Tadi pagi saya berkeinginan untuk menulis lagi, kali ini fiksi. Lama sudah saya tidak berfiksi ria. Setelah “Sajak Putu Asa” yang saya tulis 3 Mei lalu di Kompasiana, sampai sekarang saya masih kesulitan menemukan kembali imaji menulis. Maka untuk memancing kembali imaji itu saya mencoba membuka file lama di mana saya menyimpan beberapa tulisan Kompasianer favorit saya kala itu.
Diantara nama-nama yang muncul adalah Ramdhani Nur, Naim Ali, Nuraziz Widayanto, Nathalia, dan Winda Krisnadefa. Saya mulai melihat beberapa judul tulisan mereka dan berhenti di nama terakhir. “Coklat untuk Aisyah dan Nasi Kotak untuk Kristin” itulah judul tulisan Winda Krisnadefa yang sangat berkesan bagi saya saat pertama membacanya sekitar 4 tahun lalu (seingat saya).
Alih-alih mendapat semangat dan menulis kembali, saya malah mencoba mengintip tulisan ini di Kompasiana. Beberapa menit kemudian saya bingung tulisan itu tidak ada di Kompasiana. Saya coba lagi buka profil Winda Krisnadefa, hasilnya nihil. Winda hanya memiliki 18 tulisan. Tulisan terakhirnya tertanggal 22 November 2012. Saya tidak pernah mengadakan kontak langsung dengan Winda, tidak seperti Ramdhani Nur yang sempat komen mengomentari tulisan.
Karena saya tidak mendapatkan tulisan itu di Kompasiana olehnya saya memunculkannya di sini. Sayang saja tulisan sebagus ini hilang begitu saja. Apalagi cara penyampaian pesannya bagi saya indah dan dalam.
___
Coklat untuk Aisyah dan Nasi Kotak untuk Kristin [RECOVERY]
“Untuk kamu,” ujarnya sambil menyodorkan sekotak coklat berpita merah.
“Terima kasih.” Tangannya menerima coklat itu tanpa merasa perlu bertanya ada apa dan untuk apa pemberian itu.
Tak perlu ada alasan antara sahabat untuk saling memberi, bukan?
oooOOOooo
“Untuk kamu dan keluargamu,” ujarnya sambil menyodorkan tiga kotak makanan dari kertas dus berwarna putih.
“Terima kasih.” Tangannya menyambut kotak putih berisi nasi beserta lauk-pauknya itu tanpa merasa perlu untuk bertanya ada apa dan untuk apa pemberian itu.
Tak perlu ada alasan antara sahabat untuk saling memberi, bukan?
oooOOOooo
Kristin anak seorang pendeta dan Aisyah anak seorang ustad. Keduanya sudah bersahabat sejak mereka baru bisa menjejakkan kaki di tanah tanpa pegangan tangan sang ibu. Setiap saat, setiap ada kesempatan, setiap ada perayaan, mereka selalu berbagi kebahagiaan bersama.
Bukan, bukan ikut saling merayakan hari-hari besar masing-masing kepercayaan mereka yang berbeda itu. Mereka berbagi kebahagiaan melalui kiriman-kiriman sederhana yang bermakna ‘aku ingat kamu, sahabatku, saat aku sedang berbahagia merayakan hari besarku’.
“Coklatnya enaaaak…,” kata Aisyah sambil mengambil sebutir lagi coklat berbentuk kerang itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Kristin ikut mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Mereka tertawa sambil menikmati coklat pemberian Kristin itu di teras rumah Aisyah. Duduk di pagar tembok rendah yang ternyata masih terlalu tinggi untuk mereka. Dua pasang kaki tampak bergoyang-goyang riang, tergantung karena belum cukup panjang untuk bisa menjejak lantai.
“Nasi kotak yang kemaren juga enaaaak. Ada ayam gorengnya. Nyaaam…,” kata Kristin sambil memejamkan matanya membayangkan dirinya tengah mengunyah ayam goreng buatan ibu Aisyah.
Aisyah mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Masakan ibunya memang sedap. Semua warga di perumahan tempat mereka tinggal itu sudah tahu. Karenanya setiap ada perayaan, entah itu ulang tahun, sunatan, syukuran, bahkan natalan, banyak warga yang memesan makanan ke ibu Aisyah.
“Jadi setiap tanggal empat belas februari aku akan dapat coklat dari kamu, ya?” tanya Aisyah pada Kristin.
“Belum tentu juga. Kalau tabunganku cukup untuk beli coklat, pasti kamu dapat coklat dariku,” jawab Kristin.
Mereka terkikik geli. Entah apa yang lucu bagi dua gadis kecil itu.
“Jadi setiap di rumahmu ada pengajian aku akan dapat nasi kotak dari kamu, ya?” tanya Kristin pada Aisyah.
“Belum tentu juga. Kalau aku belum keduluan ibu mengirimnya ke rumahmu,” jawab Aisyah.
Mereka kembali terkikik geli. Entah apa yang lucu bagi dua gadis kecil itu.
Sore sudah hampir sampai batas akhirnya. Langit mulai memerah, pertanda matahari mulai bersiap berganti tugas dengan sang bulan. Gema adzan magrib berkumandang dari musholla perumahan mereka. Itu suara bapak Aisyah yang sedang adzan.
“Aisyah, ayo masuk. Sudah magrib,” kata ibu dari dalam rumah.
Kristin melompat dari tembok rendah yang masih terlalu tinggi untuk mereka berdua itu. Dia sudah tahu ini waktunya mereka menyudahi waktu bermain dan kembali ke rumah.
“Aku pulang, ya! Besok kita main lagi!” Kristin berlari menuju rumahnya sambil melambaikan tangan ke arah Aisyah.
Selalu begitu setiap sore.
____
Palu, 9 Mei 2016
Tulisan ini bukan milik saya tapi punya Winda Krisnadefa
Dulu kita emang se damai ini. Entahlah sejak kapan berubah.
ReplyDeleteSejak Rangga menghilang 14 tahun lalu tanpa meninggalkan penjelasan apa pun pada Cinta. :D
ReplyDelete