seorang yang berada dalam bangunan besar itu. Tanpa basa-basi ia langsung menghidupkan motor, seperti itulah ia. Tak banyak basa-basi. Menggemaskan.
Malam Minggu sebelumnya saat dinner sederhana kami di pantai Talise ia mengutarakan keinginannya menikahiku bulan depan, lututku sampai gemetar mendengarnya. Sungguh pria romantis.
Motor kami merayap pelan, kulingkarkan tanganku pada pinggangnya, tangan kekarnya mengelus halus. Ah, rindu dan gemasku membuncah, aku hampir menggigit bahunya. Tapi tidak, biarlah aku merasakan sebatas tangan kekarnya yang dingin setelah dibasuh air suci dari bangunan berkubah besar tadi. Sudah cukup kecerobohan sebelumnya.
Tak begitu romantis memang, tapi Ngabuburit kali ini mesti sempurna.
___
Palu,
05 Agustus 2011
05 Ramadhan 1432 H
Nemu tulisan lama
Ilustrasi gambar: tempo.co