Friday, September 3, 2010

Tolare dan Identitas




Tolare merupakan sebuah singkatan dari kalimat Tona ri Lare. Kata ini mengandung dua arti, dari sisi etimologi (bahasa Kaili), tolare berarti orang yang berdiam di Lare. Dari sisi terminologi (istilah) tolare berubah fungsi menjadi sebutan bagi orang yang masih udik atau tidak mengikuti perkembangan zaman.

Saat ini istilah Tolare dipakai oleh masyarakat lembah Palu, Sulawesi Tengah. Suku asli wilayah ini adalah suku Kaili, yang menjadi suku mayoritas di Sulawesi Tengah. Kaili yang memiliki lebih dari 20 sub-etnik tersebar di wilayah lembah Palu, Pesisi barat dan timur leher pulau sulawesi, pesisir barat Donggala, pegunungan sebelah selatan lembah Palu, hingga ke arah timur yakni Poso, Ampana, dan Luwuk.

Konon dahulu masyarakat lembah Palu menggunakan kata Lare untuk menyebut wilayah pegunungan yang terpencil. Tolare sering disematkan pada orang-orang pegunungan yang kadang turun ke lembah untuk sekedar menjual hasil buminya dan membeli perlengkapan seadanya.

Berjalan beriringan menjadi ciri mereka meski badan jalan masih cukup untuk berjalan bersama, mungkin karena semua jalan di kampung mereka hanya seukuran setapak. Madu, Parang dan Ubi Kayu menjadi produk andalan mereka. Layaknya suku-suku pedalaman lainnya, perlakuan sama juga diterima oleh Tolare. Mereka kerap ditipu, dianggap aneh, bahkan oleh sebagian anak Tolare dianggap mahluk asing yang sewaktu-waktu bisa mencabut nyawa mereka.


Saya kadang ngeri membayangkan cerita diskriminasi suku dan warna kulit di wilayah Eropa dan Amerika pada abad 19. Dimana suku Indian tidak dianggap sebagai manusia, dan orang kulit hitam dijadikan budak, sebagian wanita kulit putih bahkan tak ingin bersentuhan langsung dengan orang negro dan percaya bahwa air yang sudah mereka sentuh adalah najis yang kotor.

Tentu untuk kasus Tolare tidak sedramatis itu. Istilah Tolare pada perkembangannya kemudian dipakai bukan hanya merujuk pada penduduk Lare saja. Orang-orang mulai menggunakan istilah Tolare untuk menyebut seseorang yang dinilai ketinggalan zaman atau udik.

Diperkotaan, istilah Tolare mungkin tak begitu berpengaruh pada ketersinggungan pribadi atau kelompok. Meski sering digunakan, Tolare hanya menjadi istilah biasa yang tidak meberi pengaruh lebih jauh. Sebaliknya, di perkampungan pinggir kota, Tolare bisa menjadi sebuah sebutan yang mengandung makna serius hingga menimbulkan ketersinggungan.

Kini, sebutan Tolare banyak ditujukan pada mereka yang masih memegang teguh budaya dan kearifan lokal suku Kaili. Akibatnya pelestarian budaya merosot tajam, anak-anak tak lagi tertarik belajar budaya lokal, bahkan malu menggunakan bahasa daerah. Fenomena ini memang terjadi di hampir seluruh wilayah negeri ini. Namun, lembah Palu memiliki fenomena kehilangan identitas yang menurut saya berada pada stadium mengkhawatirkan.


Lesunya minat generasi menggunakan bahasa daerah menjadi pelengkap terkikisnya identitas suku asli wilayah ini. Sebelumnya, wilayah ini sudah terancam krisis identitas disebabkan minimnya rekam sejarah dalam bentuk tulisan dan artefak peninggalan peradaban Suku Kaili. Sebagian besar keterangan sejarah terkait kerajaan Kaili diperoleh dari perpustakaan Belanda berupa naskah tulisan dari peneliti serta misionaris saat itu.

Cukup memprihatinkan. Bahwa identitas itu penting, sudah pasti, dan kenyataanya masyarakat yang paling maju di bumi ini, adalah masyarakat yang bangga akan diri, masyarakat dan sejarah pendahulunya. Disanalah sumber mata air kepercayaan diri.

"Orang yang kehilangan identitas adalah budak yang paling baik" kata Sosiolog Muslim asal Iran, Ali Syari'ati.


Semoga Bermanfaat
Tabe....!!!

Comments
0 Comments