Friday, October 19, 2018

RAMAI-RAMAI CUCI TANGAN SAAT BENCANA



Matahari saat itu sedang berada di titik klimaksnya ketika aktifitas warga kota Palu dikacaukan oleh gempa berkekuatan 6,5 skala richter. Pada kamis siang itu, 1 Desember 1927, penduduk yang bermukim di kota teluk ini berlarian keluar rumah. Aktifitas pasar dan dermaga kota kecil ini terhenti.

Akibat gempa, pasar dan kantor kecamatan Biromaru rusak total. Di Donggala kantor pemerintahan juga roboh. Tak berapa lama warga menjerit panik, mereka berlarian dari arah pantai. Terlambat, “Air berdiri” setinggi 15 meter meluluhlantakkan teluk Palu yang mungil.

Rumah penduduk di pesisir hancur diterjang tsunami, 14 orang meninggal dan 50 orang terluka. Bagi kota kecil dengan penduduk yang belum terlalu padat, jumlah 14 itu sudah bisa membuat orang-orang tercengang. Sesar Palu Koro memperlihatkan wujud bengisnya.


Hanya berselang 10 tahun tsunami kembali menghempas, kali ini di wilayah Parigi. Tsunami 1938 tercatat menghancurkan 900 rumah dan merenggut 16 jiwa. Pelawa dan Marantale menjadi titik kerusakan terparah.

Tahun 1968 desa Mapaga di pesisir barat leher sulawesi tenggelam ke dasar laut karena gempa dan tsunami. Di desa Tambu, tsunami menaiki daratan sejauh 500 meter. Sebanyak 800 rumah hancur dan 200 orang meninggal. Sesar Palu Koro kembali menampakkan wujudnya.

Tahun 1996 gempa kembali mengguncang, kali ini di Donggala. Desa Tonggolobibi dan Bangkir di sisi barat leher sulawesi dihempas tsunami.

Lalu tahun ini, 91 tahun setelah tsunami 1927, gempa dan tsunami menghantam Palu-Sigi-Donggala menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang massif. Dua kelurahan tenggelam kedalam lumpur dan tanah. 

Tsunami meratakan desa Loli, meremukkan truk-truk perusahaan tambang galian C, memporak-porandakan kompleks pergudangan Mamboro, memutus jembatan lungkung teluk Palu yang anggun. Diperkirakan korban jiwa mencapai 10 ribu, meski yang tercatat sementara baru 2000an.

Baca Juga: PETAKA

Lalu kita begitu heboh, seolah ini baru pertama kali. Rekam jejak amuk sesar Palu Koro selama ini seakan tak berbekas. Tanah air di tengah Sulawesi ini seakan tak pernah dilanda bencana sebelumnya. Dosa akhirnya jadi tersangka utama penyebab bencana. Korban-korban meninggal yang sebagian besar terkubur bersama rumahnya dituduh pendosa. 

Air mata duka keluarga belumlah kering saat tudingan itu bermunculan di media sosial. Orang tua, remaja, anak, hingga bayi yang terkubur dan terhempas tsunami mereka jadi terdakwah, mereka penyebab petaka yang wajar untuk ditenggelamkan. 

Dalil sahihnya tuduhan itu adalah ajaran Agama. Pertimbangan lain seperti qadha dan qadar tidak berlaku. Pokoknya mereka pendosa titik.


Kedudukan prasangka hari ini menjadi lebih tinggi dari anjuran untuk menghibur saudara yang tertimpa musibah. Petobo dan Balaroa dikait-kaitkan dengan kota Sodom dimana ummat Luth bermukim. Mereka pendosa.

Sampai disini saya takjub dengan keunikan manusia. Salah satunya mudah  lupa dan malas. Lupa akan sejarah bencana negeri ini, ditambah malas berpikir dan menganalisa. Penyebab bencana bisa sangat beragam. Dalam keyakinan saya, boleh jadi intervensi langsung tuhan, boleh jadi tidak.

Baca Juga: JANGAN FITNAH TUHAN

Tapi disini, musibah jadi ajang mencuci dosa. Banyak yang sibuk menjadikan dirinya suci sembari mengarahkan telunjuk durjana ke arah korban.

Sudahkah kalian mencuci dosa hari ini...??


Palu, 19 Oktober 2018
Gambar ilustrasi dari sini
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment