Ku ingin mengenangmu dikala hujan.
Seperti romansa-romansa yang mengharu biru itu
Seperti romansa-romansa yang mengharu biru itu
Tapi kau hadir dikala terik.
Selalu begitu.
Ketika matahari jingga berubah kuning.
Selalu begitu.
Ketika matahari jingga berubah kuning.
Kuingin mengadukmu dalam pekatnya kopi hitamku,
agar dirimu lebur dalam kafein, menyusup dalam tiap detakku yang berdenyut.
agar dirimu lebur dalam kafein, menyusup dalam tiap detakku yang berdenyut.
Namun malam ini aku malah memilih Cappucino panas.
Bukan karna potongan kisah penjajahan Pasha Turki di Wina, tapi karna bosan saja dengan yang rutin.
Bukan karna potongan kisah penjajahan Pasha Turki di Wina, tapi karna bosan saja dengan yang rutin.
Baiklah
Aku punya rokok di tangan yang konon cita rasanya klasik dan maskulin.
Aku punya rokok di tangan yang konon cita rasanya klasik dan maskulin.
Bagaimana kalau ku ikat saja dirimu di batang rokok ini agar kau bisa berakhir di asbak.
Sepertinya itu lebih masuk akal.
Sepertinya itu lebih masuk akal.
Agar tak ada lagi keinginan yang mengharu biru.
Yang berdenyut itu.
Yang menjingga itu.
Yang berdenyut itu.
Yang menjingga itu.
Karna hidup sebenarnya normal-normal saja tanpa itu semua.
Berbahagialah dalam asbak.
Karena mungkin itu sudah tersurat dalam Lauhul Mahfudz.
Berbahagialah dalam asbak.
Karena mungkin itu sudah tersurat dalam Lauhul Mahfudz.
___
Palu, 13 Maret 2019
Percayalah, meraba kembali kata-kata itu sulit dan menjengkelkan.
Gambar: koleksi pribadi