Tadi pagi saya berkeinginan untuk menulis lagi, kali ini fiksi. Lama sudah saya tidak berfiksi ria. Setelah “Sajak Putu Asa” yang saya tulis 3 Mei lalu di Kompasiana, sampai sekarang saya masih kesulitan menemukan kembali imaji menulis. Maka untuk memancing kembali imaji itu saya mencoba membuka file lama di mana saya menyimpan beberapa tulisan Kompasianer favorit saya kala itu.
Diantara nama-nama yang muncul adalah Ramdhani Nur, Naim Ali, Nuraziz Widayanto, Nathalia, dan Winda Krisnadefa. Saya mulai melihat beberapa judul tulisan mereka dan berhenti di nama terakhir. “Coklat untuk Aisyah dan Nasi Kotak untuk Kristin” itulah judul tulisan Winda Krisnadefa yang sangat berkesan bagi saya saat pertama membacanya sekitar 4 tahun lalu (seingat saya).
Alih-alih mendapat semangat dan menulis kembali, saya malah mencoba mengintip tulisan ini di Kompasiana. Beberapa menit kemudian saya bingung tulisan itu tidak ada di Kompasiana. Saya coba lagi buka profil Winda Krisnadefa, hasilnya nihil. Winda hanya memiliki 18 tulisan. Tulisan terakhirnya tertanggal 22 November 2012. Saya tidak pernah mengadakan kontak langsung dengan Winda, tidak seperti Ramdhani Nur yang sempat komen mengomentari tulisan.
Karena saya tidak mendapatkan tulisan itu di Kompasiana olehnya saya memunculkannya di sini. Sayang saja tulisan sebagus ini hilang begitu saja. Apalagi cara penyampaian pesannya bagi saya indah dan dalam.
___